Pak Syahrul, Usul 4 Langkah untuk Mendongkrak Pertanian RI

Tirta Citradi & Arif Gunawan, CNBC Indonesia
26 October 2019 10:02
Pak Syahrul, Usul 4 Langkah untuk Mendongkrak Pertanian RI
Foto: Yasin Limpo Targetkan Satu Data Pertanian Dalam 100 Hari (CNBC Indonesia TV)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nama Syahrul Yasin Limpo telah lama malang melintang di dunia perpolitikan Indonesia. Karir politiknya diawali dari tingkat paling rendah (lurah) kemudian menjadi Bupati Kabupaten Gowa (1994-2002) hingga Gubernur Sulawesi Selatan (2008-2018).

Banyak penghargaan yang telah diraih oleh Yasin terutama di bidang pertanian dan pangan. Menurut Yasin, capaian tersebut telah membuat sang presiden kepincut untuk meminangnya sebagai Menteri Pertanian periode 2019-2024.

Kementerian Pertanian (Kementan) adalah institusi yang krusial dalam perekonomian. Sektor ini memainkan peran strategis dengan menjadi penyumbang terbesar keempat terhadap produk domestik (PDB) nasional. Per 2018, besaran kontribusinya adalah 0,49 persen poin dari pertumbuhan ekonomi sebesar 5,17%.

Jika ditarik jauh ke belakang dari periode 2015-2018, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sektor pertanian menjadi penyumbang kedua PDB dengan kontribusi 13,23% dan menyerap 35,7 juta orang pekerja, setara dengan 28,79% dari jumlah penduduk bekerja di Indonesia tahun lalu sebanyak 124 juta jiwa.
Pak Yasin, Usul Empat Langkah untuk Mendongkrak Pertanian RISumber: BPS
Dalam 100 hari pertamanya, Yasin berjanji untuk menuntaskan masalah data pertanian. Mengutip dari situs resmi Kementan RI, Yasin berjanji untuk menyelesaikan data pertanian guna memetakan pertanian setiap daerah agar lebih jelas.

Ia juga menambahkan bahwa data tersebut akan menjadi milik Kementan dan harus disepakati oleh semuanya dan tidak boleh ada kementerian lain punya data pertanian. Data adalah kunci, karena dari situlah para pemangku kebijakan menetapkan berbagai regulasi seperti target produksi tanaman pangan hingga anggaran dan jumlah subsidi pupuk petani.

Masalah yang selama ini dihadapi oleh kementerian pertanian adalah data yang berbeda-beda. Ambil contoh kasus penetapan anggaran subsidi pupuk untuk petani yang harus menghitung luas lahan pertanian. Untuk masalah ini saja masih ada ketidaksesuaian data Kementan dengan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) maupun data lapangan.

Menurut data BPN, sejak 2013-2018 terdapat penyusutan lahan pertanian sebesar 689.519 hektar. Namun setelah dikonfirmasi ke pemerintah daerah di seluruh Indonesia, penyusutan lahan mencapai 865.063 hektar pada periode yang sama.

Masalah ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Ada baiknya untuk masalah basis data ditetapkan kebijakan satu pintu data. Selain itu, pemutakhiran metode akuisisi data melalui survei maupun sampling juga harus dilakukan untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya galat yang dapat mempengaruhi validitas data.

Poin lain yang juga penting adalah soal aksesibilitas data. Perlu ada pemutakhiran akses data menggunakan teknologi yang ada untuk memudahkan berbagai pihak terutama pemangku kebijakan mengaksesnya dengan mudah.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 >> 

Tantangan lain yang dihadapi oleh pertanian Indonesia tidak hanya soal teknis seperti soal pendataan. Namun pertanian Indonesia juga menghadapi tantangan yang bersifat struktural. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu hampir 30 tahun terakhir, sokongan sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menurun.

Tercatat sejak tahun 1990-2018 kontribusi pertanian terhadap PDB turun drastis dari 22,09% menjadi sekitar 13%. Serapan tenaga kerja untuk sektor ini juga turun tajam dari 55,3% menjadi 31% pada periode yang sama.

Sektor pertanian pun tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Ketika ekonomi Indonesia mencatatkan pertumbuhan 5% dalam kurun waktu lima tahun terakhir, pertumbuhan sektor pertanian hanya mampu mencapai angka 3%.



Memang secara struktural, ekonomi Indonesia saat ini ditopang oleh sektor manufaktur dan jasa. Namun bukan berarti pertanian akan ditinggalkan begitu saja. Kementan justru harus melihat momentum ini untuk mendongkrak perekonomian RI.

Setidaknya ada tiga fokus utama yang dapat dijadikan agenda prioritas Kementan lima tahun ke depan. Pertama terkait dengan fokus mendongkrak daya saing komoditas unggulan ekspor tanah air. Kedua, hilirisasi industri untuk produk hasil pertanian dan yang terakhir adalah memperkuat ketahanan pangan dalam negeri.

Mari mulai dari yang pertama, yaitu meningkatkan daya saing komoditas ekspor andalan tanah air. Indonesia punya beberapa komoditas unggulan ekspor mulai dari karet, sawit, kakao hingga kopi.

Indonesia merupakan negara produsen sawit terbesar di dunia. Mengutip data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor sawit Indonesia pada 2018 mencapai US$ 16,53 miliar dengan pertumbuhan rata-rata tahunan mencapai 2,58%.



Sementara itu ekspor karet dan produk karet, kakao dan juga kopi pada 2018 masing-masing sebesar US$ 6,38 miliar, US$ 1,06 miliar dan US$ 810 juta.

Khusus untuk produk sawit seperti CPO, Indonesia terkena kampanye negatif dari LSM asing yang menilai CPO RI merusak lingkungan. Oleh karena itu, Kementan perlu menggaet Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk bersama-sama menetapkan kebijakan pertanian dan industri sawit yang berkelanjutan.

Sebenarnya Indonesia sudah punya program sertifikasi sawit (ISPO), pemerintah juga mencanangkan 75% sawit rakyat telah tersertifikasi ISPO pada 2025. Kementerian Pertanian perlu terus memonitor kemajuan dari program ini serta melakukan pendampingan terutama bagi petani sawit yang memiliki perkebunan rakyat.

Selain program sertifikasi yang bertujuan untuk mendongkrak daya saing, program-program lain yang juga perlu digalakkan seperti peningkatan produktivitas melalui intensifikasi bukan ekstensifikasi.

Industri sawit nusantara juga perlu didorong untuk melakukan aktivitas penelitian, pengembangan dan inovasi terutama diarahkan untuk praktik pertanian dan industri sawit yang sustainable, perolehan bibit sawit unggul, peningkatan kualitas minyak sawit serta peningkatan produktivitas.

Untuk mencapai program tersebut kementerian dapat meningkatkan anggaran risetnya maupun menggaet institusi-institusi riset serta perguruan tinggi dalam negeri. Pendekatan ini juga dapat dilakukan untuk berbagai komoditas unggulan ekspor lainnya.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 >> 


Fokus utama kedua Kementan yaitu soal hilirisasi industri untuk produk pertanian unggulan dan potensial. Hilirisasi industri produk hasil pertanian perlu untuk dilakukan mengingat Indonesia kaya akan sumber daya alam serta mulai terkikisnya sumbangsih sektor pertanian terhadap PDB.

Hilirisasi sudah terjadi untuk industri sawit melalui program B30 yang akan mulai berlaku tahun depan. Hilirisasi juga harus didorong untuk komoditas potensial Indonesia lainnya.

Beberapa komoditas potensial Indonesia untuk ekspor seperti tanaman obat, minyak atsiri serta rempah-rempah. Ekspor minyak atsiri Indonesia contohnya, trennya tumbuh 3,79% dari 2014-2018. Pada tahun 2018 saja ekspor minyak atsiri Indonesia menurut Kementerian Perdagangan mencapai US$ 199,3 juta.



Perlu diketahui bahwa minyak atsiri merupakan salah satu bahan dasar parfum, perasa makanan hingga pewangi. Indonesia memasok sebagian besar bahan dasar. Namun sayangnya Indonesia masih mengimpor parfum dari luar negeri.

Untuk itu perlu ada industri pengolahan untuk mendongkrak nilai tambah produk pertanian. Beberapa contoh langkah yang dapat dilakukan Kementan untuk menyiasati hal ini seperti melakukan pemetaan berbagai tanaman yang potensial menghasilkan minyak atsiri, mulai dari jenis, kandungan, jumlah hingga sebaran dan status konservasinya.

Lagi-lagi berarti perlu ada aktivitas penelitian, pengembangan dan inovasi. Kementerian Pertanian juga perlu menggaet Kementerian Perindustrian dan lembaga terkait lainnya untuk membuat peta jalan (road map) yang jelas ukuran ketercapaiannya mulai dari segi waktu, biaya investasi, target investor strategis.

Kuncinya di investasi memang. Tentu untuk menarik investor, Kementerian Pertanian juga perlu perhatian dari Kementerian Perekonomian terutama untuk membuat kebijakan yang dapat menstimulasi tumbuhnya investasi di sektor ini.

Terciptanya industri hilir pertanian akan memberikan berbagai dampak positif mulai dari serapan tenaga kerja hingga pertumbuhan ekonomi dan sektor riil. Sektor pertanian dan sektor manufaktur merupakan sektor primer dan sekunder yang banyak menyerap tenaga kerja alias padat karya.

BERLANJUT KE HALAMAN 4 >>


Fokus utama ketiga yaitu terkait ketahanan pangan. Menurut UU No. 18/2012, ketahanan pangan didefinisikan sebagai :

“kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif, produktif dan berkelanjutan”

Menurut laporan Global Food Security Indeks, Indonesia merupakan negara dengan dengan tingkat ketahanan pangan yang sedang. Dari 113 negara, Indonesia berada di peringkat 65 pada 2018 dengan indeks total 54,8.

Indonesia masih kalah dengan Singapura, Malaysia, China, Malaysia, Thailand dan Vietnam kalau membahas ketahanan pangan.



Global Food Security mengkaji tiga pilar utama ketahanan pangan suatu negara dilihat dari keterjangkauan, ketersediaan serta kualitas dan keamanan.

Kalau masalah ketersediaan skor Indonesia bisa dibilang cukup oke dengan indeks berada di level 58,2.

Sementara itu untuk skor keterjangkauan Indonesia mendapat nilai 55,2. Namun untuk masalah kualitas dan keamanan, Indonesia dapat skor yang jeblok yaitu 44,5. Perbaikan di setiap pilar di atas tentu harus dijadikan agenda prioritas. Namun ada satu faktor yang perlu disoroti terutama terkait dengan keterjangkauan.

Kementerian Pertanian memiliki program utama untuk menstabilkan harga pangan dan menekan inflasi. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan cara impor. Namun impor tersebut tidak tepat sasaran justru menyebabkan kerugian pada petani hingga memberikan dampak negatif terhadap perekonomian.

Ambil contoh kasus impor beras tahun 2018 yang menyebabkan neraca dagang Indonesia mencatatkan defisit terparah sejak 1975. Pada tahun tersebut, Indonesia mencatatkan defisit neraca perdagangan sebesar US$ 8,7 miliar.

Impor beras dilakukan dengan alasan untuk menstabilkan harga dan menekan inflasi. Tercatat impor beras melonjak hingga 600% pada tahun 2018 (Januari-November) jika dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2017 impor beras Indonesia tercatat hanya 0,3 juta ton, kemudian melonjak drastis hingga 2,2 juta ton di tahun 2018.

Impor beras memang tidak dilarang karena walau secara kalkulasi pertanian, Indonesia mencatatkan surplus produksi beras, impor tetap perlu dilakukan mengingat panen tidak terjadi sepanjang tahun dan ada periode tertentu dengan panen yang sangat rendah.

Poin yang jadi masalah adalah besaran impor dan timing-nya. Besaran impor tidak boleh terlalu kedodoran maupun kekecilan. Jika terlalu besar, maka berpotensi membuat neraca dagang tekor lagi, sedangkan jika kekecilan berpotensi mendongkrak inflasi. Karenanya, perlu ada kalkulasi cermat untuk hal ini.

Selain itu, waktu impor harusnya dilakukan saat produksi hasil panen lagi seret, bukan seperti pada tahun 2018 yang dilakukan justru saat panen sedang berlimpah. Tentu hal ini merugikan petani.

Salah satu indikator ketahanan pangan memang keterjangkauan terutama dari segi harga yang relatif stabil dan sesuai dengan daya beli masyarakat. Namun apa artinya harga terjangkau jika petani merugi sehingga malas bercocok tanam dan berujung pada kian tergerusnya ketahanan pangan kita?

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular