
Lifting Minyak Lesu, Menteri ESDM Ditunggu Nih Gebrakannya
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
19 November 2019 13:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Rata-rata lifting minyak dalam negeri masih berada di bawah asumsi APBN. Peningkatan produksi minyak tanah air jelas diperlukan untuk menekan defisit neraca migas yang selama ini terus menghantui.
Sepanjang semester pertama tahun 2019, Trading Economics mencatat bahwa produksi minyak di Indonesia rata-rata 748.000 barel/hari (bpd).
Jumlah tersebut masih di bawah asumsi APBN 2019 yang mencapai 775.000 bpd. Jumlah tersebut juga masih di bawah asumsi APBN 2020 sebesar 755.000 bpd.
Melansir Reuters, lifting minyak mentah RI dalam periode sembilan bulan awal 2019 rata-rata mencapai 745.000 bpd. Jumlahnya menurun dibanding periode Januari-Juni.
Artinya ada gap kurang lebih 10.000 bpd untuk memenuhi asumsi dasar makro APBN 2020. Jelas untuk menambal kekurangan ini produksi minyak harus ditingkatkan. Salah satu metode yang digunakan untuk meningkatkan produksi minyak adalah Enhanced Oil Recovery (EOR).
EOR merupakan salah satu metode yang digunakan untuk meningkatkan perolehan minyak yang masih berada di reservoir. EOR disebut juga recovery tersier.
Menggunakan metode ini jumlah yang minyak mentah yang berhasil di ekstrak mencapai 30%-60% dibanding metode primer dan sekunder yang hanya mencapai 20%-40%.
EOR menggunakan metode yang lebih canggih dibandingkan dengan metode konvensional. EOR menggunakan sejenis polimer atau zat kimia yang bernama surfaktan untuk membantu mengambil minyak yang terperangkap dalam batuan.
Energy Information Agency (EIA) membuat program Technology Collaboration Program dengan salah satu fokuspengembanganteknologiEOR.MenurutEIA,metodeEOR dapat meningkatkan produksi minyak secara substansial dan turut berperan dalam meremajakan sumur pengeboran.
Jika EOR mampu meningkatkan kapasitas ekstraksi pada kisaran 30%-60%, artinya gap antara asumsi APBN 2020 dengan data lifting historis dapat tertutup karena kekurangan yang relatif kecil.
Namun ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk menerapkan teknologi ini dalam meningkatkan produksi minyak.
Beberapa faktor tersebut antara lain adalah karakteristik minyak dan sumur pengeboran, aktivitas penelitian dan pengembangan serta hasil dari pilot project hingga ketersediaan infrastruktur. Faktor-faktor di atas tentu akan mempengaruhi nilai keekonomisan dari teknologi ini. Saat ini PT Pertamina Persero melalui anak perusahaannya PT Pertamina EP telah memulai proyek EOR untuk meningkatkan produksi minyak mentah tanah air. Mengutip website resmi Pertamina, implementasi EOR menggunakan bahan kimia telah dilakukan di lapangan Tanjung sejak Desember tahun lalu.
Teknologi injeksi polymer merupakan teknologi yang telah terbukti dan telah diimplentasi lebih dari 30 tahun di berbagai lapangan minyak di dunia dengan rata-rata peningkatan Recovery Factor (RF) sebesar 5-10% terhadap Original Oil in Place (OOIP).
“Pertamina EP sangat optimis melakukan waterflood dan EOR. Berdasarkan perkiraan produksi, produksi kumulatif minyak diharapkan sebesar 245 MMSTB melalui waterflood dengan puncak produksi sebesar 60,000 bpd pada tahun 2026 sedangkan tahap tertiary akan menghasilkan produksi kumulatif sebesar 133 MMSTB dengan puncak produksi sebesar 30,000 bpd pada tahun 2030.”, jelas Nanang Abdul Manaf Presiden Direktur PT Pertamina EP
Dalam 5 tahun terakhir, ada beberapa lapangan di dunia yang sudah melakukan proyek polymer flooding diantaranya adalah Venezuela (2017), Brazil (2017), dan Suriname (2014-2016).
Di Indonesia, terdapat 4 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang sudah menerapkan chemical EOR yaitu Chevron, Medco, CNOOC, dan Pertamina.
