
GM Cabut, Kredit Kendaraan Seret, Ada Apa dengan Indonesia?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 October 2019 05:24

Oleh karena itu, sudah terlihat bahwa konsumsi rumah tangga sedang bermasalah. Memang belum sampai negatif, tetapi perlambatan adalah sebuah keniscayaan.
Konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Di tengah perlambatan ekspor dan investasi akibat ketidakpastian perekonomian global, perlambatan konsumsi tentu semakin membebani pertumbuhan ekoomi.
Jadi wajar saja kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi 2019 tidak akan sesuai dengan asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu 5,3%. Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini berada di bawah titik tengah kisaran 5-5,4%. Artinya, kemungkinan di bawah 5,2%.
Menggenjot permintaan domestik menjadi kunci utama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pada 2020. BI sudah mencoba mendorong dari sisi penawaran dengan penurunan suku bunga acuan sampai empat kali sejak awal 2019. Dampaknya masih akan terlihat tahun depan, diharapkan suku bunga kredit turun sehingga menarik minat konsumen untuk mengambil pinjaman.
Nah, pekerjaan berikutnya adalah mendorong konsumsi domestik dari sisi permintaan. Ini menjadi tugas pemerintah. Kebijakan fiskal menjadi tumpuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Insentif berupa penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan adalah salah satu kebijakan yang dinanti untuk mendorong konsumsi. Ketika beban pajak korporasi turun, maka diharapkan akan tercipta investasi baru yang membuka lapangan kerja sehingga konsumsi rumah tangga meningkat.
Namun untuk naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi, pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% tidak cukup bagi Indonesia. Menurut Masyita Crystallin, Kepala Ekonom DBS Indonesia, Indonesia harus tumbuh di atas 6%.
"Hal ini hanya bisa dicapai jika mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia diperbaharui. Saat ini perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada sektor komoditas dan sektor-sektor dengan nilai tambah rendah. Sektor manufaktur, yang biasanya menjadi mesin pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara yang berhasil mengakselerasi pertumbuhan ekonomi seperti Korea Selatan dan Tiongkok, tumbuh sekitar 4% selama beberapa tahun terakhir, di bawah pertumbuhan ekonomi. Untuk bisa tumbuh lebih tinggi revitalisasi sektor manufaktur sangat penting untuk dilakukan segera, dan dikhususkan untuk sektor dengan nilai tambah yang tinggi. Selain itu, sektor yang perlu dikembangkan adalah sektor dengan penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi. Terutama karena setiap tahun ada tiga juta tenaga kerja baru yang perlu pekerjaan," papar Masyita dalam risetnya.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Di tengah perlambatan ekspor dan investasi akibat ketidakpastian perekonomian global, perlambatan konsumsi tentu semakin membebani pertumbuhan ekoomi.
Jadi wajar saja kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi 2019 tidak akan sesuai dengan asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yaitu 5,3%. Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini berada di bawah titik tengah kisaran 5-5,4%. Artinya, kemungkinan di bawah 5,2%.
Menggenjot permintaan domestik menjadi kunci utama untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pada 2020. BI sudah mencoba mendorong dari sisi penawaran dengan penurunan suku bunga acuan sampai empat kali sejak awal 2019. Dampaknya masih akan terlihat tahun depan, diharapkan suku bunga kredit turun sehingga menarik minat konsumen untuk mengambil pinjaman.
Nah, pekerjaan berikutnya adalah mendorong konsumsi domestik dari sisi permintaan. Ini menjadi tugas pemerintah. Kebijakan fiskal menjadi tumpuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Insentif berupa penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan adalah salah satu kebijakan yang dinanti untuk mendorong konsumsi. Ketika beban pajak korporasi turun, maka diharapkan akan tercipta investasi baru yang membuka lapangan kerja sehingga konsumsi rumah tangga meningkat.
Namun untuk naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi, pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% tidak cukup bagi Indonesia. Menurut Masyita Crystallin, Kepala Ekonom DBS Indonesia, Indonesia harus tumbuh di atas 6%.
"Hal ini hanya bisa dicapai jika mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia diperbaharui. Saat ini perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada sektor komoditas dan sektor-sektor dengan nilai tambah rendah. Sektor manufaktur, yang biasanya menjadi mesin pertumbuhan ekonomi bagi negara-negara yang berhasil mengakselerasi pertumbuhan ekonomi seperti Korea Selatan dan Tiongkok, tumbuh sekitar 4% selama beberapa tahun terakhir, di bawah pertumbuhan ekonomi. Untuk bisa tumbuh lebih tinggi revitalisasi sektor manufaktur sangat penting untuk dilakukan segera, dan dikhususkan untuk sektor dengan nilai tambah yang tinggi. Selain itu, sektor yang perlu dikembangkan adalah sektor dengan penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi. Terutama karena setiap tahun ada tiga juta tenaga kerja baru yang perlu pekerjaan," papar Masyita dalam risetnya.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular