BRICS, Dulu Disegani Kini Terancam Resesi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 October 2019 11:12
Ini 'Penyakit' di Negara BRICS
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Pertama mungkin fundamental ekonomi yang rapuh. Ketahanan eksternal negara-negara BRICS ternyata lemah, sehingga ekonomi mereka mudah jatuh ketika terjadi guncangan dari luar.

Ketahanan eksternal biasanya diukur dengan transaksi berjalan (current account). Salah satu pos di neraca pembayaran ini menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa. Pasokan devisa dari pos ini dinilai berdimensi jangka panjang, tidak mudah keluar-masuk seperti hot money di pasar keuangan.

Sayangnya, transaksi berjalan negara-negara BRICS masih defisit. Pada akhir 2018, transaksi berjalan Brasil defisit 0,78% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara India defisit 1,9% dan Afrika Selatan minus 2,2%.

Kedua, negara-negara BRICS juga memiliki 'penyakit' yang hampir sama (kecuali China) yaitu ketergantungan terhadap komoditas. Ekspor negara-negara tersebut masih didominasi oleh sumber daya alam.

Di Brasil, ekspor minyak bijih pada 2018 bernilai US$ 33,5 miliar atau 14% dari total ekspor. Disusul oleh bahan bakar mineral (termasuk minyak) senilai US$ 29,7 miliar atau 12,4%. Keduanya sudah menyumbang hampir separuh ekspor Negeri Samba.

Kemudian di Rusia, ekspor bahan bakar mineral (termasuk minyak) pada tahun lalu mencapai US$ 237,6 miliar. Jumlah ini mencapai 52,9% dari ekspor Rusia!

Sementara di India, ekspor bahan bakar mineral pada 2018 tercatat US$ 48,3 miliar atau 14,9% dari total ekspor. Ekspor batu berharga dan logam mulia berada di peringkat kedua dengan US$ 40,1 miliar (12,4%).

Lalu di Afrika Selatan, ekspor batu berharga dan logam mulia menjadi yang terbesar dengan catatan US$ 16,6 miliar (17,5%) pada 2018. Disusul oleh bijih dan abu logam senilai US$ 11,8 miliar (12,5%).

Data tersebut menggambarkan bahwa kinerja ekonomi Brasil sampai Afrika Selatan sangat tergantung kepada harga komoditas. Jadi kala harga komoditas bergerak fluktuatif cenderung turun, maka pertumbuhan ekonomi mereka bakal melambat bahkan bisa terkontraksi seperti Rusia yang sangat mengandalkan si emas hitam.



Ketiga, ternyata negara-negara BRICS belum bisa lepas dari ciri khas negara berkembang yaitu perilaku korupsi yang masih merajalela. Korupsi akan menciptakan ekonomi biaya tinggi, menghambat efisiensi, dan menahan laju pertumbuhan ekonomi.

Baca: Korupsi Subur, Investor Kabur!

Pada 2018, Transparency International mencatat indeks persepsi korupsi di Brazil adalah 35. Sementara di Rusia adalah 28, India 41, China 39, dan Afrika Selatan 43. Untuk memasukkannya ke dalam konteks, skor Indonesia adalah 38.

Ya, begitulah... BRICS yang dulu perkasa kini semenjana. Penyebabnya mulai dari ketergantungan terhadap komoditas sampai korupsi.

Belajar dari pengalaman BRICS, negara-negara berkembang memang punya tantangan tersendiri untuk naik kelas menjadi negara maju. Mengembangkan industri manufaktur sampai pemberantasan korupsi menjadi pekerjaan besar yang harus dilakukan. Tidak hanya di BRICS, pekerjaan ini juga relevan untuk diterapkan di Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular