Mobil Listrik dan BBG Bisa Jalan Bareng Kok...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 September 2019 08:15
Mobil Listrik dan BBG Bisa Jalan Bareng Kok...
Ilustrasi Pameran Mobil Listrik di Jerman (REUTERS/Ralph Orlowski)
Jakarta, CNBC Indonesia - Polusi udara menjadi isu hangat akhir-akhir ini. Di Jakarta, kualitas udara memburuk dari tahun ke tahun.

Mengutip perhitungan AirVisual, rata-rata konsentrasi PM2.5 pada 2017 adalah 29,7 g/m3. Kemudian pada 2018 naik signifikan menjadi 45,3 g/m3. Tahun ini, sampai Agustus, angkanya sudah melampaui 2018.

Foto: AirVisual

Berdasarkan data dari Breathe Easy, penyumbang polusi utama di Jakarta adalah transportasi, termasuk transportasi publik. Andil transportasi pada polusi di Jakarta mencapai 46% di tahun 2012. Sampai 2030, diperkirakan transportasi masih menjadi penyumbang polutan utama dengan 'kontribusi' sekitar 43%.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kendaraan bermotor di Jakarta pada 2016 adalah 18,01 juta unit. Dalam kurun 2012-2016, laju pertumbuhan kendaraan bermotor adalah 5,35%.



Oleh karena itu, tidak heran kendaraan ramah lingkungan menjadi salah satu solusi yang dikedepankan. Pilihan yang sedang digalakkan adalah pengembangan mobil listrik.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menandatangani Peraturan Presiden No 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Untuk mempercepat pengembangan mobil listrik, pemerintah siap memberi berbagai insentif mulai dari kemudahan bea masuk, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), pengurangan pajak baik di level pusat maupun daerah, pembiayaan ekspor, pembangunan infrastruktur pendukung, dan sebagainya.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Akan tetapi, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan. Pertama, listrik adalah energi sekunder yang membutuhkan pembangkit berbahan bakar primer. Perlu diperhatikan kombinasi pemanfaatan energi primer dan sekunder yang nantinya tidak membawa ekses yang membebani ke depan, lazimnya masuk dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Dalam buklet energi berkeadilan yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bauran energi primer untuk pembangkitan tenaga listrik sampai dengan Semester I-2019 masih didominasi oleh batubara (61,85%). Disusul oleh gas (21,12%), Bahan Bakar Minyak/BBM termasuk Bahan Bakar Nabati/BBN (4,32%), kemudian energi baru dan terbarukan (12,71%).




Kedua, mobil listrik punya keterbatasan jarak tempuh. Mengutip data Statista, jarak terjauh untuk sekali pengisian penuh adalah 335 mil atau 539,13 km yaitu Tesla Model S 100D.




Oleh karena itu, mobil listrik (setidaknya dalam waktu dekat) lebih cocok untuk pemakaian dalam kota, baik kendaraan pribadi maupun angkutan umum. Kalau untuk jarak jauh, apalagi logistik, sepertinya masih sulit.

Misalnya truk yang bolak-balik Jakarta-Surabaya. Sekali tempuh jaraknya adalah sekitar 785 km sehingga kalau bolak-balik menjadi 1.570 km. Kalau menggunakan mobil listrik paling irit pun harus mengisi baterai penuh setidaknya tiga kali.

Berapa waktu yang dibutuhkan untuk mengisi penuh baterai Tesla Model S 100D yang paling irit itu? Paling tidak 7 jam. Jadi butuh waktu 21 jam untuk mengisi baterai saja, hampir sehari. Tentu sangat tidak efisien kalau bicara logistik.

Padahal dengan pembangunan jalan tol seperti Trans Jawa atau Trans Sumatera, mobilitas logistik tentu akan semakin mudah. Namun kemudahan ini sulit dimanfaatkan jika tidak diiringi oleh efisiensi dari sisi kendaraan.

Sampai 2018, panjang total tol Trans Jawa mencapai 933 km. Pada 2021 panjangnya bertambah menjadi 1.150 km karena ada tambahan ruas Pasuruan-Banyuwangi. Dengan begitu, Pulau Jawa dari ujung ke ujung sudah terhubung di tol Trans Jawa.

Tol Trans Jawa (Kementerian PUPR, CNBC Indonesia, diolah)

Belum lagi tol Trans Sumatra. Total ruas yang telah beroperasi adalah 361,06 km, tetapi nantinya kalau sudah selesai semua akan menjadi jalan tol terpanjang di Indonesia yang mengubungkan Lampung hingga Aceh.