Dalam waktu 5 tahun kedepan, Pertamina EP akan melakukan pilot dan full scale chemical EOR di 5 struktur, yaitu Tanjung, Sago, Rantau, Jirak dan Limau, dan CO2 flooding di 3 struktur, yaitu Sukowati, Jatibarang dan Ramba.
Lapangan Tanjung dipilih dengan menggunakan polymer karena karakter low recovery faktor dan high level dari cadangan heterogen. Saat ini Tanjung Polymer Field Trial telah memasuki fase ketiga.
“Diharapkan dengan adanya Polymer ini , dalam jangka waktu dua tahun akan dapat diperoleh penambahan minyak sebesar 45.000 BOPD”, harap Nanang mengakhiri penjelasannya, mengutip website resmi PT Pertamina Persero.
Berdasarkan kalkulasi Pertamina, penggunaan teknologi ini akan menambah biaya sebesar US$ 5/barel dari total biaya operasional yang mencapai US$ 40/barel. Masih lebih rendah dibanding harga minyak dunia yang berkisar di angka US$ 60/barel. Sehingga masih tergolong ekonomis.
Namun hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah pertumbuhan permintaan minyak dalam negeri. Menurut studi yangdilakukanPricewaterhouseCoopers, dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir permintaan minyak meningkat hampir 33% sementara produksi minyak turun 43% dalam kurun waktu yang sama.
Dengan kapasitas lifting yang mencapai kurang dari 750.000 bpd dan permintaan yang mencapai dua kali lipatnya, artinya teknologi EOR saja belum cukup untuk mengurangi secara signifikan impor minyak yang membuat neraca migas tekor.
Aktivitas eksplorasi untuk menemukan sumber minyak baru juga dibutuhkan. Namun lagi-lagi terkendala di biaya dan waktu. Aktivitas eksplorasi terkenal dengan biaya mahal dan risikonya tinggi. Eksplorasi membutuhkan waktu sekitar 1-5 tahun dan itu belum tentu berhasil. Sehingga membutuhkan kerja sama dengan investor.
Karena mengandung risiko yang tinggi investor juga tentu mempertimbangkan banyak hal untuk masuk di sektor eksplorasi ini seperti risk sharing, insentif dan banyak faktor lain yang ujung-ujungnya mempengaruhi keekonomisan suatu proyek.
Namun hal tersebut bukan jadi alasan pemerintah untuk tidak bergerak. Pemerintah harus segera mengurai benang kusut defisit neraca migas tanah air yang jadi penyakit kronis neraca dagang RI.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Blok Rokan Belum Juga Jalankan EOR, Apa Masalahnya?
Sepanjang semester pertama tahun 2019, Trading Economics mencatat bahwa produksi minyak di Indonesia rata-rata 748.000 barel/hari (bpd).
Jumlah tersebut masih di bawah asumsi APBN 2019 yang mencapai 775.000 bpd. Jumlah tersebut juga masih di bawah asumsi APBN 2020 sebesar 755.000 bpd.
Artinya ada gap kurang lebih 10.000 bpd untuk memenuhi asumsi dasar makro APBN 2020. Jelas untuk menambal kekurangan ini produksi minyak harus ditingkatkan. Salah satu metode yang digunakan untuk meningkatkan produksi minyak adalah Enhanced Oil Recovery (EOR).
EOR merupakan salah satu metode yang digunakan untuk meningkatkan perolehan minyak yang masih berada di reservoir. EOR disebut juga recovery tersier.
Menggunakan metode ini jumlah yang minyak mentah yang berhasil di ekstrak mencapai 30%-60% dibanding metode primer dan sekunder yang hanya mencapai 20%-40%.
EOR menggunakan metode yang lebih canggih dibandingkan dengan metode konvensional. EOR menggunakan sejenis polimer atau zat kimia yang bernama surfaktan untuk membantu mengambil minyak yang terperangkap dalam batuan.
Energy Information Agency (EIA) membuat program Technology Collaboration Program dengan salah satu fokuspengembanganteknologiEOR.MenurutEIA,metodeEOR dapat meningkatkan produksi minyak secara substansial dan turut berperan dalam meremajakan sumur pengeboran.
![]() |
Namun ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk menerapkan teknologi ini dalam meningkatkan produksi minyak.
Beberapa faktor tersebut antara lain adalah karakteristik minyak dan sumur pengeboran, aktivitas penelitian dan pengembangan serta hasil dari pilot project hingga ketersediaan infrastruktur. Faktor-faktor di atas tentu akan mempengaruhi nilai keekonomisan dari teknologi ini. Saat ini PT Pertamina Persero melalui anak perusahaannya PT Pertamina EP telah memulai proyek EOR untuk meningkatkan produksi minyak mentah tanah air. Mengutip website resmi Pertamina, implementasi EOR menggunakan bahan kimia telah dilakukan di lapangan Tanjung sejak Desember tahun lalu.
Teknologi injeksi polymer merupakan teknologi yang telah terbukti dan telah diimplentasi lebih dari 30 tahun di berbagai lapangan minyak di dunia dengan rata-rata peningkatan Recovery Factor (RF) sebesar 5-10% terhadap Original Oil in Place (OOIP).
“Pertamina EP sangat optimis melakukan waterflood dan EOR. Berdasarkan perkiraan produksi, produksi kumulatif minyak diharapkan sebesar 245 MMSTB melalui waterflood dengan puncak produksi sebesar 60,000 bpd pada tahun 2026 sedangkan tahap tertiary akan menghasilkan produksi kumulatif sebesar 133 MMSTB dengan puncak produksi sebesar 30,000 bpd pada tahun 2030.”, jelas Nanang Abdul Manaf Presiden Direktur PT Pertamina EP
Dalam 5 tahun terakhir, ada beberapa lapangan di dunia yang sudah melakukan proyek polymer flooding diantaranya adalah Venezuela (2017), Brazil (2017), dan Suriname (2014-2016).
Di Indonesia, terdapat 4 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang sudah menerapkan chemical EOR yaitu Chevron, Medco, CNOOC, dan Pertamina.
Dalam waktu 5 tahun kedepan, Pertamina EP akan melakukan pilot dan full scale chemical EOR di 5 struktur, yaitu Tanjung, Sago, Rantau, Jirak dan Limau, dan CO2 flooding di 3 struktur, yaitu Sukowati, Jatibarang dan Ramba.
Lapangan Tanjung dipilih dengan menggunakan polymer karena karakter low recovery faktor dan high level dari cadangan heterogen. Saat ini Tanjung Polymer Field Trial telah memasuki fase ketiga.
“Diharapkan dengan adanya Polymer ini , dalam jangka waktu dua tahun akan dapat diperoleh penambahan minyak sebesar 45.000 BOPD”, harap Nanang mengakhiri penjelasannya, mengutip website resmi PT Pertamina Persero.
Berdasarkan kalkulasi Pertamina, penggunaan teknologi ini akan menambah biaya sebesar US$ 5/barel dari total biaya operasional yang mencapai US$ 40/barel. Masih lebih rendah dibanding harga minyak dunia yang berkisar di angka US$ 60/barel. Sehingga masih tergolong ekonomis.
Namun hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah pertumbuhan permintaan minyak dalam negeri. Menurut studi yangdilakukanPricewaterhouseCoopers, dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir permintaan minyak meningkat hampir 33% sementara produksi minyak turun 43% dalam kurun waktu yang sama.
![]() |
Aktivitas eksplorasi untuk menemukan sumber minyak baru juga dibutuhkan. Namun lagi-lagi terkendala di biaya dan waktu. Aktivitas eksplorasi terkenal dengan biaya mahal dan risikonya tinggi. Eksplorasi membutuhkan waktu sekitar 1-5 tahun dan itu belum tentu berhasil. Sehingga membutuhkan kerja sama dengan investor.
Karena mengandung risiko yang tinggi investor juga tentu mempertimbangkan banyak hal untuk masuk di sektor eksplorasi ini seperti risk sharing, insentif dan banyak faktor lain yang ujung-ujungnya mempengaruhi keekonomisan suatu proyek.
Namun hal tersebut bukan jadi alasan pemerintah untuk tidak bergerak. Pemerintah harus segera mengurai benang kusut defisit neraca migas tanah air yang jadi penyakit kronis neraca dagang RI.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Blok Rokan Belum Juga Jalankan EOR, Apa Masalahnya?
Most Popular