Bahlil, Titah Luhut & Drama Larangan Ekspor Nikel Sementara

Gustidha Budiartie & Cantika Adinda Putri & Anisatul Umah, CNBC Indonesia
30 October 2019 06:12
Bahlil, Titah Luhut & Drama Larangan Ekspor Nikel Sementara
Jakarta, CNBC Indonesia- Drama kembali terjadi di sektor pertambangan mineral, komoditas nikel lagi-lagi menjadi sorotan akibat isu percepatan larangan ekspor yang muncul tiba-tiba.

Semua bermula dari pernyataan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, pada Senin sore (28/10/2019).

Tak ada hujan tak ada angin, Bahlil yang baru menjabat Kepala BKPM dalam hitungan hari dengan cukup percaya diri mengumumkan bahwa pemerintah dan pengusaha sepakat mempercepat (lagi) larangan ekspor nikel.

"Ini kesepakatan bersama antara asosiasi dan pemerintah," kata dia, sangat mantap. Meskipun saat itu pengusaha yang diundang duduk bersamanya hanyalah barisan pengusaha smelter yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Industri Pengelolaan dan Pemurnian (AP3I).

[Gambas:Video CNBC]



Pernyataan Bahlil ini kemudian menjadi polemik, terutama dari para penambang nikel yang merasa tidak dilibatkan dalam rapat tersebut.



Para penambang nikel ini pun keberatan, sebab sebenarnya sudah ada aturan yang diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yakni Permen Nomor 11 Tahun 2019 yang melarang ekspor bijih nikel secara resmi mulai 1 Januari 2020.

Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan pihaknya masih ada beberapa catatan yang perlu dipenuhi oleh pengusaha smelter, sebelum kata sepakat diucapkan.

Terutama soal harga, ia menekankan jangan sampai smelter membeli nikel RI lebih murah ketimbang harga internasional atau harga patokan mineral (HPM) yang ditentukan pemerintah. "Pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas terhadap Smelter atau IUP yang tidak mengikuti HPM yang dikeluarkan oleh pemerintah," ujarnya, Selasa (29/10/2019).

APNI, kata dia, juga menunggu kepastian hukum berupa regulasi yang mengatur tata niaga nikel domestik agar lebih transparansi dan memberikan kepastian.

Lalu terkait surveyor atau pengawasan di lapangan, asosiasi juga meminta bisa ikut memantau. "Menggunakan 2 surveyor utk pelabuhan muat dan bongkar, jika terjadi perbedaan kadar, harus hadirkan surveyor ke 3 yang disepakati bersama."



Bahlil Membuat ESDM, BUMN, dan Menko Perekonomian Terkejut
Pernyataan Bahlil soal larangan ekspor yang dipercepat dan berlaku dalam hitungan hari, bisa jadi belum dibicarakan dengan pemangku kepentingan lainnya.

Misalnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang pada Selasa pagi masih bingung soal percepatan itu.

Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM masih melakukan evaluasi dan kunjungan lapangan terkait progres pembangunan smelter. "Ini untuk menentukan kebijakan ke depan seperti apa terkait dengan ekspor nikel," ungkap Jubir ESDM singkat, Selasa, (29/10/2019).

Hal serupa juga ditegaskan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Menurutnya tak perlu terburu-buru karena sudah terdapat aturan yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM sebelumnya. "Kita tunggu saja dulu, itu kan di ESDM sudah ada aturannya," ujarnya saat dijumpai di kantornya, Selasa (29/10/2019).

Menurutnya segala kebijakan harus memperhatikan dan berdasar regulasi, "Harus berbasis regulasi," tegasnya.

Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno juga masih mengutarakan hal yang sama dengan Menko Airlangga. Menurutnya, larangan ekspor berlaku 1 Januari 2020 sesuai aturan ESDM.

"Januari, aturannya kan yang menentukan ESDM. Belum ada aturan baru," kata Fajar Harry, kemarin.



Namun, sikap pemerintah yang sempat bingung dan berbeda dengan Bahlil ini berubah begitu hari beranjak petang, kemarin.

Kali ini karena Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan akhirnya bersuara. Ia mendukung pernyataan Bahlil, dan menjelaskan duduk perkara di balik percepatan larangan ekspor bijih nikel tersebut.

Luhut menjelaskan larangan ekspor nikel tetap berlaku mulai 1 Januari 2020 sesuai dengan regulasi dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Tapi mulai hari ini akan terdapat evaluasi, yang berdampak pada penyetopan ekspor sementara nikel ke luar negeri. Kemungkinan akan berlangsung dalam 1 atau 2 pekan.



"Jadi kita evaluasi, kita setop sementara sampai pemeriksaan dilakukan secara terpadu antara bea cukai, KPK, kemudian angkatan laut. Intinya negara ini harus disiplinkan sembarangan seperti itu kan merusak tatanan negara," ujarnya saat dijumpai di kantornya, Selasa (29/10/2019).

Penyetopan dilakukan karena tiba-tiba ada lonjakan ekspor 3 kali lipat sejak September lalu, yang biasanya sebulan 30 kapal kini bisa 100 sampai 130 kapal.

"Akibatnya itu merusak kita semua."

Penghentian sementara ini sekaligus memberi waktu pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan. Aturan selama ini ekspor diperbolehkan untuk produsen tambang yang memiliki smelter dan memproduksi nikel dengan kadar 1,7% ke atas. Tapi praktiknya, yang tidak punya smelter pun bisa sembarangan ekspor nikel ke luar negeri.

Tak tanggung-tanggung, pemerintah juga bakal menggandeng KPK dan bea cukai untuk mengawasi evaluasi ekspor dalam beberapa hari ke depan.

Usai Luhut bertitah, pemerintah pun langsung satu suara. Kementerian ESDM misalnya, langsung mengamini dengan menyatakan tidak akan menerbitkan surat rekomendasi ekspor nikel sampai beberapa waktu ke depan.

"Sementara pengecekan dilakukan, kita nggak keluarkan dulu rekomendasi barunya," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif dijumpai usai rapat di Gedung Kemenko Maritim dan Investasi, Selasa (29/10/2019).


Lebih lanjut Arifin mengatakan, pihaknya melakukan pemeriksaan untuk memastikan kebenaran kabar tersebut. Tim dari ESDM sudah berangkat untuk memeriksa kadar, volume, dan progres projek smelternya.


(gus/gus) Next Article Larangan Ekspor Dipercepat, Ini 6 Permintaan Penambang Nikel

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular