Dilema Pajak: Galak Kurang Bijak, Kalem Jadi Melempem...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 October 2019 08:26
Dilema Pajak: Galak Kurang Bijak, Kalem Jadi Melempem...
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Wajib Pajak wajib waspada, karena pemerintah bakal lebih 'galak'. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan telah menerbitkan aturan baru untuk menggenjot penerimaan negara.

Pada 11 September lalu, Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan merilis Surat Edaran No SE-24/PJ/2019 tentang Implementasi Compliance Risk dalam Kegiatan Ekstensifikasi, Pengawasan, Pemeriksaan, dan Penagihan di Direktorat Jenderal Pajak. Compliance Risk Management (CRM) secara sederhana dapat digambarkan sebagai sebuah proses pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak yang dilakukan secara sistematis dengan membuat pilihan perlakuan (treatment) yang dapat digunakan untuk meningkatkan kepatuhan secara efektif sekaligus mencegah ketidakpatuhan.

Dalam beleid ini, Ditjen Pajak akan menyusun Daftar Sasaran Ekstensifikasi (DSE). Artinya, Ditjen Pajak akan memperluas basis pajak dengan merangkul pihak-pihak yang sebenarnya sudah memiliki kewajiban pajak tetapi tidak melakukannya. DSE akan menjadi pedoman dalam penggalian potensi pajak baik melalui pengawasan maupun pemeriksaan.

Wajib Pajak yang namanya tercantum dalam DSE kemudian akan diurutkan berdasarkan profil risiko. DSE kemudian menjadi dasar untuk tindak lanjut. Bahkan kemudian Ditjen Pajak bisa menyampaikan permohonan pertukaran informasi kepada negara atau institusi lain jika informasi yang didapat sudah jelas.

Melalui peraturan ini, sepertinya ruang penghindaran pajak semakin sempit. Amunisi Ditjen Pajak untuk mengisi kas negara semakin lengkap.


Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019, penerimaan pajak ditargetkan Rp 1.577,56 triliun. Sekitar 57% dari angka itu disumbang oleh Pajak Penghasilan (PPh).

Sebagian besar PPh disumbangkan oleh badan atau perusahaan. Masalahnya, agak sulit memaksakan diri untuk mengejar PPh badan karena situasi ekonomi yang kurang bersahabat.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)



Mengutip dokumen APBN Kita edisi September 2019, sumbangan pajak dari industri manufaktur selama Januari-Agustus adalah Rp 215,58 triliun. Turun 4,8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kemudian kontribusi dari sektor perdagangan dan pertambangan masing-masing turun 1,5% dan 16,3%.

Pada era globalisasi, apa yang terjadi di luar tentu mempengaruhi perekonomian domestik. Kebetulan saat ini perekonomian dunia sedang bermasalah karena bangkitnya kebijakan proteksionistis yang merusak rantai pasok global. Ada perang dagang AS Amerika Serikat (AS) vs China, AS vs Uni Eropa, Jepang vs Korea Selatan, dan sebagainya.


Kala para kekuatan ekonomi kelas paus ini saling menutup diri, maka arus perdagangan dan investasi global bakal tertatih-tatih. Indonesia pun merasakan dampaknya. Rantai pasok global yang terganggu menyebabkan ekspor Indonesia terkontraksi alias tumbuh negatif selama 10 bulan beruntun.



Tidak hanya perdagangan, arus investasi pun seret. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat pertumbuhan investasi asing di sektor riil alias Foreign Direct Investment/FDI sempat negatif selama empat kuartal berturut-turut sebelum bangkit pada kuartal II-2019. Itu pun belum bisa tumbuh dua digit seperti sebelumya.



Oleh karena itu, tekanan yang dialami dunia usaha sangat nyata. Kalau pemerintah lebih galak dengan terus mengejar setoran pajak, maka bisa-bisa pengusaha menjadi tidak nyaman dan memutuskan hengkang dari Indonesia. Amit-amit, tetapi apabila ini sampai kejadian maka semua pihak akan dirugikan.



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)



Namun di sisi lain, kita semua harus ingat bahwa pajak adalah tulang punggung negara. Tahun ini, pajak menyumbang hampir 73% dari total penerimaan negara.

Tanpa penerimaan pajak yang mumpuni, negara akan sulit mendapatkan modal untuk membangun. Tidak hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga soft infrastructure seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. APBN menjai melempem, tidak punya kekuatan untuk menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi.

Masalahnya, penerimaan pajak di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara lainnya. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia adalah 11,53%. Kalah dibandingkan beberapa negara tetangga seperti Malaysia (13,56%), Singapura (14,14%), atau Filipina (17,54%).



Agar bisa menjadi bangsa yang berdikari, penerimaan pajak mau tidak mau dan suka tidak suka harus naik. Sebab kalau masih rendah, maka Indonesia pasti akan terus menarik utang untuk menutup 'lubang' di APBN.

Utang memang tidak ada salahnya, kalau itu digunakan untuk pembangunan dan belanja produktif. Namun secara politik, utang memiliki konotasi negatif dan isu ini bisa menjadi beban bagi pemerintah.

 


Situasinya memang agak sulit. Di satu sisi pemerintah tidak bisa terlalu memaksakan kenaikan permintaan pajak, terutama dari korporasi, karena awan mendung yang menyelimuti perekonomian dunia.

Akan tetapi di sisi lain, pemerintah punya kewajiban mengisi kas negara untuk modal pembangunan. Tanpa itu, Indonesia akan terus berutang yang bisa menjadi beban baik secara ekonomi maupun politik.

Oleh karena itu, pemerintah harus menemukan keseimbangan yang merangkul dua kepentingan tersebut. Kalau soal perumusan kebijakan, memang terkadang tidak hanya melibatkan perhitungan angka tetapi juga emosi dan suasana kebatinan...


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Penerimaan Pajak Lesu, Sri Mulyani: Tanda Ekonomi Turun

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular