
Internasional
Bak Benang Kusut, Ending Perang Dagang AS-China Semerawut
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
08 November 2019 15:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Optimisme akan perdamaian perang dagang semakin galau. Setelah sebelumnya China mengatakan sudah ada kesepakatan untuk menghapus semua tarif, kini AS kembali membantahnya.
Pada Kamis, seperti diberitakan sejumlah media, Kementerian Perdagangan China mengatakan Beijing dan Washington sudah setuju menghapus tarif-tarif yang diberlakukan.
"Di dua minggu ini, para negosiator telah melakukan pembicaraan serius, diskusi konstruktif dan setuju untuk menghilangkan tarif-tarif tambahan di tiap fase (kesepakatan) sebagai progres dari perjanjian yang tengah berjalan," kata Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng dikutip dari Bloomberg, Kamis (7/11/2019).
"Jika China, AS, mencapai kesepakatan dagang fase pertama, kedua negara harus meninjau kembali semua tarif tambahan dengan proporsi yang sama secara keseluruhan berdasarkan isi perjanjian, yang mana menjadi situasi penting untuk tercapainya kesepakatan," tambahnya lagi.
Namun sayangnya, klaim China tersebut dibantah Penasehat Perdagangan Gedung Putih, Peter Navarro. "Tidak ada kesepakatan untuk saat ini yang menghapus semua tarif yang diberlakukan, sebagai kondisi untuk kesepakatan fase pertama," katanya sebagaimana dikutip Reuters dari Fox News, Jumat (8/11/2019).
"Mereka hanya bernegosiasi di ranah publik. Dan tengah mencoba mendorong (kesepakatan) ke satu arah."
Menurut Navarro pernyataan itu keluar dari media pemerintah China. Ia menilai media China tengah melakukan upaya propaganda.
Pemerintah China dan Pemerintah AS memang tengah membicarakan kesepakatan damai perdagangan. Pembicaraan telah dimulai sejak Oktober lalu.
Dari pertemuan yang langsung dihadiri Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri China itu, keduanya mengaku sepakat pada sejumlah hal. Diantaranya, AS yang bersedia membatalkan salah satu kebijakan tarifnya pada barang China yang berlaku di Oktober.
Meski demikian, penandatanganan secara resmi poin-poin pertemuan tak kunjung terjadi. Awalnya penandatanganan kesepakatan dagang fase pertama kedua negara akan dilakukan di puncak meeting APEC pada pertengahan November di Chile.
Sayangnya keamanan Chile yang buruk akibat demonstrasi terus menerus membuat agenda ini dibatalkan. Sejumlah lokasi disebutkan akan menjadi tempat alternatif, seperti London, Iowa dan Hawai.
Namun belum ada konfirmasi resmi dari Beijing dan Washington. Trump sempat menyebut pertemuan akan dilakukan Desember nanti.
Perang dagang AS-China bermula pada awal 2018 lalu. Ketika itu, Presiden AS Donald Trump menyebut beberapa negara di dunia, utamanya China, telah banyak merugikan AS melalui praktik perdagangan yang tidak adil. Perang dagang juga terjadi karena AS banyak mencatatkan defisit dalam perdagangannya dengan negara lain.
Melalui cuitan di Twitter pada 2 Maret 2018, Trump mengatakan perang dagang itu baik dan mudah untuk dimenangkan.
"Ketika suatu negara (AS) kehilangan miliaran dolar karena perdagangan dengan hampir setiap negara yang berbisnis dengannya, perang dagang itu baik dan mudah dimenangkan. Contoh, ketika kita memiliki defisit US$100 miliar dengan negara tertentu dan mereka menjadi 'manja', jangan berdagang lagi - kita menang besar. Mudah!" tulisnya.
Sejak saat itu, Gedung Putih terus mengejar tujuannya untuk merombak kesepakatan dagang global dengan meluncurkan serangan tarif impor terhadap China yang diikuti dengan serentetan pembicaraan dagang yang masih berlangsung hingga saat ini.
Namun sebenarnya, perang dagang AS-China sudah lama menjadi tujuan Trump. Sebelum meluncurkan kampanye kepresidenannya pada tahun 2015, Trump telah berulang kali menyatakan keluhannya agar China mengubah praktik dagangnya.
Melalui sebuah postingan twitter pada Mei 2014, ia mengatakan: "Ingat, China bukan teman Amerika Serikat!"
Trump bahkan menjadikan masalah dengan China sebagai amunisinya untuk memenangkan pemilu presiden pada 2016.
Pemerintah Amerika pertama kali menjatuhkan tarif impor pada barang-barang China pada Januari 2018. Saat itu tarif dikenakan pada solar dan sel surya dan jenis mesin cuci tertentu. Langkah tersebut langsung dikritik China.
Penerapan tarif itu dilakukan setelah sebelumnya kedua negara mengadakan perundingan dagang pertama yang membahas berbagai produk seperti daging dan unggas, hingga baja, aluminium, dan beberapa isu lainnya.
Selang dua bulan setelahnya, yaitu pada 8 Maret 2018, Trump menerapkan tarif impor 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium. Sebulan setelahnya, pada awal April, China menerapkan balasan dengan mengenakan tarif impor terhadap barang-barang AS senilai US$3 miliar.
Pada Mei, kedua negara kembali berunding namun kembali gagal menghasilkan kesepakatan. Setelahnya, pada 15 Juni 2018 pemerintahan Trump mengatakan akan menerapkan tarif impor 25% pada barang-barang China senilai US$50 miliar. Ancaman tarif impor itu langsung dibalas China. Negeri Tirai Bambu mengumumkan bea masuk untuk US$50 miliar produk AS.
Tiga bulan kemudian, yaitu pada 18 September, setelah mengadakan perundingan dagang yang tidak menghasilkan apa-apa lagi, Trump kembali mengumumkan tarif impor 10% terhadap US$200 miliar barang China dan mengatakan akan menaikkan tarif menjadi 25% di awal 2019. Trump juga mengancam akan mengenakan bea masuk tambahan terhadap US$267 miliar produk, jika China membalas.
Mengabaikan ancaman itu, sehari setelahnya China mengatakan akan menerapkan tarif impor pada US$60 miliar produk AS. Setelahnya, Trump terus mengancam akan menaikan tarif pada US$200 miliar barang China menjadi 25% dari 10% pada Desember. Namun, penerapan tarif sempat ditunda setelah Trump mengadakan pembicaraan dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela pertemuan G-20 di Argentina pada bulan itu. Tarif itu ditunda selama tiga bulan.
China juga setuju untuk membeli sejumlah produk AS yang sangat substansial dan menangguhkan tarif tambahan yang ditambahkan yang akan diterapkan mobil dan suku cadang buatan AS selama tiga bulan, mulai 1 Januari 2019.
Selama beberapa bulan kedua negara terus melakukan perundingan dagang. Hingga pada 10 Mei 2019, AS akhirnya meningkatkan bea masuk atas impor China senilai US$ 200 miliar. Pada Agustus, AS kembali menyerang China dengan tarif. Trump mengumumkan akan mengenakan tarif impor baru sebesar 10% untuk barang-barang China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September. Alasannya adalah karena China mengingkari janji untuk membeli produk pertanian AS dan menghentikan penjualan opioid fentanyl, sejenis obat penenang yang banyak dipakai di AS.
Pada saat itu Trump juga telah mengatakan akan mengenakan tarif lainnya pada bulan Desember mendatang.
Pada bulan yang sama, nilai yuan China jatuh di bawah 7 terhadap dolar AS, untuk pertama kalinya dalam 11 tahun. Akibat ini, AS menuduh China memanipulasi mata uangnya demi membantu ekspornya yang merugi akibat perang dagang mereka. Tuduhan itu dibantah oleh bank sentral China. Namun, AS bersikukuh akan menerapkan tarif baru sebagai hukuman.
Di akhir Agustus, China mengumumkan akan mengenakan tarif baru pada barang-barang AS senilai US$ 75 miliar sebagai pembalasan atas kenaikan tarif yang direncanakan Gedung Putih. Tarif 5-10% itu rencananya akan mulai diberlakukan pada 1 September hingga 15 Desember, bersamaan dengan tarif AS yang baru.
Namun Trump kembali membalas, mengatakan tarif senilai US$ 300 miliar yang ia rencanakan untuk jatuhkan pada barang-barang China, akan dinaikkan menjadi 15% mulai dari 1 September. Trump juga berencana menaikkan tarif yang ada pada US$ 250 miliar barang China dari 25% menjadi 30% mulai 15 Oktober.
Namun, pada 13 Oktober lalu, AS menangguhkan tarif itu. Alasannya adalah karena kedua negara sudah berhasil mencapai kesepakatan awal 'fase satu'. Tarif Oktober itu bahkan berpotensi dihapuskan oleh AS.
Saat ini AS-China tengah mengupayakan penandatanganan kesepakatan itu. Kedua negara juga dikabarkan akan membahas tarif Desember dalam pertemuan untuk menandatangani perjanjian itu. Apabila perjanjian fase satu berhasil ditandatangani sebelum 15 Desember, ada kemungkinan AS akan menghapuskan tarif itu juga, seperti yang banyak diantisipasi pelaku pasar.
Namun yang menjadi kendala, hingga saat ini kedua negara belum mengetahui kapan dan dimana penandatanganan itu akan dilakukan, atau apakah dokumen perjanjian fase satu itu akan benar ditandatangani.
(sef/sef) Next Article Searah Nih Ye... AS-China Telponan Bahas Tarif Perang Dagang
Pada Kamis, seperti diberitakan sejumlah media, Kementerian Perdagangan China mengatakan Beijing dan Washington sudah setuju menghapus tarif-tarif yang diberlakukan.
"Di dua minggu ini, para negosiator telah melakukan pembicaraan serius, diskusi konstruktif dan setuju untuk menghilangkan tarif-tarif tambahan di tiap fase (kesepakatan) sebagai progres dari perjanjian yang tengah berjalan," kata Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng dikutip dari Bloomberg, Kamis (7/11/2019).
Namun sayangnya, klaim China tersebut dibantah Penasehat Perdagangan Gedung Putih, Peter Navarro. "Tidak ada kesepakatan untuk saat ini yang menghapus semua tarif yang diberlakukan, sebagai kondisi untuk kesepakatan fase pertama," katanya sebagaimana dikutip Reuters dari Fox News, Jumat (8/11/2019).
"Mereka hanya bernegosiasi di ranah publik. Dan tengah mencoba mendorong (kesepakatan) ke satu arah."
Menurut Navarro pernyataan itu keluar dari media pemerintah China. Ia menilai media China tengah melakukan upaya propaganda.
Pemerintah China dan Pemerintah AS memang tengah membicarakan kesepakatan damai perdagangan. Pembicaraan telah dimulai sejak Oktober lalu.
Dari pertemuan yang langsung dihadiri Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri China itu, keduanya mengaku sepakat pada sejumlah hal. Diantaranya, AS yang bersedia membatalkan salah satu kebijakan tarifnya pada barang China yang berlaku di Oktober.
Meski demikian, penandatanganan secara resmi poin-poin pertemuan tak kunjung terjadi. Awalnya penandatanganan kesepakatan dagang fase pertama kedua negara akan dilakukan di puncak meeting APEC pada pertengahan November di Chile.
Sayangnya keamanan Chile yang buruk akibat demonstrasi terus menerus membuat agenda ini dibatalkan. Sejumlah lokasi disebutkan akan menjadi tempat alternatif, seperti London, Iowa dan Hawai.
Namun belum ada konfirmasi resmi dari Beijing dan Washington. Trump sempat menyebut pertemuan akan dilakukan Desember nanti.
Perang dagang AS-China bermula pada awal 2018 lalu. Ketika itu, Presiden AS Donald Trump menyebut beberapa negara di dunia, utamanya China, telah banyak merugikan AS melalui praktik perdagangan yang tidak adil. Perang dagang juga terjadi karena AS banyak mencatatkan defisit dalam perdagangannya dengan negara lain.
Melalui cuitan di Twitter pada 2 Maret 2018, Trump mengatakan perang dagang itu baik dan mudah untuk dimenangkan.
"Ketika suatu negara (AS) kehilangan miliaran dolar karena perdagangan dengan hampir setiap negara yang berbisnis dengannya, perang dagang itu baik dan mudah dimenangkan. Contoh, ketika kita memiliki defisit US$100 miliar dengan negara tertentu dan mereka menjadi 'manja', jangan berdagang lagi - kita menang besar. Mudah!" tulisnya.
![]() |
Sejak saat itu, Gedung Putih terus mengejar tujuannya untuk merombak kesepakatan dagang global dengan meluncurkan serangan tarif impor terhadap China yang diikuti dengan serentetan pembicaraan dagang yang masih berlangsung hingga saat ini.
Namun sebenarnya, perang dagang AS-China sudah lama menjadi tujuan Trump. Sebelum meluncurkan kampanye kepresidenannya pada tahun 2015, Trump telah berulang kali menyatakan keluhannya agar China mengubah praktik dagangnya.
Melalui sebuah postingan twitter pada Mei 2014, ia mengatakan: "Ingat, China bukan teman Amerika Serikat!"
Trump bahkan menjadikan masalah dengan China sebagai amunisinya untuk memenangkan pemilu presiden pada 2016.
Pemerintah Amerika pertama kali menjatuhkan tarif impor pada barang-barang China pada Januari 2018. Saat itu tarif dikenakan pada solar dan sel surya dan jenis mesin cuci tertentu. Langkah tersebut langsung dikritik China.
Penerapan tarif itu dilakukan setelah sebelumnya kedua negara mengadakan perundingan dagang pertama yang membahas berbagai produk seperti daging dan unggas, hingga baja, aluminium, dan beberapa isu lainnya.
Selang dua bulan setelahnya, yaitu pada 8 Maret 2018, Trump menerapkan tarif impor 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium. Sebulan setelahnya, pada awal April, China menerapkan balasan dengan mengenakan tarif impor terhadap barang-barang AS senilai US$3 miliar.
Pada Mei, kedua negara kembali berunding namun kembali gagal menghasilkan kesepakatan. Setelahnya, pada 15 Juni 2018 pemerintahan Trump mengatakan akan menerapkan tarif impor 25% pada barang-barang China senilai US$50 miliar. Ancaman tarif impor itu langsung dibalas China. Negeri Tirai Bambu mengumumkan bea masuk untuk US$50 miliar produk AS.
Tiga bulan kemudian, yaitu pada 18 September, setelah mengadakan perundingan dagang yang tidak menghasilkan apa-apa lagi, Trump kembali mengumumkan tarif impor 10% terhadap US$200 miliar barang China dan mengatakan akan menaikkan tarif menjadi 25% di awal 2019. Trump juga mengancam akan mengenakan bea masuk tambahan terhadap US$267 miliar produk, jika China membalas.
Mengabaikan ancaman itu, sehari setelahnya China mengatakan akan menerapkan tarif impor pada US$60 miliar produk AS. Setelahnya, Trump terus mengancam akan menaikan tarif pada US$200 miliar barang China menjadi 25% dari 10% pada Desember. Namun, penerapan tarif sempat ditunda setelah Trump mengadakan pembicaraan dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela pertemuan G-20 di Argentina pada bulan itu. Tarif itu ditunda selama tiga bulan.
China juga setuju untuk membeli sejumlah produk AS yang sangat substansial dan menangguhkan tarif tambahan yang ditambahkan yang akan diterapkan mobil dan suku cadang buatan AS selama tiga bulan, mulai 1 Januari 2019.
Selama beberapa bulan kedua negara terus melakukan perundingan dagang. Hingga pada 10 Mei 2019, AS akhirnya meningkatkan bea masuk atas impor China senilai US$ 200 miliar. Pada Agustus, AS kembali menyerang China dengan tarif. Trump mengumumkan akan mengenakan tarif impor baru sebesar 10% untuk barang-barang China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September. Alasannya adalah karena China mengingkari janji untuk membeli produk pertanian AS dan menghentikan penjualan opioid fentanyl, sejenis obat penenang yang banyak dipakai di AS.
Pada saat itu Trump juga telah mengatakan akan mengenakan tarif lainnya pada bulan Desember mendatang.
Pada bulan yang sama, nilai yuan China jatuh di bawah 7 terhadap dolar AS, untuk pertama kalinya dalam 11 tahun. Akibat ini, AS menuduh China memanipulasi mata uangnya demi membantu ekspornya yang merugi akibat perang dagang mereka. Tuduhan itu dibantah oleh bank sentral China. Namun, AS bersikukuh akan menerapkan tarif baru sebagai hukuman.
Di akhir Agustus, China mengumumkan akan mengenakan tarif baru pada barang-barang AS senilai US$ 75 miliar sebagai pembalasan atas kenaikan tarif yang direncanakan Gedung Putih. Tarif 5-10% itu rencananya akan mulai diberlakukan pada 1 September hingga 15 Desember, bersamaan dengan tarif AS yang baru.
Namun Trump kembali membalas, mengatakan tarif senilai US$ 300 miliar yang ia rencanakan untuk jatuhkan pada barang-barang China, akan dinaikkan menjadi 15% mulai dari 1 September. Trump juga berencana menaikkan tarif yang ada pada US$ 250 miliar barang China dari 25% menjadi 30% mulai 15 Oktober.
Namun, pada 13 Oktober lalu, AS menangguhkan tarif itu. Alasannya adalah karena kedua negara sudah berhasil mencapai kesepakatan awal 'fase satu'. Tarif Oktober itu bahkan berpotensi dihapuskan oleh AS.
Saat ini AS-China tengah mengupayakan penandatanganan kesepakatan itu. Kedua negara juga dikabarkan akan membahas tarif Desember dalam pertemuan untuk menandatangani perjanjian itu. Apabila perjanjian fase satu berhasil ditandatangani sebelum 15 Desember, ada kemungkinan AS akan menghapuskan tarif itu juga, seperti yang banyak diantisipasi pelaku pasar.
Namun yang menjadi kendala, hingga saat ini kedua negara belum mengetahui kapan dan dimana penandatanganan itu akan dilakukan, atau apakah dokumen perjanjian fase satu itu akan benar ditandatangani.
(sef/sef) Next Article Searah Nih Ye... AS-China Telponan Bahas Tarif Perang Dagang
Most Popular