Dear Ibu Sri Mulyani, Ini Solusi Supaya Ekonomi Ri Tancap Gas

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
24 October 2019 06:26
Pangkas PPh Korporasi & Tebar Insentif yang Nendang
Foto: Sri Mulyani (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Lebih lanjut, PR Sri Mulyani yang kedua adalah terkait dengan insentif pajak. Asal tahu saja, perekonomian Indonesia saat ini relatif loyo. Sekedar mengingatkan, 7% merupakan target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Jokowi kala berkompetisi melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam gelaran pemilihan presiden (Pilpres) 2014.

Tuntas sudah periode pertamanya sebagai pemimpin tertinggi di negara ini, tak ada ceritanya janji manis itu terealisasi. Tak usahlah kita berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%, wong keluar dari batas bawah 5% saja kita tidak bisa.

Melansir data Refinitiv, pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi justru longsor ke angka 4,79%. Selepas itu, pertumbuhan ekonomi selalu nyaman berada di batas bawah 5%.

Teranyar pada awal Agustus, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019. Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27% YoY.

Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07% YoY. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.

Oh ya, pertumbuhan ekonomi di era Jokowi juga kerap kali berada di bawah target yang dicanangkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) yang jauh lebih konservatif ketimbang janji manisnya kala berkampanye yang sebesar 7%.

Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN. Pemerintah kemudian seakan meyombongkan diri dengan menaikkan targetnya menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target pertumbuhan ekonomi dalam APBNP justru diturunkan. Realisasinya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07% pada tahun 2017.

Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.

Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.

Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

Perekonomian Indonesia loyo kala Sri Mulyani sudah banting tulang mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi dengan mengambil kebijakan berani, yakni menerbitkan utang dalam jumlah besar.

Pada periode satu Presiden SBY (2005-2009), tercatat tambahan utang pemerintah pusat adalah senilai Rp 291 triliun. Beralih ke periode satu Presiden Jokowi (2015-2019), tambahan utang pemerintah pusat meroket menjadi Rp 2.071 triliun. Data untuk tahun 2019 yang digunakan barulah data hingga Agustus 2019. Dipastikan sampai akhir tahun 2019, tambahan utang di periode satu Jokowi akan semakin besar.

Lantas, menjadi jelas bahwa insentif fiskal yang bisa menstimulasi dunia usaha perlu ditebar. Sebagai informasi, foreign direct investment (FDI) atau penanaman modal asing (PMA) tercatat ambruk hingga 8,8% pada tahun 2018, dari yang sebelumnya melejit nyaris 10% pada tahun 2017.

Pada kuartal I-2019, FDI kembali jatuh sebesar 0,92% secara tahunan, jauh memburuk dibandingkan capaian periode kuartal I-2018 yakni pertumbuhan sebesar 12,27% YoY. Barulah pada kuartal II-2019 PMA bisa mencetak pertumbuhan, yakni sebesar 9,61% YoY.

Namun, pertumbuhan realisasi PMA pada tiga bulan kedua tahun ini perlu diwaspadai. Pasalnya, salah satu penyebab kenaikan realisasi PMA pada kuartal II-2019 adalah low-base effect.

Realisasi PMA pada kuartal II-2018 terbilang rendah sehingga tak sulit untuk membukukan pertumbuhan pada kuartal II-2019. Pada kuartal II-2018, realisasi PMA tercatat senilai Rp 95,7 triliun. Realisasi PMA tersebut merupakan realisasi PMA kuartal II terendah sejak tahun 2015.

Baca:
Realisasi Penanaman Modal Asing yang Memang Tumbuh, Tapi.....

Opsi yang tampak paling oke untuk kondisi saat ini adalah pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) korporasi. Sejatinya, wacana pemangkasan tarif PPh korporasi sudah begitu lama dilontarkan sendiri oleh pemerintah, bahkan sejak awal-awal pemerintahan Jokowi. Rencananya, tarif PPh korporasi Indonesia yang berada di level 25% akan dipangkas menjadi 18% supaya kompetitif dengan Singapura. Namun, hingga kini hal tersebut belum terealisasi.

Memang, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia, tarif PPh korporasi Indonesia tak bisa dibilang tinggi. Namun jika disandingkan dengan dunia usaha yang saat ini sedang lesu, tentu pemerintah, dalam hal ini termasuk juga Kementerian Keuangan, perlu mencari solusinya. Kalau bisa, jangan hanya ke 20%, pangkaslah tarif PPh korporasi sebanyak mungkin supaya Indonesia dipandang ‘seksi’ oleh investor.

Apalagi, selama ini insentif fiskal yang diberikan pemerintah berupa tax holiday dan tax allowance bisa dibilang kurang nendang.

Untuk periode 2017, Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa tak ada satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday. Kok bisa? Rupanya, persyaratannya terlalu sulit dipenuhi. Pemerintah seakan tak tulus memberikan insentif bagi pengusaha.

Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah menyatakan bahwa untuk mendapatkan insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday, tidaklah mudah. Selain terbatas di sektor industri tertentu, batas minimal nilai investasi yang harus dikucurkan juga sangat besar, yakni Rp 1 triliun. 

Memang, batas minimal investasi bisa diturunkan hingga menjadi Rp 500 miliar. Namun, investor harus memperkenalkan teknologi tingkat tinggi dan insentif yang bisa diberikan hanyalah pengurangan PPh paling banyak 50% saja. Hal ini memicu minimnya partisipasi pelaku usaha.

Kini, Jokowi diketahui telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 45 Tahun 2019. Ini merupakan aturan 'Super Deductible Tax' atau pengurangan pajak di atas 100%.

PP Ini merupakan perubahan atas peraturan pemerintah nomor 94 tahun 2019 tentang penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak penghasilan.

Poin baru dalam aturan ini adalah fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dan fasilitas pengurangan penghasilan neto dalam rangka penanaman modal serta pengurangan penghasilan bruto dalam rangka kegiatan tertentu, demikian dikutip CNBC Indonesia dari PP Nomor 45 Tahun 2019, Selasa (9/7/2019).

Namun, kalau peraturan turunan dari PP yang diteken Jokowi itu masih saja kentang, ya hasilnya akan sama saja, perekonomian tetap akan kurang bergairah.

Kalau dipikir lebih jauh, tentu pemangkasan tarif PPh korporasi beserta dengan pemberian tax allowance dan tax holiday bukan tanpa risiko. Penerimaan negara (yang saat ini masih harus dipacu realisasinya) bisa dibuat turun karenanya.

Namun, Sri Mulyani dan koleganya di Kementerian Keuangan tak perlu takut jika hal tersebut terjadi. Pasalnya, ruang fiskal masih sangat lebar. Jika berbicara mengenai utang, satu hal yang sering disebutkan oleh Sri Mulyani adalah rasio utang pemerintah terhadap PDB yang masih rendah.

Hal ini memang benar. Bahkan jika dibandingkan negara-negara Asia lainnya, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB merupakan yang terendah.

Lantas, sudah waktunya pemerintah memaksimalkan ruang fiskal yang ada.

Masyarakat perlu diberi pemahaman di sini. Utang bukan merupakan sesuatu yang tabu, negara-negara di dunia hampir seluruhnya atau bahkan seluruhnya memiliki utang.  Yang terpenting adalah pemanfaatan utang tersebut, apakah untuk sesuatu yang produktif atau bukan.

Jika digunakan untuk hal-hal produktif alias hal-hal yang akan meningkatkan perputaran roda ekonomi di masa depan, tentu tambahan utang tak akan menjadi masalah yang besar, terlebih jika mengingat rasio utang terhadap PDB Indonesia yang masih rendah.

Sejatinya, bahkan sebelum periode dua pemerintahan Jokowi dimulai, Sri Mulyani sudah terlihat sangar dengan mengambil ancang-ancang untuk memperlebar defisit fiskal. Pada tanggal 17 Oktober kemarin, Sri Mulyani menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 144/PMK.05.2019 mengenai perkiraan defisit dan tambahan pembiayaan defisit APBN 2019.

Dalam PMK tersebut, diatur bilamana defisit fiskal tahun 2019 melebih pagu yang ditetapkan dalam APBN, maka akan ada tambahan pembiayaan.

"Dalam hal besaran perkiraan Defisit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 melampaui target Defisit APBN Tahun Anggaran 2019 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, perkiraan tambahan Defisit tersebut dibiayai dengan menggunakan tambahan pembiayaan," demikian tulis Pasal 4 aturan tersebut.

Tambahan pembiayaan yang dimaksud bisa berasal dari tiga macam sumber yakni dana Saldo Anggaran Lebih (SAL), penarikan pinjaman tunai, dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).

Dalam acara Sertijab pasca dirinya dilantik, Rabu (23/10/2019), Sri Mulyani mengungkapkan keluarnya aturan tersebut dikarenakan kondisi ekonomi yang tak bisa terlepas dari faktor global.

"Sehingga kalau kita lihat kegiatan dari dunia usaha hingga kanwil pajak, kita pantau dan alami tekanan dan pengaruhi jumlah pembayaran pajak masa reguler tiap bulannya," paparnya.

"Oleh karena itu, APBN 2019 maka dengan kondisi makro dan tekanan maka defisit bisa lebih lebar," tutur Sri Mulyani.

Semoga di tahun-tahun mendatang Sri Mulyani selalu berani untuk memperlebar defisit anggaran. Dalam kondisi saat ini, tak perlu fokus untuk menjaga defisit serendah mungkin. Kalau memang diperlukan, maksimalkanlah ruang fiskal yang ada.

Kalau yang dipermasalahkan adalah peringkat surat utang, dengan rasio utang terhadap PDB yang jauh lebih tinggi dari Indonesia saja, toh peringkat surat utang Malaysia nyatanya berada dua level di atas Indonesia (S&P).

Jadi, itulah PR seorang Sri Mulyani dalam lima tahun ke depan sebagai arsitek keuangan negara. Segeralah eksekusi rencana untuk memajaki para pelaku usaha digital. Bukan hanya semata untuk menaikkan penerimaan pajak, namun juga demi asas keadilan.

Kemudian, pangkaslah tingkat pajak korporasi guna menstimulasi dunia usaha. Bukan hanya menjadi 20%, namun serendah mungkin. Selain itu, seriuslah kala menebar insentif fiskal lainnya seperti tax allowance dan tax holiday. Jangan sampai insentif yang sudah begitu digembar-gemborkan ternyata kurang nendang.

Good luck bu!

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ank)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular