
Dilema Pajak: Galak Kurang Bijak, Kalem Jadi Melempem...
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 October 2019 08:26

Namun di sisi lain, kita semua harus ingat bahwa pajak adalah tulang punggung negara. Tahun ini, pajak menyumbang hampir 73% dari total penerimaan negara.
Tanpa penerimaan pajak yang mumpuni, negara akan sulit mendapatkan modal untuk membangun. Tidak hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga soft infrastructure seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. APBN menjai melempem, tidak punya kekuatan untuk menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi.
Masalahnya, penerimaan pajak di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara lainnya. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia adalah 11,53%. Kalah dibandingkan beberapa negara tetangga seperti Malaysia (13,56%), Singapura (14,14%), atau Filipina (17,54%).
Agar bisa menjadi bangsa yang berdikari, penerimaan pajak mau tidak mau dan suka tidak suka harus naik. Sebab kalau masih rendah, maka Indonesia pasti akan terus menarik utang untuk menutup 'lubang' di APBN.
Utang memang tidak ada salahnya, kalau itu digunakan untuk pembangunan dan belanja produktif. Namun secara politik, utang memiliki konotasi negatif dan isu ini bisa menjadi beban bagi pemerintah.
Â
Situasinya memang agak sulit. Di satu sisi pemerintah tidak bisa terlalu memaksakan kenaikan permintaan pajak, terutama dari korporasi, karena awan mendung yang menyelimuti perekonomian dunia.
Akan tetapi di sisi lain, pemerintah punya kewajiban mengisi kas negara untuk modal pembangunan. Tanpa itu, Indonesia akan terus berutang yang bisa menjadi beban baik secara ekonomi maupun politik.
Oleh karena itu, pemerintah harus menemukan keseimbangan yang merangkul dua kepentingan tersebut. Kalau soal perumusan kebijakan, memang terkadang tidak hanya melibatkan perhitungan angka tetapi juga emosi dan suasana kebatinan...
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Tanpa penerimaan pajak yang mumpuni, negara akan sulit mendapatkan modal untuk membangun. Tidak hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga soft infrastructure seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. APBN menjai melempem, tidak punya kekuatan untuk menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi.
Masalahnya, penerimaan pajak di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara lainnya. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia adalah 11,53%. Kalah dibandingkan beberapa negara tetangga seperti Malaysia (13,56%), Singapura (14,14%), atau Filipina (17,54%).
Agar bisa menjadi bangsa yang berdikari, penerimaan pajak mau tidak mau dan suka tidak suka harus naik. Sebab kalau masih rendah, maka Indonesia pasti akan terus menarik utang untuk menutup 'lubang' di APBN.
Utang memang tidak ada salahnya, kalau itu digunakan untuk pembangunan dan belanja produktif. Namun secara politik, utang memiliki konotasi negatif dan isu ini bisa menjadi beban bagi pemerintah.
Â
Situasinya memang agak sulit. Di satu sisi pemerintah tidak bisa terlalu memaksakan kenaikan permintaan pajak, terutama dari korporasi, karena awan mendung yang menyelimuti perekonomian dunia.
Akan tetapi di sisi lain, pemerintah punya kewajiban mengisi kas negara untuk modal pembangunan. Tanpa itu, Indonesia akan terus berutang yang bisa menjadi beban baik secara ekonomi maupun politik.
Oleh karena itu, pemerintah harus menemukan keseimbangan yang merangkul dua kepentingan tersebut. Kalau soal perumusan kebijakan, memang terkadang tidak hanya melibatkan perhitungan angka tetapi juga emosi dan suasana kebatinan...
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Most Popular