
GM Cabut, Kredit Kendaraan Seret, Ada Apa dengan Indonesia?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 October 2019 05:24

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar kurang sedap hadir di dunia otomotif nasional. General Motors (GM) memutuskan untuk hengkang dari Ibu Pertiwi. Setelah menutup pabrik pada medio 2015, GM kini benar-benar pergi, bahkan menjual mobil di Indonesia pun tidak.
Hector Villarreal, Presiden GM Asia Tenggara, mengatakan bahwa keputusan ini diambil setelah melalui serangkaian pertimbangan yang menyeluruh dari berbagai rencana bisnis yang memungkinkan bagi GM Indonesia pada masa yang akan datang.
"Secara global, GM telah mengambil langkah-langkah yang sulit untuk memfokuskan aset dan sumber daya yang dimilikinya. Keputusan yang sulit ini konsisten dengan strategi global GM untuk tetap berfokus pada pasar yang memiliki jalur yang jelas untuk mencapai keuntungan yang berkesinambungan," katanya dalam keterangan tertulis.
GM membawahi beberapa merek seperti Chevrolet. Pada Juni 2015, pabrik Chevrolet di Bekasi tutup. Keputusan GM selanjutnya yaitu memutuskan hengkang dari Indonesia tidak kalah mengejutkan.
Kemudian, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menyebutkan bahwa penyaluran Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) turun 2% year-on-year (YoY) menjadi Rp 47,83 triliun pada September 2019. Padahal kredit konsumsi lainnya masih bisa naik, seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tumbuh 6,8%, kartu kredit tumbuh 10,4%, dan kredit karyawan tumbuh 0,8%.
KKB segmen roda empat sebenarnya masih tumbuh 0,8%. Namun segmen roda dua turun lumayan dalam yaitu mencapai 36,1%.
Dua fenomena tersebut menggambarkan bahwa sektor otomotif memang sedang lesu, terutama menyangkut penjualan. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebutkan, pertumbuhan penjualan mobil hampir selalu negatif sejak awal tahun ini. Hanya sekali penjualan mobil mencatatkan pertumbuhan yaitu pada Juni, itu pun hanya 1,1%.
Sementara data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) menyebutkan penjualan si kuda besi justru tidak separah mobil. Namun memang ada perlambatan setelah mencapai puncak pada April 2018, yang mampu tumbuh 49,7%.
Hengkangnya GM dan penurunan KKB merupakan contoh nyata bagaimana industri otomotif Tanah Air sedang megap-megap. Apa penyebabnya?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Melihat data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), terjadi perlambatan dalam empat bulan terakhir. Bahkan angka IKK pada September adalah yang terendah sejak Oktober tahun lalu.
Kelesuan penjualan kendaraan bermotor terlihat dari sub-indeks dalam IKK yaitu indeks pembelian barang tahan lama (durable goods). Sub-indeks ini mengalami penurunan sejak Juni dan angka September adalah yang terendah dalam enam bulan terakhir.
Pembelian barang tahan lama dipengaruhi oleh ekspektasi konsumen terhadap kondisi perekonomian pada masa mendatang. Ini dicerminkan oleh sub-indeks ekspektasi ekonomi, yang juga memperlihatkan adanya perlambatan.
Kemudian indeks ekspektasi terhadap penghasilan juga menunjukkan perlambatan. Indeks ini mengalami tren perlambatan sejak Mei, artinya keyakinan konsumen terhadap prospek pendapatan ke depan memudar sehingga hasilnya adalah mengurangi pembelian barang tahan lama.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Oleh karena itu, sudah terlihat bahwa konsumsi rumah tangga sedang bermasalah. Memang belum sampai negatif, tetapi perlambatan adalah sebuah keniscayaan.
Konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Di tengah perlambatan ekspor dan investasi akibat ketidakpastian perekonomian global, perlambatan konsumsi tentu semakin membebani pertumbuhan ekoomi.
Jadi wajar saja kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi 2019 tidak akan sesuai dengan asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu 5,3%. Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini berada di bawah titik tengah kisaran 5-5,4%. Artinya, kemungkinan di bawah 5,2%.
Menggenjot permintaan domestik menjadi kunci utama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pada 2020. BI sudah mencoba mendorong dari sisi penawaran dengan penurunan suku bunga acuan sampai empat kali sejak awal 2019. Dampaknya masih akan terlihat tahun depan, diharapkan suku bunga kredit turun sehingga menarik minat konsumen untuk mengambil pinjaman.
Nah, pekerjaan berikutnya adalah mendorong konsumsi domestik dari sisi permintaan. Ini menjadi tugas pemerintah. Kebijakan fiskal menjadi tumpuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Insentif berupa penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan adalah salah satu kebijakan yang dinanti untuk mendorong konsumsi. Ketika beban pajak korporasi turun, maka diharapkan akan tercipta investasi baru yang membuka lapangan kerja sehingga konsumsi rumah tangga meningkat.
Namun untuk naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi, pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% tidak cukup bagi Indonesia. Menurut Masyita Crystallin, Kepala Ekonom DBS Indonesia, Indonesia harus tumbuh di atas 6%.
"Hal ini hanya bisa dicapai jika mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia diperbaharui. Saat ini perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada sektor komoditas dan sektor-sektor dengan nilai tambah rendah. Sektor manufaktur, yang biasanya menjadi mesin pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara yang berhasil mengakselerasi pertumbuhan ekonomi seperti Korea Selatan dan Tiongkok, tumbuh sekitar 4% selama beberapa tahun terakhir, di bawah pertumbuhan ekonomi. Untuk bisa tumbuh lebih tinggi revitalisasi sektor manufaktur sangat penting untuk dilakukan segera, dan dikhususkan untuk sektor dengan nilai tambah yang tinggi. Selain itu, sektor yang perlu dikembangkan adalah sektor dengan penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi. Terutama karena setiap tahun ada tiga juta tenaga kerja baru yang perlu pekerjaan," papar Masyita dalam risetnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Bukan Avanza, Ini Kendaraan Paling Banyak Diproduksi di RI
Hector Villarreal, Presiden GM Asia Tenggara, mengatakan bahwa keputusan ini diambil setelah melalui serangkaian pertimbangan yang menyeluruh dari berbagai rencana bisnis yang memungkinkan bagi GM Indonesia pada masa yang akan datang.
"Secara global, GM telah mengambil langkah-langkah yang sulit untuk memfokuskan aset dan sumber daya yang dimilikinya. Keputusan yang sulit ini konsisten dengan strategi global GM untuk tetap berfokus pada pasar yang memiliki jalur yang jelas untuk mencapai keuntungan yang berkesinambungan," katanya dalam keterangan tertulis.
Kemudian, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menyebutkan bahwa penyaluran Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) turun 2% year-on-year (YoY) menjadi Rp 47,83 triliun pada September 2019. Padahal kredit konsumsi lainnya masih bisa naik, seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tumbuh 6,8%, kartu kredit tumbuh 10,4%, dan kredit karyawan tumbuh 0,8%.
KKB segmen roda empat sebenarnya masih tumbuh 0,8%. Namun segmen roda dua turun lumayan dalam yaitu mencapai 36,1%.
Dua fenomena tersebut menggambarkan bahwa sektor otomotif memang sedang lesu, terutama menyangkut penjualan. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebutkan, pertumbuhan penjualan mobil hampir selalu negatif sejak awal tahun ini. Hanya sekali penjualan mobil mencatatkan pertumbuhan yaitu pada Juni, itu pun hanya 1,1%.
Sementara data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) menyebutkan penjualan si kuda besi justru tidak separah mobil. Namun memang ada perlambatan setelah mencapai puncak pada April 2018, yang mampu tumbuh 49,7%.
Hengkangnya GM dan penurunan KKB merupakan contoh nyata bagaimana industri otomotif Tanah Air sedang megap-megap. Apa penyebabnya?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Melihat data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), terjadi perlambatan dalam empat bulan terakhir. Bahkan angka IKK pada September adalah yang terendah sejak Oktober tahun lalu.
Kelesuan penjualan kendaraan bermotor terlihat dari sub-indeks dalam IKK yaitu indeks pembelian barang tahan lama (durable goods). Sub-indeks ini mengalami penurunan sejak Juni dan angka September adalah yang terendah dalam enam bulan terakhir.
Pembelian barang tahan lama dipengaruhi oleh ekspektasi konsumen terhadap kondisi perekonomian pada masa mendatang. Ini dicerminkan oleh sub-indeks ekspektasi ekonomi, yang juga memperlihatkan adanya perlambatan.
Kemudian indeks ekspektasi terhadap penghasilan juga menunjukkan perlambatan. Indeks ini mengalami tren perlambatan sejak Mei, artinya keyakinan konsumen terhadap prospek pendapatan ke depan memudar sehingga hasilnya adalah mengurangi pembelian barang tahan lama.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Oleh karena itu, sudah terlihat bahwa konsumsi rumah tangga sedang bermasalah. Memang belum sampai negatif, tetapi perlambatan adalah sebuah keniscayaan.
Konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Di tengah perlambatan ekspor dan investasi akibat ketidakpastian perekonomian global, perlambatan konsumsi tentu semakin membebani pertumbuhan ekoomi.
Jadi wajar saja kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi 2019 tidak akan sesuai dengan asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu 5,3%. Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini berada di bawah titik tengah kisaran 5-5,4%. Artinya, kemungkinan di bawah 5,2%.
Menggenjot permintaan domestik menjadi kunci utama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pada 2020. BI sudah mencoba mendorong dari sisi penawaran dengan penurunan suku bunga acuan sampai empat kali sejak awal 2019. Dampaknya masih akan terlihat tahun depan, diharapkan suku bunga kredit turun sehingga menarik minat konsumen untuk mengambil pinjaman.
Nah, pekerjaan berikutnya adalah mendorong konsumsi domestik dari sisi permintaan. Ini menjadi tugas pemerintah. Kebijakan fiskal menjadi tumpuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Insentif berupa penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan adalah salah satu kebijakan yang dinanti untuk mendorong konsumsi. Ketika beban pajak korporasi turun, maka diharapkan akan tercipta investasi baru yang membuka lapangan kerja sehingga konsumsi rumah tangga meningkat.
Namun untuk naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi, pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% tidak cukup bagi Indonesia. Menurut Masyita Crystallin, Kepala Ekonom DBS Indonesia, Indonesia harus tumbuh di atas 6%.
"Hal ini hanya bisa dicapai jika mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia diperbaharui. Saat ini perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada sektor komoditas dan sektor-sektor dengan nilai tambah rendah. Sektor manufaktur, yang biasanya menjadi mesin pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara yang berhasil mengakselerasi pertumbuhan ekonomi seperti Korea Selatan dan Tiongkok, tumbuh sekitar 4% selama beberapa tahun terakhir, di bawah pertumbuhan ekonomi. Untuk bisa tumbuh lebih tinggi revitalisasi sektor manufaktur sangat penting untuk dilakukan segera, dan dikhususkan untuk sektor dengan nilai tambah yang tinggi. Selain itu, sektor yang perlu dikembangkan adalah sektor dengan penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi. Terutama karena setiap tahun ada tiga juta tenaga kerja baru yang perlu pekerjaan," papar Masyita dalam risetnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Bukan Avanza, Ini Kendaraan Paling Banyak Diproduksi di RI
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular