Pak Syahrul, Usul 4 Langkah untuk Mendongkrak Pertanian RI

Tirta Citradi & Arif Gunawan, CNBC Indonesia
26 October 2019 10:02
Jangan Impor Terlalu Banyak di Saat yang Tak Tepat
Foto: Sertijab Kementerian Pertanian, Syahrul Yasin Limpo dan Amran (CNBC Indonesia/Efrem)
Fokus utama ketiga yaitu terkait ketahanan pangan. Menurut UU No. 18/2012, ketahanan pangan didefinisikan sebagai :

“kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif, produktif dan berkelanjutan”

Menurut laporan Global Food Security Indeks, Indonesia merupakan negara dengan dengan tingkat ketahanan pangan yang sedang. Dari 113 negara, Indonesia berada di peringkat 65 pada 2018 dengan indeks total 54,8.

Indonesia masih kalah dengan Singapura, Malaysia, China, Malaysia, Thailand dan Vietnam kalau membahas ketahanan pangan.



Global Food Security mengkaji tiga pilar utama ketahanan pangan suatu negara dilihat dari keterjangkauan, ketersediaan serta kualitas dan keamanan.

Kalau masalah ketersediaan skor Indonesia bisa dibilang cukup oke dengan indeks berada di level 58,2.

Sementara itu untuk skor keterjangkauan Indonesia mendapat nilai 55,2. Namun untuk masalah kualitas dan keamanan, Indonesia dapat skor yang jeblok yaitu 44,5. Perbaikan di setiap pilar di atas tentu harus dijadikan agenda prioritas. Namun ada satu faktor yang perlu disoroti terutama terkait dengan keterjangkauan.

Kementerian Pertanian memiliki program utama untuk menstabilkan harga pangan dan menekan inflasi. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan cara impor. Namun impor tersebut tidak tepat sasaran justru menyebabkan kerugian pada petani hingga memberikan dampak negatif terhadap perekonomian.

Ambil contoh kasus impor beras tahun 2018 yang menyebabkan neraca dagang Indonesia mencatatkan defisit terparah sejak 1975. Pada tahun tersebut, Indonesia mencatatkan defisit neraca perdagangan sebesar US$ 8,7 miliar.

Impor beras dilakukan dengan alasan untuk menstabilkan harga dan menekan inflasi. Tercatat impor beras melonjak hingga 600% pada tahun 2018 (Januari-November) jika dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2017 impor beras Indonesia tercatat hanya 0,3 juta ton, kemudian melonjak drastis hingga 2,2 juta ton di tahun 2018.

Impor beras memang tidak dilarang karena walau secara kalkulasi pertanian, Indonesia mencatatkan surplus produksi beras, impor tetap perlu dilakukan mengingat panen tidak terjadi sepanjang tahun dan ada periode tertentu dengan panen yang sangat rendah.

Poin yang jadi masalah adalah besaran impor dan timing-nya. Besaran impor tidak boleh terlalu kedodoran maupun kekecilan. Jika terlalu besar, maka berpotensi membuat neraca dagang tekor lagi, sedangkan jika kekecilan berpotensi mendongkrak inflasi. Karenanya, perlu ada kalkulasi cermat untuk hal ini.

Selain itu, waktu impor harusnya dilakukan saat produksi hasil panen lagi seret, bukan seperti pada tahun 2018 yang dilakukan justru saat panen sedang berlimpah. Tentu hal ini merugikan petani.

Salah satu indikator ketahanan pangan memang keterjangkauan terutama dari segi harga yang relatif stabil dan sesuai dengan daya beli masyarakat. Namun apa artinya harga terjangkau jika petani merugi sehingga malas bercocok tanam dan berujung pada kian tergerusnya ketahanan pangan kita?

TIM RISET CNBC INDONESIA

(twg/twg)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular