
BRICS, Dulu Disegani Kini Terancam Resesi
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 October 2019 11:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Sekitar 10 tahun lalu, dunia mengenal istilah BRICS yang merupakan singkatan dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Negara-negara tersebut dinilai punya daya untuk menjadi kekuatan ekonomi baru mendobrak dominasi Barat.
Jim O'Neill, eks Chairman Goldmann Sachs, adalah yang memperkenalkan sebutan BRIC pada 2001. Kala itu Afrika Selatan belum dimasukkan, jadi belum ada tambahan 'S'.
"Pada 2001 dan 2002, pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang besar tersebut akan melampaui pencapaian negara-negara G7. Dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, peran BRIC (terutama China) akan semakin besar sehingga kebijakan fiskal dan moneter di sana akan mempengaruhi perekonomian dunia," sebut O'Neill dalam laporan berjudul Building Better Global Economic BRICs yang terbit pada November 2001.
O'Neill benar. BRIC (yang kemudian menjadi BRICS dengan tambahan Afrika Selatan) berhasil memukau dunia. Puncaknya terjadi pada 2007, di mana ekonomi Brasil tumbuh 6,6%, Rusia 7,93%, India 7,7%, China 13,9%, dan Afrika Selatan 4,7%.
Kemudian datang krisis ekonomi global, yang ikut menghambat pertumbuhan ekonomi negara-negara BRICS. Bahkan Rusia sampai mengalami kontraksi ekonomi selama empat kuartal beruntun. Artinya, Rusia mengalami resesi.
Baca: 5 Negara Ini Berada di Ujung Jurang Resesi, RI Gimana?
Secara umum, BRICS bisa bertahan dengan cukup baik. Pada 2010, Rusia ekonomi Rusia sudah kembali tumbuh positif dan China masih mencatatkan pertumbuhan ekonomi dua digit.
Akan tetapi, ternyata 2010 boleh dibilang sebagai akhir kejayaan BRICS. Ekonomi negara-negara ini terus melambat, bahkan ada yang mengalami kontraksi. Rusia mengalami pertumbuhan ekonomi negatif selama delapan kuartal beruntun selama kuartal I-2015 hingga kuartal IV-2016. Brasil lebih parah lagi, 11 kuartal beruntun mengalami kontraksi ekonomi.
Ternyata keperkasaan BRICS tidak bertahan lama, tidak berkesinambungan. Apa yang membuat BRICS yang dulu perkasa kini nelangsa?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pertama mungkin fundamental ekonomi yang rapuh. Ketahanan eksternal negara-negara BRICS ternyata lemah, sehingga ekonomi mereka mudah jatuh ketika terjadi guncangan dari luar.
Ketahanan eksternal biasanya diukur dengan transaksi berjalan (current account). Salah satu pos di neraca pembayaran ini menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa. Pasokan devisa dari pos ini dinilai berdimensi jangka panjang, tidak mudah keluar-masuk seperti hot money di pasar keuangan.
Sayangnya, transaksi berjalan negara-negara BRICS masih defisit. Pada akhir 2018, transaksi berjalan Brasil defisit 0,78% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara India defisit 1,9% dan Afrika Selatan minus 2,2%.
Kedua, negara-negara BRICS juga memiliki 'penyakit' yang hampir sama (kecuali China) yaitu ketergantungan terhadap komoditas. Ekspor negara-negara tersebut masih didominasi oleh sumber daya alam.
Di Brasil, ekspor minyak bijih pada 2018 bernilai US$ 33,5 miliar atau 14% dari total ekspor. Disusul oleh bahan bakar mineral (termasuk minyak) senilai US$ 29,7 miliar atau 12,4%. Keduanya sudah menyumbang hampir separuh ekspor Negeri Samba.
Kemudian di Rusia, ekspor bahan bakar mineral (termasuk minyak) pada tahun lalu mencapai US$ 237,6 miliar. Jumlah ini mencapai 52,9% dari ekspor Rusia!
Sementara di India, ekspor bahan bakar mineral pada 2018 tercatat US$ 48,3 miliar atau 14,9% dari total ekspor. Ekspor batu berharga dan logam mulia berada di peringkat kedua dengan US$ 40,1 miliar (12,4%).
Lalu di Afrika Selatan, ekspor batu berharga dan logam mulia menjadi yang terbesar dengan catatan US$ 16,6 miliar (17,5%) pada 2018. Disusul oleh bijih dan abu logam senilai US$ 11,8 miliar (12,5%).
Data tersebut menggambarkan bahwa kinerja ekonomi Brasil sampai Afrika Selatan sangat tergantung kepada harga komoditas. Jadi kala harga komoditas bergerak fluktuatif cenderung turun, maka pertumbuhan ekonomi mereka bakal melambat bahkan bisa terkontraksi seperti Rusia yang sangat mengandalkan si emas hitam.
Ketiga, ternyata negara-negara BRICS belum bisa lepas dari ciri khas negara berkembang yaitu perilaku korupsi yang masih merajalela. Korupsi akan menciptakan ekonomi biaya tinggi, menghambat efisiensi, dan menahan laju pertumbuhan ekonomi.
Baca: Korupsi Subur, Investor Kabur!
Pada 2018, Transparency International mencatat indeks persepsi korupsi di Brazil adalah 35. Sementara di Rusia adalah 28, India 41, China 39, dan Afrika Selatan 43. Untuk memasukkannya ke dalam konteks, skor Indonesia adalah 38.
Ya, begitulah... BRICS yang dulu perkasa kini semenjana. Penyebabnya mulai dari ketergantungan terhadap komoditas sampai korupsi.
Belajar dari pengalaman BRICS, negara-negara berkembang memang punya tantangan tersendiri untuk naik kelas menjadi negara maju. Mengembangkan industri manufaktur sampai pemberantasan korupsi menjadi pekerjaan besar yang harus dilakukan. Tidak hanya di BRICS, pekerjaan ini juga relevan untuk diterapkan di Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Masih Resesi, Ekonomi RI Q1 Diramal Tumbuh -1% Hingga -0,1%
Jim O'Neill, eks Chairman Goldmann Sachs, adalah yang memperkenalkan sebutan BRIC pada 2001. Kala itu Afrika Selatan belum dimasukkan, jadi belum ada tambahan 'S'.
"Pada 2001 dan 2002, pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang besar tersebut akan melampaui pencapaian negara-negara G7. Dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, peran BRIC (terutama China) akan semakin besar sehingga kebijakan fiskal dan moneter di sana akan mempengaruhi perekonomian dunia," sebut O'Neill dalam laporan berjudul Building Better Global Economic BRICs yang terbit pada November 2001.
Kemudian datang krisis ekonomi global, yang ikut menghambat pertumbuhan ekonomi negara-negara BRICS. Bahkan Rusia sampai mengalami kontraksi ekonomi selama empat kuartal beruntun. Artinya, Rusia mengalami resesi.
Baca: 5 Negara Ini Berada di Ujung Jurang Resesi, RI Gimana?
Secara umum, BRICS bisa bertahan dengan cukup baik. Pada 2010, Rusia ekonomi Rusia sudah kembali tumbuh positif dan China masih mencatatkan pertumbuhan ekonomi dua digit.
Akan tetapi, ternyata 2010 boleh dibilang sebagai akhir kejayaan BRICS. Ekonomi negara-negara ini terus melambat, bahkan ada yang mengalami kontraksi. Rusia mengalami pertumbuhan ekonomi negatif selama delapan kuartal beruntun selama kuartal I-2015 hingga kuartal IV-2016. Brasil lebih parah lagi, 11 kuartal beruntun mengalami kontraksi ekonomi.
Ternyata keperkasaan BRICS tidak bertahan lama, tidak berkesinambungan. Apa yang membuat BRICS yang dulu perkasa kini nelangsa?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pertama mungkin fundamental ekonomi yang rapuh. Ketahanan eksternal negara-negara BRICS ternyata lemah, sehingga ekonomi mereka mudah jatuh ketika terjadi guncangan dari luar.
Ketahanan eksternal biasanya diukur dengan transaksi berjalan (current account). Salah satu pos di neraca pembayaran ini menggambarkan pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa. Pasokan devisa dari pos ini dinilai berdimensi jangka panjang, tidak mudah keluar-masuk seperti hot money di pasar keuangan.
Sayangnya, transaksi berjalan negara-negara BRICS masih defisit. Pada akhir 2018, transaksi berjalan Brasil defisit 0,78% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara India defisit 1,9% dan Afrika Selatan minus 2,2%.
Kedua, negara-negara BRICS juga memiliki 'penyakit' yang hampir sama (kecuali China) yaitu ketergantungan terhadap komoditas. Ekspor negara-negara tersebut masih didominasi oleh sumber daya alam.
Di Brasil, ekspor minyak bijih pada 2018 bernilai US$ 33,5 miliar atau 14% dari total ekspor. Disusul oleh bahan bakar mineral (termasuk minyak) senilai US$ 29,7 miliar atau 12,4%. Keduanya sudah menyumbang hampir separuh ekspor Negeri Samba.
Kemudian di Rusia, ekspor bahan bakar mineral (termasuk minyak) pada tahun lalu mencapai US$ 237,6 miliar. Jumlah ini mencapai 52,9% dari ekspor Rusia!
Sementara di India, ekspor bahan bakar mineral pada 2018 tercatat US$ 48,3 miliar atau 14,9% dari total ekspor. Ekspor batu berharga dan logam mulia berada di peringkat kedua dengan US$ 40,1 miliar (12,4%).
Lalu di Afrika Selatan, ekspor batu berharga dan logam mulia menjadi yang terbesar dengan catatan US$ 16,6 miliar (17,5%) pada 2018. Disusul oleh bijih dan abu logam senilai US$ 11,8 miliar (12,5%).
Data tersebut menggambarkan bahwa kinerja ekonomi Brasil sampai Afrika Selatan sangat tergantung kepada harga komoditas. Jadi kala harga komoditas bergerak fluktuatif cenderung turun, maka pertumbuhan ekonomi mereka bakal melambat bahkan bisa terkontraksi seperti Rusia yang sangat mengandalkan si emas hitam.
Ketiga, ternyata negara-negara BRICS belum bisa lepas dari ciri khas negara berkembang yaitu perilaku korupsi yang masih merajalela. Korupsi akan menciptakan ekonomi biaya tinggi, menghambat efisiensi, dan menahan laju pertumbuhan ekonomi.
Baca: Korupsi Subur, Investor Kabur!
Pada 2018, Transparency International mencatat indeks persepsi korupsi di Brazil adalah 35. Sementara di Rusia adalah 28, India 41, China 39, dan Afrika Selatan 43. Untuk memasukkannya ke dalam konteks, skor Indonesia adalah 38.
Ya, begitulah... BRICS yang dulu perkasa kini semenjana. Penyebabnya mulai dari ketergantungan terhadap komoditas sampai korupsi.
Belajar dari pengalaman BRICS, negara-negara berkembang memang punya tantangan tersendiri untuk naik kelas menjadi negara maju. Mengembangkan industri manufaktur sampai pemberantasan korupsi menjadi pekerjaan besar yang harus dilakukan. Tidak hanya di BRICS, pekerjaan ini juga relevan untuk diterapkan di Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Masih Resesi, Ekonomi RI Q1 Diramal Tumbuh -1% Hingga -0,1%
Most Popular