BKPM Klaim Larangan Ekspor Nikel Sudah Beres, Benarkah?

Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
29 October 2019 12:33
BKPM klaim sudah ada titik temu antara pengusaha smelter dan penambang nikel soal larangan ekspor, benarkah?
Foto: Hasil Rapat Kepala BKPM bersama Pengusaha Nikel di Indonesia dalam rangka membahas industri smelter di Indonesia. (CNBC Indonesia/Anisatul Umah)
Jakarta, CNBC Indonesia- Industri pertambangan mendapat kabar mengejutkan kemarin sore, tiba-tiba Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan larangan ekspor nikel bisa berlaku lebih cepat dari yang direncanakan.

Hal ini ia tegaskan dengan percaya diri usai menggelar pertemuan dengan Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) di kantornya.

"Ini kesepakatan bersama antara asosiasi dan pemerintah," kata Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, di kantornya kemarin Sore.

BKPM kemudian menerbitkan rilis hari ini yang menjelaskan soal apa yang terjadi pada pertemuan tersebut.

Ia menjelaskan pertemuan dengan pengusaha smelter tersebut dilakukan dalam upaya realisasi investasi dan menjaga operasi usaha smelter di Indonesia. Lalu, diundang 35 perusahaan smelter di mana melalui pertemuan tersebut, para pengusaha dapat menyampaikan kendala dan permasalahan di lapangan, sehingga BKPM dapat mengambil langkah konkrit untuk mempercepat realisasi investasi di bidang smelter.



Bahlil menyampaikan bahwa masalah yang dihadapi perusahaan smelter sangat beragam, mulai dari perizinan, lahan, infrastruktur, bahan baku, dan perpajakan.

"Salah satu masalah utamanya adalah keterbatasan bahan baku. Keterbatasan bahan baku berupa bijih tambang (ore) disebabkan adanya kegiatan ekspor bahan mentah ilegal, seperti bijih nikel, sehingga para pengusaha smelter bersaing memperebutkan bahan baku yang jumlahnya semakin berkurang," ujarnya seperti dikutip dari rilis BKPM, Selasa (29/10/2019).

Sementara, diketahui harga bijih nikel lebih tinggi dibanding harga yang dibeli di dalam negeri. Ini berakibat smelter kesulitan bahan baku.

[Gambas:Video CNBC]





"Melalui pertemuan dengan para pengusaha hari ini, kita berpikir bagaimana cara menyelesaikan masalah-masalah. Kalau kita sepakat, maka kita putuskan. Hari ini kita akan berbicara tentang persoalan ekspor bijih nikel. Solusi yang saya bangun adalah bijih nikel tidak diekspor, tapi bagaimana bijih tersebut bisa dibeli oleh pengusaha smelter dalam negeri dengan harga internasional RRT dikurangi transhipment dan pajak ekspor," jelas Bahlil.

Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menegaskan keputusan tersebut dihasilkan oleh pengusaha smelter yang tergabung dalam AP3I (Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian) dan BKPM.

Ia menegaskan, dari sisi penambang masih terdapat beberapa catatan sebelum kebijakan tersebut berlaku. Paling utama adalah masalah harga, surveyor, dan tata niaga.

Terutama soal harga, ia menekankan jangan sampai smelter membeli nikel RI lebih murah ketimbang harga internasional atau harga patokan mineral (HPM) yang ditentukan pemerintah. "Pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas terhadap Smelter atau IUP yang tidak mengikuti HPM yang dikeluarkan oleh pemerintah," ujarnya, Selasa (29/10/2019).

APNI, kata dia, juga menunggu kepastian hukum berupa regulasi yang mengatur tata niaga nikel domestik agar lebih transparansi dan memberikan kepastian.

Lalu terkait surveyor atau pengawasan di lapangan, asosiasi juga meminta bisa ikut memantau. "Menggunakan 2 surveyor untuk pelabuhan muat dan bongkar, jika terjadi perbedaan kadar, harus hadirkan surveyor ke 3 yang disepakati bersama."




(gus/gus) Next Article Larangan Ekspor Dipercepat, Ini 6 Permintaan Penambang Nikel

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular