Dear Ibu Sri Mulyani, Ini Solusi Supaya Ekonomi Ri Tancap Gas

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
24 October 2019 06:26
Dear Ibu Sri Mulyani, Ini Solusi Supaya Ekonomi Ri Tancap Gas
Foto: Sri Mulyani (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Teka-teki seputar wajah yang akan menghiasi kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) di periode dua akhirnya terjawab sudah. Pada hari ini, Rabu (23/10/2019), Jokowi resmi mengumumkan nama-nama yang akan menjadi pembantunya dalam memimpin Indonesia dalam lima tahun ke depan.

Hingga 2024, posisi menteri keuangan akan kembali dijabat oleh Sri Mulyani Indrawati yang sebelumnya juga memegang posisi serupa di periode satu Jokowi. Untuk diketahui, Sri Mulyani tak menjadi menteri keuangan secara penuh di periode satu Jokowi. Dirinya baru berkantor di Kementerian Keuangan pada tahun 2016, pasca Jokowi merayunya untuk kembali ke tanah air dan meninggalkan posisi prestigious yakni direktur pelaksana Bank Dunia.


Di era pemerintahan SBY, Sri Mulyani pernah juga menjabat sebagai menteri keuangan. Alhasil, nama yang satu ini memang tak asing lagi dengan tugas dan kewajiban menteri keuangan.

Patut diketahui bahwa posisi menteri keuangan merupakan salah satu posisi yang paling krusial bagi sebuah perekonomian, tak terkecuali Indonesia.

Maklum saja, menjadi menteri keuangan berarti menjadi arsitek keuangan dari sebuah negara. Optimisasi dari setiap penerimaan yang dikumpulkan oleh pemerintah berada di tangan seorang menteri keuangan. Maju-tidaknya sebuah negara, sejahtera-tidak rakyatnya, akan sangat ditentukan oleh kebijakan yang diambil oleh seorang menteri keuangan.

Selama didapuk sebagai menteri keuangan di periode satu Jokowi, kinerja Sri Mulyani bisa dibilang ciamik. Sepanjang periode satu pemerintahan Jokowi, Sri Mulyani mengambil keputusan yang berani dengan meningkatkan utang dalam jumlah yang besar guna membiayai pembangunan. Hal ini dilakukannya guna mengompensasi penerimaan negara yang relatif lemah lantaran perekonomian global sedang melambat.


Tambahan utang di era Jokowi yang begitu pesat banyak dialokasikan untuk membangun infrastruktur, sebuah faktor yang sangat krusial dalam memajukan sebuah perekonomian.

Walaupun secara gencar menambah utang, Sri Mulyani tetap tidak melupakan yang namanya prinsip kehati-hatian. Semenjak kembali ke Indonesia untuk menjadi menteri keuangan di pemerintahan Jokowi, defisit fiskal selalu dijaga di level yang rendah.

Nah, memasuki periode dua pemerintahan Jokowi, ada sederet PR berat yang sudah menanti Sri Mulyani. Berikut sederet PR berat yang dimaksud.

Kalau berbicara mengenai Kementerian Keuangan, rasanya yang paling pertama harus dibahas adalah penerimaan negara. Ya, salah satu fungsi utama Kementerian Keuangan adalah mengumpulkan penerimaan, baik yang berupa pajak maupun non-pajak, untuk kemudian disalurkan seefektif mungkin guna menyejahterakan masyarakat Indonesia.

Sri Mulyani kembali ke Indonesia sebagai menteri keuangan pada Juli 2016 sehingga tidak fair jika menilai kinerjanya berdasarkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) periode 2016, lantaran dirinya baru menjabat selepas tengah tahun. Oleh karena itu, kinerja Sri Mulyani akan dievaluasi menggunakan data realisasi APBN/APBNP tahun 2017 dan 2018.

Pada tahun 2015 dan 2016 kala posisi menteri keuangan ditempati oleh Bambang Brodjonegoro, realisasi penerimaan negara tercatat masing-masing sebesar 85,6% dan 87,1% dari target. Sementara itu, realisasi belanja negara adalah masing-masing sebesar 91% dan 89,5% dari target.

Beralih ke era Sri Mulyani, pada tahun 2017 dan 2018 realisasi penerimaan negara tercatat melonjak menjadi masing-masing sebesar 96% dan 102,6% dari target. Melonjaknya penerimaan negara hingga mencapai lebih dari 100% target pada tahun 2018 menandai kali pertama hal seperti itu terjadi sejak tahun 2008 silam. Sementara itu, realisasi belanja negara juga melonjak menjadi masing-masing sebesar 94,1% dan 99,7% dari target pada tahun 2017 dan 2018.

Memang, ada faktor eksternal yang membuat realisasi penerimaan negara di era Sri Mulyani menjadi tinggi, yakni derasnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebagai informasi, pos PNBP didominasi oleh bagi hasil yang didapatkan pemerintah dari pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh badan usaha. Pada tahun 2018, realisasi PNBP bahkan mencapai 148,6% dari target.

Wajar jika realisasi PNBP meningkat deras di era Sri Mulyani. Pasalnya, harga komoditas andalan Indonesia yakni minyak mentah dan batu bara melesat.

Namun, naiknya realisasi penerimaan negara di era Sri Mulyani tak serta-merta ditopang oleh derasnya PNBP. Pasalnya, realisasi penerimaan perpajakan yang berkontribusi terbesar bagi total penerimaan negara juga terbilang oke.

Pada tahun 2015 dan 2016 kala posisi menteri keuangan ditempati oleh Bambang Brodjonegoro, realisasi penerimaan perpajakan tercatat masing-masing sebesar 83,3% dan 83,5% dari target. Pada tahun 2017 dan 2018, realisasinya tercatat naik menjadi masing-masing sebesar 91,2% dan 93,9% dari target.

Di periode dua, pemerintah patut terus meningkatkan kinerjanya dalam mengumpulkan penerimaan negara, terutama penerimaan perpajakan yang relatif bisa dikontrol. Setidaknya, penerimaan perpajakan harus bisa didorong untuk mencapai 95% dari target seperti yang kita dapati di periode satu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Ya, dalam periode satu pemerintahan SBY, tak pernah sekalipun realisasi penerimaan perpajakan melorot ke bawah level 95% dari target. Pada tahun 2015, realisasi penerimaan perpajakan mencapai 98,6% dari target. Dalam dua tahun berikutnya (2006 dan 2007), realisasi penerimaan perpajakan masing-masing berada di level 96,3% dan 99,8% dari target. Beralih ke tahun 2008, realisasi penerimaan perpajakan bahkan melonjak menjadi 108,1% dari target. Di tahun 2009, realisasinya adalah sebesar 95,1% dari target.

[Gambas:Video CNBC]



BERLANJUT KE HALAMAN 2-> Pajaki Pelaku Usaha Digital

Salah satu usaha yang bisa digalakkan oleh Sri Mulyani untuk meningkatkan penerimaan perpajakan adalah memajaki pelaku usaha digital. Seperti yang diketahui, pola konsumsi masyarakat Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami perubahan yang signifikan. Toko-toko konvensional mulai ditinggalkan dan kegiatan jual-beli beralih menggunakan platform digital.

Mulai dari pakaian, perangkat telekomunikasi, hingga Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) semua bisa diperoleh dengan mudah dengan beberapa kali sentuhan di perangkat smartphone.

Namun sejauh ini, pemerintah belum berani memajaki pelaku usaha digital. Sejatinya, Sri Mulyani sempat mengarahkan supaya pelaku usaha digital dipajaki dengan meneken PMK-210/PMK.010/2018 mengenai Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (e-Commerce) yang ditetapkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2018 lalu. 

Namun, kebijakan itu ditarik hanya beberapa hari menjelang penerapan.

"Saya ingin sampaikan pengumuman pada media, pertama selama ini banyak yang memberitakan soal PMK 210 seolah-olah pemerintah buat pajak baru," kata Sri Mulyani di Kantor Pajak Tebet, Jumat (29/3/2019).

"Begitu banyak simpang siur. Kami sudah koordinasi dengan Kementerian/Lembaga dan banyak yang collect info dari perusahaan marketplace. Dengan simpang siur kami anggap perlu sosialisasi lebih lagi pada seluruh stakeholder, masyarakat, perusahaan, memahami seluruhnya."

"Saya memutuskan menarik PMK 210/2018. Itu kita tarik dengan demikian yang simpang siur tanggal 1 April ada pajak e-commerce itu nggak benar, kami putuskan tarik PMK-nya," kata Sri Mulyani.

Padahal, sudah waktunya pemerintah bersikap tegas terhadap pelaku usaha digital. Kalau berbicara mengenai asas keadilan, sikap pemerintah saat ini sangatlah tidak fair terhadap pelaku usaha konvensional yang bisnisnya direnggut oleh maraknya kehadiran marketplace di tanah air.

Kalau hal ini terus dibiarkan, bukan tak mungkin kepatuhan wajib pajak di Indonesia akan menjadi semakin rendah lantaran ada rasa cemburu melihat perlakuan pemerintah terhadap pelaku usaha digital.

Perkembangan terbaru, Sri Mulyani yang sempat mundur kini kembali menebar wacana untuk memajaki pelaku usaha digital. Pada bulan Juli lalu, Sri Mulyani meresmikan dua Direktorat di bawah Ditektorat Jenderal Pajak. Keduanya adalah Direktorat Data Informasi Perpajakan serta Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi yang masing-masing akan dipimpin oleh seorang Direktur.

"Saya harap bawa dua direktorat baru ini yang akan menjadi kunci di dalam menentukan kemampuan kita untuk melihat, menganalisa, mencari data, mengolahnya," ujar Sri Mulyani di Gedung Ditjen Pajak Pusat pada awal bulan Juli.

Sri Mulyani menjelaskan kedua Direktorat ini nantinya akan difokuskan untuk perpajakan di industri digital. Nantinya, keduanya akan menghimpun data langsung dari para pelaku ekonomi digital.

Semoga Sri Mulyani kali ini bisa mantap memajaki pelaku usaha digital. Sebabnya ya itu tadi, penerimaan pajak perlu ditingkatkan supaya penerimaan negara secara keseluruhan bisa relatif aman kala harga komoditas jatuh (yang akan membuat PNBP rendah). Selain itu, asas keadilan perlu ditegakkan supaya tak ada kecemburuan dari wajib pajak yang selama ini sudah rajin memenuhi kewajibannya.

BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Pangkas PPh Korporasi & Tebar Insentif yang Nendang

Lebih lanjut, PR Sri Mulyani yang kedua adalah terkait dengan insentif pajak. Asal tahu saja, perekonomian Indonesia saat ini relatif loyo. Sekedar mengingatkan, 7% merupakan target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Jokowi kala berkompetisi melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam gelaran pemilihan presiden (Pilpres) 2014.

Tuntas sudah periode pertamanya sebagai pemimpin tertinggi di negara ini, tak ada ceritanya janji manis itu terealisasi. Tak usahlah kita berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%, wong keluar dari batas bawah 5% saja kita tidak bisa.

Melansir data Refinitiv, pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi justru longsor ke angka 4,79%. Selepas itu, pertumbuhan ekonomi selalu nyaman berada di batas bawah 5%.

Teranyar pada awal Agustus, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019. Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27% YoY.

Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07% YoY. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.

Oh ya, pertumbuhan ekonomi di era Jokowi juga kerap kali berada di bawah target yang dicanangkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) yang jauh lebih konservatif ketimbang janji manisnya kala berkampanye yang sebesar 7%.

Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN. Pemerintah kemudian seakan meyombongkan diri dengan menaikkan targetnya menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target pertumbuhan ekonomi dalam APBNP justru diturunkan. Realisasinya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07% pada tahun 2017.

Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.

Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.

Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

Perekonomian Indonesia loyo kala Sri Mulyani sudah banting tulang mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi dengan mengambil kebijakan berani, yakni menerbitkan utang dalam jumlah besar.

Pada periode satu Presiden SBY (2005-2009), tercatat tambahan utang pemerintah pusat adalah senilai Rp 291 triliun. Beralih ke periode satu Presiden Jokowi (2015-2019), tambahan utang pemerintah pusat meroket menjadi Rp 2.071 triliun. Data untuk tahun 2019 yang digunakan barulah data hingga Agustus 2019. Dipastikan sampai akhir tahun 2019, tambahan utang di periode satu Jokowi akan semakin besar.

Lantas, menjadi jelas bahwa insentif fiskal yang bisa menstimulasi dunia usaha perlu ditebar. Sebagai informasi, foreign direct investment (FDI) atau penanaman modal asing (PMA) tercatat ambruk hingga 8,8% pada tahun 2018, dari yang sebelumnya melejit nyaris 10% pada tahun 2017.

Pada kuartal I-2019, FDI kembali jatuh sebesar 0,92% secara tahunan, jauh memburuk dibandingkan capaian periode kuartal I-2018 yakni pertumbuhan sebesar 12,27% YoY. Barulah pada kuartal II-2019 PMA bisa mencetak pertumbuhan, yakni sebesar 9,61% YoY.

Namun, pertumbuhan realisasi PMA pada tiga bulan kedua tahun ini perlu diwaspadai. Pasalnya, salah satu penyebab kenaikan realisasi PMA pada kuartal II-2019 adalah low-base effect.

Realisasi PMA pada kuartal II-2018 terbilang rendah sehingga tak sulit untuk membukukan pertumbuhan pada kuartal II-2019. Pada kuartal II-2018, realisasi PMA tercatat senilai Rp 95,7 triliun. Realisasi PMA tersebut merupakan realisasi PMA kuartal II terendah sejak tahun 2015.

Baca:
Realisasi Penanaman Modal Asing yang Memang Tumbuh, Tapi.....

Opsi yang tampak paling oke untuk kondisi saat ini adalah pemangkasan tarif pajak penghasilan (PPh) korporasi. Sejatinya, wacana pemangkasan tarif PPh korporasi sudah begitu lama dilontarkan sendiri oleh pemerintah, bahkan sejak awal-awal pemerintahan Jokowi. Rencananya, tarif PPh korporasi Indonesia yang berada di level 25% akan dipangkas menjadi 18% supaya kompetitif dengan Singapura. Namun, hingga kini hal tersebut belum terealisasi.

Memang, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia, tarif PPh korporasi Indonesia tak bisa dibilang tinggi. Namun jika disandingkan dengan dunia usaha yang saat ini sedang lesu, tentu pemerintah, dalam hal ini termasuk juga Kementerian Keuangan, perlu mencari solusinya. Kalau bisa, jangan hanya ke 20%, pangkaslah tarif PPh korporasi sebanyak mungkin supaya Indonesia dipandang ‘seksi’ oleh investor.

Apalagi, selama ini insentif fiskal yang diberikan pemerintah berupa tax holiday dan tax allowance bisa dibilang kurang nendang.

Untuk periode 2017, Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa tak ada satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday. Kok bisa? Rupanya, persyaratannya terlalu sulit dipenuhi. Pemerintah seakan tak tulus memberikan insentif bagi pengusaha.

Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pernah menyatakan bahwa untuk mendapatkan insentif pajak di Indonesia, seperti tax holiday, tidaklah mudah. Selain terbatas di sektor industri tertentu, batas minimal nilai investasi yang harus dikucurkan juga sangat besar, yakni Rp 1 triliun. 

Memang, batas minimal investasi bisa diturunkan hingga menjadi Rp 500 miliar. Namun, investor harus memperkenalkan teknologi tingkat tinggi dan insentif yang bisa diberikan hanyalah pengurangan PPh paling banyak 50% saja. Hal ini memicu minimnya partisipasi pelaku usaha.

Kini, Jokowi diketahui telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 45 Tahun 2019. Ini merupakan aturan 'Super Deductible Tax' atau pengurangan pajak di atas 100%.

PP Ini merupakan perubahan atas peraturan pemerintah nomor 94 tahun 2019 tentang penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak penghasilan.

Poin baru dalam aturan ini adalah fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dan fasilitas pengurangan penghasilan neto dalam rangka penanaman modal serta pengurangan penghasilan bruto dalam rangka kegiatan tertentu, demikian dikutip CNBC Indonesia dari PP Nomor 45 Tahun 2019, Selasa (9/7/2019).

Namun, kalau peraturan turunan dari PP yang diteken Jokowi itu masih saja kentang, ya hasilnya akan sama saja, perekonomian tetap akan kurang bergairah.

Kalau dipikir lebih jauh, tentu pemangkasan tarif PPh korporasi beserta dengan pemberian tax allowance dan tax holiday bukan tanpa risiko. Penerimaan negara (yang saat ini masih harus dipacu realisasinya) bisa dibuat turun karenanya.

Namun, Sri Mulyani dan koleganya di Kementerian Keuangan tak perlu takut jika hal tersebut terjadi. Pasalnya, ruang fiskal masih sangat lebar. Jika berbicara mengenai utang, satu hal yang sering disebutkan oleh Sri Mulyani adalah rasio utang pemerintah terhadap PDB yang masih rendah.

Hal ini memang benar. Bahkan jika dibandingkan negara-negara Asia lainnya, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB merupakan yang terendah.

Lantas, sudah waktunya pemerintah memaksimalkan ruang fiskal yang ada.

Masyarakat perlu diberi pemahaman di sini. Utang bukan merupakan sesuatu yang tabu, negara-negara di dunia hampir seluruhnya atau bahkan seluruhnya memiliki utang.  Yang terpenting adalah pemanfaatan utang tersebut, apakah untuk sesuatu yang produktif atau bukan.

Jika digunakan untuk hal-hal produktif alias hal-hal yang akan meningkatkan perputaran roda ekonomi di masa depan, tentu tambahan utang tak akan menjadi masalah yang besar, terlebih jika mengingat rasio utang terhadap PDB Indonesia yang masih rendah.

Sejatinya, bahkan sebelum periode dua pemerintahan Jokowi dimulai, Sri Mulyani sudah terlihat sangar dengan mengambil ancang-ancang untuk memperlebar defisit fiskal. Pada tanggal 17 Oktober kemarin, Sri Mulyani menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 144/PMK.05.2019 mengenai perkiraan defisit dan tambahan pembiayaan defisit APBN 2019.

Dalam PMK tersebut, diatur bilamana defisit fiskal tahun 2019 melebih pagu yang ditetapkan dalam APBN, maka akan ada tambahan pembiayaan.

"Dalam hal besaran perkiraan Defisit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 melampaui target Defisit APBN Tahun Anggaran 2019 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, perkiraan tambahan Defisit tersebut dibiayai dengan menggunakan tambahan pembiayaan," demikian tulis Pasal 4 aturan tersebut.

Tambahan pembiayaan yang dimaksud bisa berasal dari tiga macam sumber yakni dana Saldo Anggaran Lebih (SAL), penarikan pinjaman tunai, dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).

Dalam acara Sertijab pasca dirinya dilantik, Rabu (23/10/2019), Sri Mulyani mengungkapkan keluarnya aturan tersebut dikarenakan kondisi ekonomi yang tak bisa terlepas dari faktor global.

"Sehingga kalau kita lihat kegiatan dari dunia usaha hingga kanwil pajak, kita pantau dan alami tekanan dan pengaruhi jumlah pembayaran pajak masa reguler tiap bulannya," paparnya.

"Oleh karena itu, APBN 2019 maka dengan kondisi makro dan tekanan maka defisit bisa lebih lebar," tutur Sri Mulyani.

Semoga di tahun-tahun mendatang Sri Mulyani selalu berani untuk memperlebar defisit anggaran. Dalam kondisi saat ini, tak perlu fokus untuk menjaga defisit serendah mungkin. Kalau memang diperlukan, maksimalkanlah ruang fiskal yang ada.

Kalau yang dipermasalahkan adalah peringkat surat utang, dengan rasio utang terhadap PDB yang jauh lebih tinggi dari Indonesia saja, toh peringkat surat utang Malaysia nyatanya berada dua level di atas Indonesia (S&P).

Jadi, itulah PR seorang Sri Mulyani dalam lima tahun ke depan sebagai arsitek keuangan negara. Segeralah eksekusi rencana untuk memajaki para pelaku usaha digital. Bukan hanya semata untuk menaikkan penerimaan pajak, namun juga demi asas keadilan.

Kemudian, pangkaslah tingkat pajak korporasi guna menstimulasi dunia usaha. Bukan hanya menjadi 20%, namun serendah mungkin. Selain itu, seriuslah kala menebar insentif fiskal lainnya seperti tax allowance dan tax holiday. Jangan sampai insentif yang sudah begitu digembar-gemborkan ternyata kurang nendang.

Good luck bu!

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank) Next Article Cerita Sri Mulyani tak Pernah dengar ada Anak Mau Jadi Menkeu

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular