
Internasional
Hong Kong Makin Tak Terkendali, AS Sibuk Ancam China
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
18 November 2019 13:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) mengecam langkah China yang mendukung tindak kekerasan kepolisian Hong Kong untuk meredakan demo di kota itu.
"Kami mengutuk penggunaan kekuatan yang tidak adil dan mendesak semua pihak untuk menahan diri dari kekerasan dan mengadakan dialog yang konstruktif," kata seorang pejabat senior AS sebagaimana dikutip dari Reuters.
"Seperti yang dikatakan Presiden (Donald Trump), AS mengharapkan Beijing menghormati komitmennya di bawah deklarasi bersama China-Inggris. Untuk melindungi kebebasan, sistem hukum, dan cara hidup demokratis Hong Kong."
Kritik yang dilayangkan pemerintahan Trump itu muncul setelah bentrokan kembali terjadi pada demo Hong Kong akhir pekan kemarin. Bahkan Senin (18/11/2019) pagi, polisi dengan sengaja mengurung ratusan pendemo yang terpusat di dalam Universitas Politeknik Hong Kong untuk meredam meluasnya kerusuhan.
Polisi membuat barikade kendaraan lapis baja dan meriam air untuk menekan para pengunjuk rasa. Aparat mengancam akan menembakkan peluru tajam jika pendemo tidak berhenti menyerang petugas.
Tindakan yang diambil para petugas itu dilakukan karena para pendemo semakin tidak terkendali. Dalam demo akhir pekan ini, pendemo bukan hanya melempar bom bensin dan batu bata, tapi juga panah ke polisi.
Protes awalnya muncul untuk menentang rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi. Namun setelah lima bulan berlalu, demo kini mengarah ke demokratisasi Hong Kong.
Demo telah membuat ekonomi kota terjerat ke dalam resesi. Bahkan pemerintah merevisi pertumbuhan ekonomi Hong Kong akan jatuh ke 1,3% hingga akhir 2019.
Revisi ini merupakan yang kedua kalinya. Sebelum demonstrasi pecah di Agustus, pemerintah masih optimis PDB bisa mencapai 2 hingga 3% tahun ini.
Presiden China Xi Jinping meminta pendemo segera menghentikan kekerasan di Hong Kong. Berbicara dalam KTT negara-negara BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) di Brasil, ia mengatakan aksi radikal yang terus dilakukan adalah masalah serius yang menganggu kota tersebut.
"Aktivitas kekerasan di Hong Kong secara serius menginjak aturan hukum dan tatanan sosial," katanya sebagaimana dikutip dari AFP dari media pemerintah Xin Hua pekan lalu.
"(Kekerasan ini) secara serius mengganggu kesejahteraan dan stabilitas Hong Kong, serta fondasi prinsip 'satu negara, dua sistem'."
Dalam kesempatan yang sama, Xi Jinping juga menggarisbawahi kalau Beijing mendukung penuh apa yang dilakukan polisi Hong Kong. Termasuk penggunaan kekerasan untuk menenangkan kota.
"Kami sepenuhnya mendukung dengan tegas Wilayah Administratif Khusus Hong Kong yang dipimpin oleh kepala eksekutif untuk menjalankan fungsinya sesuai dengan hukum," tegasnya lagi.
"Kami sangat mendukung polisi Hong Kong untuk mengambil tindakan tegas dalam menegakkan hukum dan pengadilan Hong Kong untuk menghukum sesuai dengan hukum yang berlaku atas kejahatan kekerasan yang terjadi."
Ia mengatakan China sangat berkomitmen pada implementasi 'satu negara, dua sistem. Ditegaskannya hal tersebut tak akan pernah berubah.
Ia menentang campur tangan asing dalam urusan internal Hong Kong. Menurutnya ketidakstabilan Hong Kong tidak bisa diterima.
Pada tahun 1997, Inggris menyerahkan Hong Kong kembali ke China dengan satu syarat. Yakni sebagai wilayah semi-otonom di bawah prinsip 'satu negara, dua sistem'.
Hal ini memberi warga Hong Kong kebebasan finansial dan hukum yang tidak dinikmati warga di China daratan. Termasuk memberikan kebebasan pers, berpendapat di muka umum dan melakukan pertemuan -pertemuan, selama setidaknya 50 tahun dari 1997 hingga 2047 nanti.
(sef/sef) Next Article Duh! Sudah 2020, Tapi Hong Kong Masih Demo
"Kami mengutuk penggunaan kekuatan yang tidak adil dan mendesak semua pihak untuk menahan diri dari kekerasan dan mengadakan dialog yang konstruktif," kata seorang pejabat senior AS sebagaimana dikutip dari Reuters.
"Seperti yang dikatakan Presiden (Donald Trump), AS mengharapkan Beijing menghormati komitmennya di bawah deklarasi bersama China-Inggris. Untuk melindungi kebebasan, sistem hukum, dan cara hidup demokratis Hong Kong."
Polisi membuat barikade kendaraan lapis baja dan meriam air untuk menekan para pengunjuk rasa. Aparat mengancam akan menembakkan peluru tajam jika pendemo tidak berhenti menyerang petugas.
Tindakan yang diambil para petugas itu dilakukan karena para pendemo semakin tidak terkendali. Dalam demo akhir pekan ini, pendemo bukan hanya melempar bom bensin dan batu bata, tapi juga panah ke polisi.
Protes awalnya muncul untuk menentang rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi. Namun setelah lima bulan berlalu, demo kini mengarah ke demokratisasi Hong Kong.
Demo telah membuat ekonomi kota terjerat ke dalam resesi. Bahkan pemerintah merevisi pertumbuhan ekonomi Hong Kong akan jatuh ke 1,3% hingga akhir 2019.
Revisi ini merupakan yang kedua kalinya. Sebelum demonstrasi pecah di Agustus, pemerintah masih optimis PDB bisa mencapai 2 hingga 3% tahun ini.
Presiden China Xi Jinping meminta pendemo segera menghentikan kekerasan di Hong Kong. Berbicara dalam KTT negara-negara BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) di Brasil, ia mengatakan aksi radikal yang terus dilakukan adalah masalah serius yang menganggu kota tersebut.
"Aktivitas kekerasan di Hong Kong secara serius menginjak aturan hukum dan tatanan sosial," katanya sebagaimana dikutip dari AFP dari media pemerintah Xin Hua pekan lalu.
"(Kekerasan ini) secara serius mengganggu kesejahteraan dan stabilitas Hong Kong, serta fondasi prinsip 'satu negara, dua sistem'."
Dalam kesempatan yang sama, Xi Jinping juga menggarisbawahi kalau Beijing mendukung penuh apa yang dilakukan polisi Hong Kong. Termasuk penggunaan kekerasan untuk menenangkan kota.
"Kami sepenuhnya mendukung dengan tegas Wilayah Administratif Khusus Hong Kong yang dipimpin oleh kepala eksekutif untuk menjalankan fungsinya sesuai dengan hukum," tegasnya lagi.
"Kami sangat mendukung polisi Hong Kong untuk mengambil tindakan tegas dalam menegakkan hukum dan pengadilan Hong Kong untuk menghukum sesuai dengan hukum yang berlaku atas kejahatan kekerasan yang terjadi."
Ia mengatakan China sangat berkomitmen pada implementasi 'satu negara, dua sistem. Ditegaskannya hal tersebut tak akan pernah berubah.
Ia menentang campur tangan asing dalam urusan internal Hong Kong. Menurutnya ketidakstabilan Hong Kong tidak bisa diterima.
Pada tahun 1997, Inggris menyerahkan Hong Kong kembali ke China dengan satu syarat. Yakni sebagai wilayah semi-otonom di bawah prinsip 'satu negara, dua sistem'.
Hal ini memberi warga Hong Kong kebebasan finansial dan hukum yang tidak dinikmati warga di China daratan. Termasuk memberikan kebebasan pers, berpendapat di muka umum dan melakukan pertemuan -pertemuan, selama setidaknya 50 tahun dari 1997 hingga 2047 nanti.
(sef/sef) Next Article Duh! Sudah 2020, Tapi Hong Kong Masih Demo
Most Popular