Robotisasi Marak di RI, Apa Perlu Khawatir Pak Menperin?
14 October 2019 20:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Revolusi industri 4.0 belakangan menjadi bahasan hangat di kalangan pemerintah, pengusaha dan pekerja. Ada optimisme bahwa pertumbuhan PDB riil meningkat 1-2% pada 2030 dari saat ini sebesar 5% dengan adanya otomatisasi di industri.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah mengeluarkan peta jalan making Indonesia 4.0 di mana 5 sektor industri di antaranya TPT, makanan dan minuman, otomotif, elektronik, dan kimia, dijadikan sebagai prioritas pengembangan.
Dalam paparan di acara bedah buku "Merajut Asa" Airlangga menjelaskan beberapa tantangan menghadapi industri 4.0 dan ekonomi digital antara lain teknologi Internet of Things, AI, Big Data, Robotics, Augmented Reality, New Material, Cloud Computing, dan sebagainya.
Terkait robotik, hal ini menjadi perhatian publik lantaran akan ada penyesuaian yang berdampak pada sektor tenaga kerja. Airlangga mengatakan bahwa robotik memang sudah terjadi dan untuk 4.0 tren yang terjadi adalah autonomous.
"Robot itu di 3.0, kalau 4.0 itu autonomous, dia machine to machine komunikasi. Tetapi kalau robot itu industri 3.0 sudah dimulai," kata Airlangga di kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (14/10/2019).
Meski mengandalkan autonomous, Airlangga mengatakan industri 4.0 masih tetap membutuhkan tenaga kerja manusia. Ia mengklaim making Indonesia 4.0 menjanjikan pembukaan lapangan pekerjaan sebanyak 17 juta orang, baik di sektor manufaktur maupun non-manufaktur pada 2030 sebagai akibat dari permintaan ekspor yang lebih besar.
"Kita bedakan capital intensive dan labor intensive. Terhadap labor intensive di sektor clothing, footwear walau sudah menggunakan industri 4.0 tetap membutuhkan tenaga kerja manusia," kata Airlangga.
Rektor ITS M Ashari mengatakan robot masa depan atau autonomous bakal menimbulkan disrupsi atau gangguan pada sektor tenaga kerja. Ia mengatakan bahwa dalam sejarah revolusi industri akan ada pekerjaan yang hilang, namun jenis pekerjaan baru akan bertambah.
"Contoh mesin ketik dan komputer. Dengan munculnya komputer, maka pabrik mesin ketik tutup, tukang mesin ketik tutup tapi yang diciptakan pekerjaan baru lebih banyak...ini semua adakah akibat revolusi industri," katanya.
Menurutnya, kebutuhan tenaga kerja akan lebih banyak mengandalkan keahlian dengan kompetensi spesifik dibuktikan lewat sertifikasi keahlian di masa mendatang.
"Perguruan Tinggi sudah menyiapkan lembaga sertifikat profesi (LSP), kalau Anda misal di bidang pembangkit listrik, itu ada bermacam keahlian, itu yang perlu dikejar. Ini tidak bisa digantikan autonomous tadi. Anda perlu melakukan pemetaan mau masuk di mana," kata Ashari.
Robotisasi diklaim oleh banyak industri sudah mulai digunakan secara terbatas di Indonesia. Namun, serikat pekerja seperti KSPI mewanti-wanti bahwa 3-5 tahun ke depan, penggunaan robot akan memangkas tenaga kerja sampai 30%.
(hoi/hoi)
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah mengeluarkan peta jalan making Indonesia 4.0 di mana 5 sektor industri di antaranya TPT, makanan dan minuman, otomotif, elektronik, dan kimia, dijadikan sebagai prioritas pengembangan.
Dalam paparan di acara bedah buku "Merajut Asa" Airlangga menjelaskan beberapa tantangan menghadapi industri 4.0 dan ekonomi digital antara lain teknologi Internet of Things, AI, Big Data, Robotics, Augmented Reality, New Material, Cloud Computing, dan sebagainya.
Terkait robotik, hal ini menjadi perhatian publik lantaran akan ada penyesuaian yang berdampak pada sektor tenaga kerja. Airlangga mengatakan bahwa robotik memang sudah terjadi dan untuk 4.0 tren yang terjadi adalah autonomous.
"Robot itu di 3.0, kalau 4.0 itu autonomous, dia machine to machine komunikasi. Tetapi kalau robot itu industri 3.0 sudah dimulai," kata Airlangga di kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (14/10/2019).
Meski mengandalkan autonomous, Airlangga mengatakan industri 4.0 masih tetap membutuhkan tenaga kerja manusia. Ia mengklaim making Indonesia 4.0 menjanjikan pembukaan lapangan pekerjaan sebanyak 17 juta orang, baik di sektor manufaktur maupun non-manufaktur pada 2030 sebagai akibat dari permintaan ekspor yang lebih besar.
"Kita bedakan capital intensive dan labor intensive. Terhadap labor intensive di sektor clothing, footwear walau sudah menggunakan industri 4.0 tetap membutuhkan tenaga kerja manusia," kata Airlangga.
Rektor ITS M Ashari mengatakan robot masa depan atau autonomous bakal menimbulkan disrupsi atau gangguan pada sektor tenaga kerja. Ia mengatakan bahwa dalam sejarah revolusi industri akan ada pekerjaan yang hilang, namun jenis pekerjaan baru akan bertambah.
"Contoh mesin ketik dan komputer. Dengan munculnya komputer, maka pabrik mesin ketik tutup, tukang mesin ketik tutup tapi yang diciptakan pekerjaan baru lebih banyak...ini semua adakah akibat revolusi industri," katanya.
Menurutnya, kebutuhan tenaga kerja akan lebih banyak mengandalkan keahlian dengan kompetensi spesifik dibuktikan lewat sertifikasi keahlian di masa mendatang.
"Perguruan Tinggi sudah menyiapkan lembaga sertifikat profesi (LSP), kalau Anda misal di bidang pembangkit listrik, itu ada bermacam keahlian, itu yang perlu dikejar. Ini tidak bisa digantikan autonomous tadi. Anda perlu melakukan pemetaan mau masuk di mana," kata Ashari.
Robotisasi diklaim oleh banyak industri sudah mulai digunakan secara terbatas di Indonesia. Namun, serikat pekerja seperti KSPI mewanti-wanti bahwa 3-5 tahun ke depan, penggunaan robot akan memangkas tenaga kerja sampai 30%.
Artikel Selanjutnya
Duh! Disikat oleh Robot, 30% Pekerja RI Terancam PHK
(hoi/hoi)