Australia Sudah 'Batuk-batuk', Indonesia Harus Waspada!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 October 2019 13:08
Australia Sudah 'Batuk-batuk', Indonesia Harus Waspada!
Ilustrasi Dolar Australia (REUTERS/Thomas White)
Jakarta, CNBC Indonesia - Negara-negara tetangga Indonesia mulai 'batuk-batuk'. Ekonomi mereka terus melambat, bahkan terancam terserang resesi.

Singapura adalah salah satu negara yang sangat rentan. Perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China yang merusak rantai pasok global berdampak terhadap ekspor Negeri Singa. Masalahnya, ekspor menyumbang lebih dari 100% pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).

Baca: Singapura, Calon Korban Resesi Berikutnya?

Kini ada tetangga lain yang juga sedang menderita. Australia namanya.

Akhir-akhir ini, data ekonomi Negeri Kanguru terus memburuk. Teranyar, ekspor Australia pada Agustus hanya tumbuh 2,46% year-on-year (YoY). Laju terlemah sejak Desember 2017.




Neraca perdagangan Australia memang masih surplus AU$ 5,93 miliar. Namun ini menjadi angka terendah sejak April.

Tidak hanya dunia usaha, konsumen di Australia juga mulai kehilangan optimisme. Pada September, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Australia berada di 111,8. Skornya masih di atas 100, artinya konsumen masih yakin menghadapi perekonomian ke depan.

Namun optimisme itu memudar karena anjlok lumayan dalam dibandingkan Agustus yang sebesar 115,7. Selain itu, pencapaian September adalah yang terendah sejak Mei 2017.

 

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)



Dunia usaha dan rumah tangga yang gloomy membuat ekonomi Australia tumbuh minimalis. Pada kuartal II-2019, pertumbuhan ekonomi Australia adalah 1,4% YoY, laju terlemah sejak kuartal III-2009.

 

Pada Juni, The Conversation mengumpulkan konsensus dari 20 ekonom ternama di Australia untuk membuat proyeksi kemungkinan terjadi resesi dalam dua tahun mendatang (Juni 2021). Hasilnya adalah rata-rata peluang resesi di Australia adalah 29%. Lebih tinggi dibandingkan konsensus pada Januari yaitu 25%.

Ancaman resesi membuat Bank Sentral Australia (RBA) memangkas suku bunga acuan secara agresif. Sejak awal tahun, Gubernur Phillip Lowe dan sejawat sudah tiga kali menurunkan suku bunga acuan hingga berada di 0,75%. Ini adalah suku bunga acuan terendah sepanjang sejarah.



Tujuan pemangkasan suku bunga acuan adalah mendorong perbankan untuk lebih giat menyalurkan kredit agar konsumsi dalam negeri menggeliat. Konsumsi domestik adalah kunci untuk membangkitkan ekonomi Australia, karena berperan lebih dari 70% dalam pembentukan PDB.




(BERLANJUT KE HALAMAN 3)



Well, saat ini konsumsi di Australia memang perlu mendapat dorongan. Setidaknya ada dua indikator yang bisa menggambarkan geliat konsumsi yaitu indeks harga rumah dan penjualan kendaraan bermotor. Keduanya masih belum meyakinkan.

Pada Juni, indeks harga rumah di Australia tercatat 138,1. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 139 dan menjadi yang terendah sejak September 2016.

Kemudian penjualan kendaraan bermotor pada Juni adalah 117.817 unit. Memang naik 27,28% dibandingkan bulan sebelumnya, tetapi secara YoY turun 9,58%.

Namun meski RBA giat menggenjot permintaan domestik, tetapi kalau faktor eksternal masih kurang suportif ya susah juga. Pasalnya, Australia punya satu kemiripan dengan Indonesia yaitu ekspornya didominasi oleh komoditas.

Dalam catatan RBA, sekitar 60% dari total ekspor Australia adalah sumber daya alam. Kemudian 20% ekspor jasa, 10% produk pertanian (termasuk peternakan), dan hanya 9% produk manufaktur.

Mengutip data Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia, bijih besi dan konsentrat menjadi komoditas andalan ekspor utama dengan pangsa 15,2%. Disusul oleh batu bara dengan porsi 15%.

Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia

Jadi selama harga komoditas internasional masih nyungsep, agak sulit bagi Australia untuk membangkitkan perekonomiannya. Mungkin stimulus moneter dari RBA bisa membuat Australia menghindari resesi, tetapi selama harga komoditas turun maka perlambatan ekonomi niscaya bakal terjadi.


Ada pelajaran yang bisa dipetik dari ekonomi Australia yang sudah 'batuk-batuk' ini, dan Indonesia juga harus menerapkannya. Jangan bergantung kepada komoditas!


TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular