
Mobil Listrik dan BBG Bisa Jalan Bareng Kok...
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 September 2019 08:15

Sebenarnya ada solusi transportasi logistik yang selain lebih ramah lingkungan juga harganya lebih kompetitif dibanding energi berbasis minyak, yaitu penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG). Untuk basis truk logistik dengan muatan ton besar, biasanya BBG yang dapat dimanfaatkan adalah dalam bentuk LNG. Teknologinya sudah ada, tetapi pemanfaatannya perlu dorongan yang riil dari pemilik kepentingan.
Apalagi cadangan migas Indonesia ke depan kaya dengan kandungan gas bumi. Selain berbasis LNG, dalam upaya diversifikasi energi yang juga jadi concern untuk ketahanan nasional, pemanfaatan BBG dengan basis Compressed Natural Gas (CNG) juga bisa disandingkan dengan utilisasi kendaraan listrik.
Jadi, listrik dan BBG bisa saling mendukung, saling melengkapi demi kepentingan yang lebih besar. Pun infrastruktur untuk BBG bisa dikejar kesiapannya karena pemerintah juga sudah merencanakan pembangunan jaringan gas bumi untuk rumah tangga di 58 kota di Indonesia sesuai catatan.
Jaringan gas tidak hanya bisa dipakai untuk keperluan rumah tangga tetapi bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan penyaluran bahan bakar transportasi. Sudah ada modal ke arah sana, tinggal dimanfaatkan.
Namun, pemanfaatan jaringan gas untuk transportasi bukan tanpa problema. Konversi BBM ke BBG seakan jalan di tempat.
Harga BBG yang kurang ekonomis membuat pengembangannya menjadi sulit. Saat ini harga BBG di Jabodetabek dipatok Rp 3.100/liter setara premium. Secara ekonomi, hitungannya tidak masuk. Akibatnya, telah banyak pengusaha SPBG yang gulung tikar.
Ambil contoh di Amerika Serikat (AS). Harga jual BBG jenis CNG pada April 2019 adalah US$ 2,22/galon setara BBM. Dengan hitungan bodoh-bodohan, kalau harga jual di Negeri Paman Sam itu jadi patokan maka harga keekonomian CNG adalah Rp 6.768/liter. Lebih dari dua kali lipat harga sekarang.
Dengan harga jual yang ora mashook tersebut, tidak heran jumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) sangat sedikit. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM mencatat jumlah SPBG di seluruh Indonesia per akhir 2018 hanya 68.
"Program pembangunan SPBG dihentikan pembiayaannya (dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN) sejak 2016. Ditambah anchor buyer untuk BBG transportasi adalah bus TransJakarta yang menggunakan solar dikarenakan ada kebijakan-kebijakan internal di TransJakarta yang memperbolehkan mengisi di SPBU tertentu. Ditambah pengadaan bus-bus TransJakarta yang baru tidak ada BBG-nya.
"Belum optimalnya serapan gas untuk transportasi, diperkirakan karena demand yang masih sedikit. Kebijakan adhoc Pemerintah dengan mewajibkan seluruh kendaraan dinas menggunakan bahan bakar gas juga tidak efektif dikarenakan sekarang menggunakan mekanisme sewa mobil. Kerja sama dengan angkutan umum seperti taksi juga tidak efektif karena perubahan gaya hidup perkotaan yang menggunakan ojek online sebagai alat transportasi utama," papar Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM 2018.
Well, Indonesia sebenarnya sudah punya modal untuk memanfaatkan gas sebagai bahan bakar ramah lingkungan. Prasarana jaringan gas sudah tersedia, tinggal dilengkapi dengan berbagai sarana terutama SPBG.
Sayangnya modal tersebut belum bisa dimanfaatkan dengan baik. Harga BBG yang kelewat murah sepertinya menjadi hambatan utama.
Mengembangkan mobil listrik oke, karena tren dunia memang mengarah ke sana. Namun jangan lupakan bahwa Indonesia punya potensi energi ramah lingkungan yang belum termanfaatkan secara optimal. Adapun yang tidak kalah penting adalah konsistensi semua pemangku kepentingan untuk mencapai target bauran energi yang sudah menjadi komitmen bersama sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 79/2014.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Apalagi cadangan migas Indonesia ke depan kaya dengan kandungan gas bumi. Selain berbasis LNG, dalam upaya diversifikasi energi yang juga jadi concern untuk ketahanan nasional, pemanfaatan BBG dengan basis Compressed Natural Gas (CNG) juga bisa disandingkan dengan utilisasi kendaraan listrik.
Jadi, listrik dan BBG bisa saling mendukung, saling melengkapi demi kepentingan yang lebih besar. Pun infrastruktur untuk BBG bisa dikejar kesiapannya karena pemerintah juga sudah merencanakan pembangunan jaringan gas bumi untuk rumah tangga di 58 kota di Indonesia sesuai catatan.
Namun, pemanfaatan jaringan gas untuk transportasi bukan tanpa problema. Konversi BBM ke BBG seakan jalan di tempat.
Harga BBG yang kurang ekonomis membuat pengembangannya menjadi sulit. Saat ini harga BBG di Jabodetabek dipatok Rp 3.100/liter setara premium. Secara ekonomi, hitungannya tidak masuk. Akibatnya, telah banyak pengusaha SPBG yang gulung tikar.
Ambil contoh di Amerika Serikat (AS). Harga jual BBG jenis CNG pada April 2019 adalah US$ 2,22/galon setara BBM. Dengan hitungan bodoh-bodohan, kalau harga jual di Negeri Paman Sam itu jadi patokan maka harga keekonomian CNG adalah Rp 6.768/liter. Lebih dari dua kali lipat harga sekarang.
Dengan harga jual yang ora mashook tersebut, tidak heran jumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) sangat sedikit. Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM mencatat jumlah SPBG di seluruh Indonesia per akhir 2018 hanya 68.
![]() |
"Program pembangunan SPBG dihentikan pembiayaannya (dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/APBN) sejak 2016. Ditambah anchor buyer untuk BBG transportasi adalah bus TransJakarta yang menggunakan solar dikarenakan ada kebijakan-kebijakan internal di TransJakarta yang memperbolehkan mengisi di SPBU tertentu. Ditambah pengadaan bus-bus TransJakarta yang baru tidak ada BBG-nya.
"Belum optimalnya serapan gas untuk transportasi, diperkirakan karena demand yang masih sedikit. Kebijakan adhoc Pemerintah dengan mewajibkan seluruh kendaraan dinas menggunakan bahan bakar gas juga tidak efektif dikarenakan sekarang menggunakan mekanisme sewa mobil. Kerja sama dengan angkutan umum seperti taksi juga tidak efektif karena perubahan gaya hidup perkotaan yang menggunakan ojek online sebagai alat transportasi utama," papar Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM 2018.
Well, Indonesia sebenarnya sudah punya modal untuk memanfaatkan gas sebagai bahan bakar ramah lingkungan. Prasarana jaringan gas sudah tersedia, tinggal dilengkapi dengan berbagai sarana terutama SPBG.
Sayangnya modal tersebut belum bisa dimanfaatkan dengan baik. Harga BBG yang kelewat murah sepertinya menjadi hambatan utama.
Mengembangkan mobil listrik oke, karena tren dunia memang mengarah ke sana. Namun jangan lupakan bahwa Indonesia punya potensi energi ramah lingkungan yang belum termanfaatkan secara optimal. Adapun yang tidak kalah penting adalah konsistensi semua pemangku kepentingan untuk mencapai target bauran energi yang sudah menjadi komitmen bersama sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 79/2014.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Most Popular