AS-Uni Eropa Perang Dagang, Siapa yang Menang?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 October 2019 09:36
AS-Uni Eropa Perang Dagang, Siapa yang Menang?
Ilustrasi Dolar AS dan Euro (REUTERS/Dado Ruvic)
Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump menjadi negara yang merepotkan perekonomian dunia. Dengan slogan America First dan Make America Great Again, Trump menerapkan gaya diplomasi ekonomi 'injak kaki'.

AS adalah perekonomian nomor satu dunia, dan Trump tahu betul bahwa Negeri Adidaya memang semestinya punya posisi tawar yang kuat. Oleh karena itu, Trump tidak ragu untuk mengajak 'ribut' negara-negara yang selama ini dinilai merugikan AS.

Target utama Trump adalah China. Trump menilai Negeri Tirai Bambu telah memanfaatkan dan menghisap AS selama puluhan tahun.

Dalam 20 tahun terakhir, defisit perdagangan AS dengan China semakin parah. Pada 1998, AS tekor US$ 56,93 juta saat berdagang dengan China. Dua puluh tahun kemudian, tekornya membengkak menjadi US$ 419,53 miliar.




Oleh karena itu, Trump berupaya menutup lubang tersebut. Untuk membendung banjir produk China di Negeri Paman Sam, yang melukai industri dalam negeri, Trump menerapkan bea masuk.

China yang tidak terima dengan kebijakan itu balas mengenakan bea masuk bagi produk-produk AS. Inilah yang disebut sebagai perang dagang AS-China, yang sudah berlangsung selama lebih dari setahun.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)



Kini, Trump sedang mencari 'musuh' baru yaitu Uni Eropa. Pintu masuknya adalah sengketa Boeing vs Airbus yang sudah terjadi sejak 2004. Kedua raksasa industri aviasi itu saling tuduh bahwa pemerintah mereka memberikan subsidi yang tidak adil sehingga terjadi persaingan tidak sehat. Kasus ini sudah melibatkan Organisasi Perdagangan Internasional (WTO).

Akhirnya WTO memenangkan Boeing. Sidang panel WTO menyatakan AS menderita kerugian sampai US$ 7,5 miliar per tahun akibat kebijakan subsidi pemerintah negara-negara Eropa kepada Airbus.

Keputusan WTO ini menjadi pembenaran bagi rencana AS untuk menerapkan bea masuk terhadap importasi produk-produk dari Eropa. Washington mengusulkan pengenaan bea masuk bagi importasi hingga US$ 11 miliar, berlaku mulai 18 Oktober. Sejumlah produk yang akan kena bea masuk antara lain pesawat Airbus sebesar 10%, serta anggur (wine), scotch, wiski, dan keju yang dibebankan 25%.

"Akhirnya setelah proses litigasi selama 15 tahun, WTO memutuskan AS berhak untuk menerapkan langkah balasan atas Uni Eropa. Kami bersiap untuk melakukan negosiasi dengan Uni Eropa untuk menyelesaikan masalah ini dalam kerangka kepentingan terbaik bagi para pekerja di AS," kata Robert Lighthizer, Kepala Kantor Perwakilan Dagang AS, dalam keterangan tertulis.

AS menegaskan Uni Eropa tidak boleh membalas dengan ikut-ikutan menerapkan bea masuk. Sebab apa yang dilakukan AS sudah sesuai dengan putusan WTO.

"Tidak ada saling balas di sini. Sesuai dengan aturan WTO, yang kami patuhi, kami berhak melakukan ini dan mereka tidak boleh membalas," tegas Peter Navarro, Penasihat Perdagangan Gedung Putih, seperti diwartakan Reuters.

Namun sudah pasti Eropa tidak akan tinggal diam. Kalau balas mengenakan bea masuk tidak diperbolehkan, maka Eropa akan mencari cara lain untuk 'mengerjai' AS.

"Apabila pemerintah AS menolak tangan yang sudah diulurkan Prancis dan Uni Eropa, maka kami akan menyiapkan sanksi," ungkap Bruno Le Maire, Menteri Keuangan Prancis, seperti diberitakan Reuters.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Perang dagang AS-China belum selesai, sekarang ada AS-Uni Eropa. Padahal yang namanya perang dagang semuanya kalah, tidak ada yang menang, karena membuat arus perdagangan, investasi, dan kemudian konsumsi melambat. Semua pihak bakal merasakan pahitnya perlambatan pertumbuhan ekonomi, bahkan mungkin bisa berujung menjadi resesi.


Di sisi AS, sebenarnya negara-negara Uni Eropa bukan mitra dagang utama mereka. Tiga besar negara tujuan ekspor AS adalah Kanada, Meksiko, dan China.



Namun dari 15 negara utama tujuan ekspor AS, lima di antaranya adalah anggota Uni Eropa (Inggris masih dihitung, karena belum resmi bercerai). Ekspor AS ke lima negara tersebut adalah US$ 146,7 miliar atau 15,3% dari total ekspor. Sudah berada di posisi ketiga, hanya kalah dari Kanada dan Meksiko.

Jadi AS rugi juga kalau produk-produk made in the USA nantinya dipersulit masuk ke Eropa. Kalau pun tetap masuk, harganya menjadi lebih mahal karena dari awal kena bea impor. Kenaikan harga produk bisa menurunkan minat konsumen, sehingga permintaan berkurang.

Selain itu, seperti halnya dengan China, perdagangan AS dengan Uni Eropa juga masih nombok. Pada 2018, defisit perdagangan AS dengan Uni Eropa adalah US$ 201,81 miliar. Apabila ekspor AS ke Uni Eropa terhambat, maka defisit ini bisa semakin dalam.




(BERLANJUT KE HALAMAN 4)



Akan tetapi, sepertinya dampak dari sisi Eropa lebih berat. Sebab Uni Eropa lebih bergantung kepada AS ketimbang AS bergantung kepada Uni Eropa.

Pada 2018, ekspor 28 negara Uni Eropa ke AS mencapai EUR 407,06 miliar. Jumlah tersebut adalah 20,8% dari total ekspor mereka dan menduduki peringkat pertama.



Kalau hambatan terhadap ekspor AS ke Uni Eropa baru sekadar ancaman, tetapi sudah pasti bahwa ekspor Uni Eropa ke AS bakal lebih sulit mulai 18 Oktober. Bea masuk sudah berlaku, harga produk Uni Eropa naik, peminatnya mungkin berkurang.

Jika ekspor Uni Eropa ke AS benar-benar terpukul, maka dampaknya bakal luar biasa. Mau bagaimana lagi, AS adalah negara utama mitra dagang mereka. Ketika tujuan ekspor paling utama sulit dimasuki, maka kinerja secara keseluruhan akan terpengaruh.

Oleh karena itu, sepertinya Uni Eropa yang bakal lebih menderita dalam perang dagang ini. Akan tetapi, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, tidak ada pemenang dalam perang dagang.

Eropa mungkin bakal lebih menderita, tetapi perekonomian dunia juga akan merasakan dampaknya. Perang dagang menyebabkan rantai pasok rusak. Kalau ini terjadi, ekspor dan investasi akan sulit menjadi mesin penggerak pertumbuhan ekonomi.

Bank Dunia mencatat pertumbuhan perdagangan global pada kuartal II-2019 terkontraksi alias minus 1,4% year-on-year (YoY). Ini adalah yang terparah sejak krisis ekonomi 2008-2009.

"Belum terlihat adanya momentum positif pada paruh kedua 2019, perlambatan terjadi di mana-mana. Namun yang paling merasakannya adalah negara-negara di Asia Timur dan Pasifik, termasuk China," sebut laporan bulanan Bank Dunia edisi September.

Pertumbuhan ekonomi global sedang dipertaruhkan. Pada kuartal II-2019, Bank Dunia memperkirakan ekonomi global tumbuh 2,4% YoY, jauh di bawah puncak yang terjadi pada kuartal III-2017 yang sebesar 3,5%.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular