
Kalau KPK Dilumpuhkan, Kinerja Ekonomi RI Bisa Terpuruk!
Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
12 September 2019 16:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memasuki babak baru, setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani surat yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Bambang Soesatyo pada Rabu (11/9/2019).
Surat bernomor R-42/Pres/09/2019 dengan sifat sangat segera itu berisi penunjukkan wakil pemerintah untuk membahas Rancangan UU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Dengan ini kami sampaikan bahwa kami menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewakili kami dalam pembahasan RUU tersebut," tulis Jokowi.
Tak ayal keputusan Jokowi menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Peneliti korupsi politik dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai penandatanganan surpres menjadi sejarah terburuk dalam kepemimpinan Jokowi.
"Beliau lebih mendengarkan kemauan partai dibandingkan suara masyarakat dan para tokoh yang ingin KPK kuat dan independen. Sekarang KPK berada di ujung tanduk karena pembahasan di DPR cenderung tidak akan terkontrol," kata Donal dilansir detik.com.
"Keputusan Presiden tidak hanya mengecewakan, tapi menyakitkan bagi pemberantasan korupsi. Presiden gagal memenuhi harapan publik untuk menjadi benteng terakhir dari upaya pelemahan melalui revisi UU yang diusulkan oleh DPR," lanjutnya.
KPK berpendapat revisi UU dapat melumpuhkan kewenangan mereka dalam pemberantasan korupsi. Ada sejumlah hal yang mendukung pendapat itu antara lain penyadapan dipersulit dan dibatasi, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, dan kewenangan KPK mengelola pelaporan dan pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dipangkas.
Terlepas dari dinamika yang ada, seberapa krusial keberadaan KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi terhadap perekonomian Indonesia?
"Secara umum hampir tidak ada negara yang bisa kompetitif (minat investasi tinggi, pasar keuangan inklusif dan stabil, dan lain-lain) di kancah global jika tingkat korupsinya tinggi," ujar peneliti INDEF Eko Listiyanto kepada CNBC Indonesia, Kamis (12/9/2019).
"Nah, pada titik ini keberadaan KPK sangat penting secara ekonomi, yaitu untuk menguatkan trust para investor dan pelaku ekonomi bahwa aturan main (tata kelola/kelembagaan) dalam perekonomian ditegakkan. Yang curang di pasar ditindak melalui penegakan hukum," lanjutnya.
Menurut Eko, hal itu terlihat dari kasus yang ditangani KPK terkait dengan kecurangan dan korupsi proyek-proyek APBN/APBD, kecurangan tata kelola impor pangan, korupsi tender soal energi, dan seterusnya. Kesemuanya merupakan sektor-sektor penting dalam mendukung perekonomian.
"Jika kinerja lembaga pemberantas korupsi (dan penegak hukum lainnya) lemah, kinerja ekonomi dapat semakin terpuruk. Persepsi investor akan menurun terkait prospek ekonomi Indonesia," ujar Eko.
LANJUT KE HALAMAN 2: Harapan Dunia Usaha
Hal senada disampaikan Rektor Universitas Paramadina Firmanzah. Menurut dia, pemberantasan korupsi krusial dalam perekonomian suatu negara.
"Pemberantasan korupsi itu sangat penting bagi pembangunan ekonomi. Karena tidak ada satu negara yang bisa maju ekonominya kalau korupsinya sangat tinggi," ujar Firmanzah kepada CNBC Indonesia di Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Ia lantas menjelaskan, dalam perekonomian ada indikator yang disebut Incremental Capital Output Ratio (ICOR), suatu besaran yang menunjukkan tambahan investasi baru yang dibutuhkan untuk menaikkan atau menambah satu unit output. Firmanzah menjelaskan ICOR Indonesia mencapai 6,1, lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN seperti Vietnam 4,31.
"Artinya apa? Artinya high cost economy itu masih terjadi. Penyebabnya macam-macam. Dari sisi fisik bisa infrastrukturnya belum lengkap, dari sisi regulasi masih banyak aturan yang tumpah tindih, tapi juga bisa dikontribusikan oleh aktivitas yang sifatnya koruptif, nepotisme, kolusi," kata Firmanzah.
"Sehingga production cost semakin mahal. Dan kalau production cost semakin mahal, harga barang tidak kompetitif. Dan kita bersaing di era perdagangan bebas," lanjutnya.
Lebih lanjut, Firmanzah menjelaskan, banyak penelitian yang dilakukan berbagai lembaga seperti Bank Dunia menunjukkan ketika indeks persepsi korupsi naik, maka produktivitas suatu negara akan turun. Indikator lain seperti tax collection, pendapatan pajak semakin berkurang. Kemudian dari sisi daya saing suatu negara juga tidak bisa naik dan sebagainya.
"Jadi agenda pemberantasan korupsi itu strategis. Itu kenapa dibentuk Saber Pungli yang masuk ke pelabuhan, dan sebagainya kan? Hal itu merupakan bagian dari ranah itu dan agenda reformasi salah satunya adalah kita ingin negara ini dikelola dengan good governance. Dan salah satu pengejawantahan adalah dibentuknya KPK," kata Firmanzah.
Terkait dinamika terkini yang mewarnai revisi UU KPK, Firmanzah mengatakan kalangan dunia usaha ingin ongkos produksi bisa ditekan. Regulasi harus transparan dan tidak berbelit-belit. Apalagi produk dalam negeri harus bersaing dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Thailand yang memiliki indeks persepsi korupsi lebih baik.
"Itu yang diharapkan dunia usaha sebenarnya. Aturannya jelas kepastiannya ada. Ongkos produksi bisa lebih murah ditekan karena gak ada lagi faktor-faktor pungutan liar, perizinan dibuat susah, setoran-setoran yang gak perlu," ujar Firmanzah.
(miq/tas) Next Article Puluhan Karyawan Resign, KPK: Itu Hal yang Wajar
Surat bernomor R-42/Pres/09/2019 dengan sifat sangat segera itu berisi penunjukkan wakil pemerintah untuk membahas Rancangan UU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Dengan ini kami sampaikan bahwa kami menugaskan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewakili kami dalam pembahasan RUU tersebut," tulis Jokowi.
"Beliau lebih mendengarkan kemauan partai dibandingkan suara masyarakat dan para tokoh yang ingin KPK kuat dan independen. Sekarang KPK berada di ujung tanduk karena pembahasan di DPR cenderung tidak akan terkontrol," kata Donal dilansir detik.com.
"Keputusan Presiden tidak hanya mengecewakan, tapi menyakitkan bagi pemberantasan korupsi. Presiden gagal memenuhi harapan publik untuk menjadi benteng terakhir dari upaya pelemahan melalui revisi UU yang diusulkan oleh DPR," lanjutnya.
KPK berpendapat revisi UU dapat melumpuhkan kewenangan mereka dalam pemberantasan korupsi. Ada sejumlah hal yang mendukung pendapat itu antara lain penyadapan dipersulit dan dibatasi, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, dan kewenangan KPK mengelola pelaporan dan pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dipangkas.
Terlepas dari dinamika yang ada, seberapa krusial keberadaan KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi terhadap perekonomian Indonesia?
"Secara umum hampir tidak ada negara yang bisa kompetitif (minat investasi tinggi, pasar keuangan inklusif dan stabil, dan lain-lain) di kancah global jika tingkat korupsinya tinggi," ujar peneliti INDEF Eko Listiyanto kepada CNBC Indonesia, Kamis (12/9/2019).
"Nah, pada titik ini keberadaan KPK sangat penting secara ekonomi, yaitu untuk menguatkan trust para investor dan pelaku ekonomi bahwa aturan main (tata kelola/kelembagaan) dalam perekonomian ditegakkan. Yang curang di pasar ditindak melalui penegakan hukum," lanjutnya.
Menurut Eko, hal itu terlihat dari kasus yang ditangani KPK terkait dengan kecurangan dan korupsi proyek-proyek APBN/APBD, kecurangan tata kelola impor pangan, korupsi tender soal energi, dan seterusnya. Kesemuanya merupakan sektor-sektor penting dalam mendukung perekonomian.
"Jika kinerja lembaga pemberantas korupsi (dan penegak hukum lainnya) lemah, kinerja ekonomi dapat semakin terpuruk. Persepsi investor akan menurun terkait prospek ekonomi Indonesia," ujar Eko.
LANJUT KE HALAMAN 2: Harapan Dunia Usaha
Hal senada disampaikan Rektor Universitas Paramadina Firmanzah. Menurut dia, pemberantasan korupsi krusial dalam perekonomian suatu negara.
"Pemberantasan korupsi itu sangat penting bagi pembangunan ekonomi. Karena tidak ada satu negara yang bisa maju ekonominya kalau korupsinya sangat tinggi," ujar Firmanzah kepada CNBC Indonesia di Jakarta, Kamis (12/9/2019).
Ia lantas menjelaskan, dalam perekonomian ada indikator yang disebut Incremental Capital Output Ratio (ICOR), suatu besaran yang menunjukkan tambahan investasi baru yang dibutuhkan untuk menaikkan atau menambah satu unit output. Firmanzah menjelaskan ICOR Indonesia mencapai 6,1, lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN seperti Vietnam 4,31.
"Artinya apa? Artinya high cost economy itu masih terjadi. Penyebabnya macam-macam. Dari sisi fisik bisa infrastrukturnya belum lengkap, dari sisi regulasi masih banyak aturan yang tumpah tindih, tapi juga bisa dikontribusikan oleh aktivitas yang sifatnya koruptif, nepotisme, kolusi," kata Firmanzah.
"Sehingga production cost semakin mahal. Dan kalau production cost semakin mahal, harga barang tidak kompetitif. Dan kita bersaing di era perdagangan bebas," lanjutnya.
Lebih lanjut, Firmanzah menjelaskan, banyak penelitian yang dilakukan berbagai lembaga seperti Bank Dunia menunjukkan ketika indeks persepsi korupsi naik, maka produktivitas suatu negara akan turun. Indikator lain seperti tax collection, pendapatan pajak semakin berkurang. Kemudian dari sisi daya saing suatu negara juga tidak bisa naik dan sebagainya.
"Jadi agenda pemberantasan korupsi itu strategis. Itu kenapa dibentuk Saber Pungli yang masuk ke pelabuhan, dan sebagainya kan? Hal itu merupakan bagian dari ranah itu dan agenda reformasi salah satunya adalah kita ingin negara ini dikelola dengan good governance. Dan salah satu pengejawantahan adalah dibentuknya KPK," kata Firmanzah.
Terkait dinamika terkini yang mewarnai revisi UU KPK, Firmanzah mengatakan kalangan dunia usaha ingin ongkos produksi bisa ditekan. Regulasi harus transparan dan tidak berbelit-belit. Apalagi produk dalam negeri harus bersaing dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Thailand yang memiliki indeks persepsi korupsi lebih baik.
"Itu yang diharapkan dunia usaha sebenarnya. Aturannya jelas kepastiannya ada. Ongkos produksi bisa lebih murah ditekan karena gak ada lagi faktor-faktor pungutan liar, perizinan dibuat susah, setoran-setoran yang gak perlu," ujar Firmanzah.
(miq/tas) Next Article Puluhan Karyawan Resign, KPK: Itu Hal yang Wajar
Most Popular