Tol Trans Sumatera (PT Hutama Karya, CNBC Indonesia, diolah)


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sebenarnya ada solusi transportasi logistik yang selain lebih ramah lingkungan juga harganya lebih kompetitif dibanding energi berbasis minyak, yaitu penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG). Untuk basis truk logistik dengan muatan ton besar, biasanya BBG yang dapat dimanfaatkan adalah dalam bentuk LNG. Teknologinya sudah ada, tetapi pemanfaatannya perlu dorongan yang riil dari pemilik kepentingan.

Apalagi cadangan migas Indonesia ke depan kaya dengan kandungan gas bumi. Selain berbasis LNG, dalam upaya diversifikasi energi yang juga jadi concern untuk ketahanan nasional, pemanfaatan BBG dengan basis Compressed Natural Gas (CNG) juga bisa disandingkan dengan utilisasi kendaraan listrik.

Jadi, listrik dan BBG bisa saling mendukung, saling melengkapi demi kepentingan yang lebih besar. Pun infrastruktur untuk BBG bisa dikejar kesiapannya karena pemerintah juga sudah merencanakan pembangunan jaringan gas bumi untuk rumah tangga di 58 kota di Indonesia sesuai catatan.

Jaringan gas tidak hanya bisa dipakai untuk keperluan rumah tangga tetapi bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan penyaluran bahan bakar transportasi. Sudah ada modal ke arah sana, tinggal dimanfaatkan.

Namun, pemanfaatan jaringan gas untuk transportasi bukan tanpa problema. Konversi BBM ke BBG seakan jalan di tempat.

Harga BBG yang kurang ekonomis membuat pengembangannya menjadi sulit. Saat ini harga BBG di Jabodetabek dipatok Rp 3.100/liter setara premium. Secara ekonomi, hitungannya tidak masuk. Akibatnya, telah banyak pengusaha SPBG yang gulung tikar.

Ambil contoh di Amerika Serikat (AS). Harga jual BBG jenis CNG pada April 2019 adalah US$ 2,22/galon setara BBM. Dengan hitungan bodoh-bodohan, kalau harga jual di Negeri Paman Sam itu jadi patokan maka harga keekonomian CNG adalah Rp 6.768/liter. Lebih dari dua kali lipat harga sekarang.

Dengan harga jual yang ora mashook tersebut, tidak heran jumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) sangat sedikit. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM mencatat jumlah SPBG di seluruh Indonesia per akhir 2018 hanya 68.

Peta Distribusi SPBG 2018 (Kementerian ESDM)

"Program pembangunan SPBG dihentikan pembiayaannya (dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN) sejak 2016. Ditambah anchor buyer untuk BBG transportasi adalah bus TransJakarta yang menggunakan solar dikarenakan ada kebijakan-kebijakan internal di TransJakarta yang memperbolehkan mengisi di SPBU tertentu. Ditambah pengadaan bus-bus TransJakarta yang baru tidak ada BBG-nya.

"Belum optimalnya serapan gas untuk transportasi, diperkirakan karena demand yang masih sedikit. Kebijakan adhoc Pemerintah dengan mewajibkan seluruh kendaraan dinas menggunakan bahan bakar gas juga tidak efektif dikarenakan sekarang menggunakan mekanisme sewa mobil. Kerja sama dengan angkutan umum seperti taksi juga tidak efektif karena perubahan gaya hidup perkotaan yang menggunakan ojek online sebagai alat transportasi utama," papar Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM 2018.

Well, Indonesia sebenarnya sudah punya modal untuk memanfaatkan gas sebagai bahan bakar ramah lingkungan. Prasarana jaringan gas sudah tersedia, tinggal dilengkapi dengan berbagai sarana terutama SPBG.

Sayangnya modal tersebut belum bisa dimanfaatkan dengan baik. Harga BBG yang kelewat murah sepertinya menjadi hambatan utama.

Mengembangkan mobil listrik oke, karena tren dunia memang mengarah ke sana. Namun jangan lupakan bahwa Indonesia punya potensi energi ramah lingkungan yang belum termanfaatkan secara optimal. Adapun yang tidak kalah penting adalah konsistensi semua pemangku kepentingan untuk mencapai target bauran energi yang sudah menjadi komitmen bersama sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 79/2014.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular