Kepatuhan Pajak RI Lebih Rendah dari Fiji, Terus Kudu Piye?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 November 2019 12:31
Kepatuhan Pajak RI Lebih Rendah dari Fiji, Terus Kudu Piye?
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Performa penerimaan pajak Januari-Oktober 2019 agak mengkhawatirkan. Penerimaan perpajakan Januari-Oktober 2019 tercatat Rp 1.173,9 triliun. Jumlah ini adalah 65,7% dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019.

Bagaimana jika dibandingkan dengan Januari-Oktober 2018? Saat itu, penerimaan perpajakan secara nominal memang lebih rendah yaitu Rp 1.160,66 triliun. Namun secara persentase terhadap target jauh lebih baik yaitu mencapai 71,73%.

Lebih jauh lagi, situasinya tidak lebih baik ketimbang 2017. Pada Januari-Oktober dua tahun lalu, penerimaan perpajakan tercatat Rp 991,2 triliun atau 67,3% dari target APBN.

Kinerja penerimaan perpajakan Januari-Oktober 2019 baru lebih baik ketika dibandingkan dengan Januari-Oktober 2016. Kala itu, penerimaan pajak Januari-Oktober tercatat Rp 986,6 triliun atau 64,1% dari target.


Jadi secara persentase, penerimaan perpajakan Januari-Oktober 2019 adalah yang terendah dalam tiga tahun terakhir. Hingga akhir tahun, pemerintah memperkirakan kekurangan penerimaan (shortfall) pajak bisa mencapai Rp 140 triliun.

Kekurangan penerimaan ini membuat defisit anggaran hampir pasti melebar. APBN 2019 menetapkan defisit 1,87% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tetapi bakal bertambah menjadi sekitar 2,2% PDB.


Dengan sisa waktu kurang dari dua bulan, sulit (bahkan mustahil) penerimaan perpajakan bisa mencapai target APBN 2019. Jadi lupakan saja tahun ini, sepertinya sudah tidak bisa diselamatkan. Oleh karena itu, mari kita menatap prospek tahun depan dan tahun-tahun yang akan datang.

Bagaimana cara meningkatkan penerimaan perpajakan sehingga pembiayaan pembangunan secara mandiri bisa terwujud?

[Gambas:Video CNBC]

Untuk merumuskan solusi, perlu diketahui dulu apa masalahnya. Kekurangan penerimaan pajak disebabkan oleh tingkat kepatuhan yang rendah.

Kepatuhan pajak tercermin dari rasio penerimaan terhadap PDB atau tax ratio. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebutkan tax ratio Indonesia pada 2017 adalah 11,7%. Di bawah negara-negara tetangga seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia. Bahkan kalah dari Fiji atau Kepulauan Solomon.



"Tax ratio Indonesia menurun 5 poin persentase dari 12% pada 2016 menjadi 11,5% pada 2017. Pada 2007 hingga 2017, tax ratio Indonesia turun 0,7 poin persetase secara point-to-point. Tax ratio tertinggi adalah pada 2013 yaitu 13% dan terendah pada 2009 yaitu 11,1%," sebut kajian OECD.

Menurut kajian OECD lainnya yang berjudul Tax Morale: What Drives People and Business to Pay Tax? terbitan 11 September 2019, selama ini pemerintah di berbagai negara lebih fokus kepada ratifikasi aturan pajak internasional dan penguatan institusi pemungut pajak. Namun ada hal lain yang sering luput dari pandangan yaitu moral pajak.

Tidak seperti aturan perpajakan internasional yang jelas dan terukur, moral pajak lebih ke sisi 'suasana kebatinan' Wajib Pajak. Ada motivasi yang bersifat intrinsik untuk lebih taat pajak.

"Padahal dengan mengerti moral pajak, pemerintah bisa meningkatkan penerimaan dengan upaya yang relatif lebih minim. Dalam jangka pendek, potensi ini bisa termaterialisasi dalam bentuk peningkatan penerimaan pajak," sebut riset itu.



Kajian OECD membagi peningkatan moral pajak di dua sisi, Orang Pribadi dan Badan. Di sisi Orang Pribadi, ternyata Wajib Pajak dengan usia yang lebih tua, lebih berpendidikan, dan lebih religius memiliki moral pajak yang tinggi.

"Namun, kuncinya adalah otoritas pajak harus mendapat legitimasi yang kuat. Peningkatan moral pajak datang seiring dengan kepuasan terhadap pelayanan dan fasilitas publik," tulis riset OECD.

Legitimasi terhadap otoritas pajak, demikian riset OECD, akan meningkat ketika hasil dari belanja negara terlihat nyata. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan transparansi pengelolaan anggaran dan melibatkan berbagai elemen untuk melakukan pengawasan. Sekaligus memastikan tindakan tegas dan pencegahan terhadap korupsi.

"Itu semua adalah kebijakan umum. Kebijakan yang lebih khususnya adalah melakukan edukasi pajak di kelompok-kelompok masyarakat yang dinilai kurang taat pajak. Misalnya, kalau diketahui kepatuhan pajak lebih tinggi di kalangan usia dewasa, maka kurikulum pajak sebaiknya masuk mulai dari pendidikan dasar untuk meningkatkan kesadaran pajak sejak dini," papar kajian OECD.


Lalu bagaimana dari sisi Badan atau korporasi? OECD menggarisbawahi rendahnya kepatuhan pajak di tingkat Badan semata-mata bukan karena manipulasi atau penghindaran. Bisa saja memang dalam kondisi pasar tertentu perusahaan tidak mendapat laba sehingga tidak membayar pajak.

"Moral pajak yang rendah di level korporasi disebabkan oleh ajakan dari konsultan pajak, reputasi dewan direksi, struktur perusahaan, ukuran perusahaan, biaya kepatuhan, serta tingkat kerumitan penghitungan dan struktur pajak yang berlaku," tulis riset OECD.

Ternyata hasil riset OECD menunjukkan kepatuhan pajak korporasi relatif rendah. Bahkan di negara-negara anggota OECD pun rata-rata perusahaan yang tidak melaporkan seluruh penjualan untuk menghindari pajak mencapai 46%.

OECD
 
Untuk meningkatkan moral pajak, OECD menyatakan pemerintah harus menyediakan kepastian. Jangan ada lagi penghitungan dan struktur pajak yang njelimet, harus sederhana. Dengan begitu, setidaknya satu alasan untuk menghindari pajak (yaitu ribet) bisa dihilangkan.

Survei OECD menyebutkan perusahaan-perusahaan di negara-negara Afrika, Amerika Latin, sampai Asia mengaku sering kesulitan menghadapi ketidakpastian pajak. "Ketidakpastian pajak berdampak terhadap perubahan struktur bisnis, menambah biaya, sampai mengurangi rencana investasi," tegas laporan OECD.

OECD

Oleh karena itu, kunci untuk mendongkrak moral pajak di tingkat korporasi adalah penyederhanaan. Baik itu regulasi sampai birokrasi pajak. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan proses perpajakan yang transparan dan konsisten.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular