
Dana Pendidikan Papua Lebih Kecil dari Perdin, Tanya Kenapa?
tahir saleh, CNBC Indonesia
11 September 2019 08:10

Berdasarkan laporan Audit BPK 2017 misalnya, dari dana sebesar Rp 11,7 triliun total pendapatan Pemerintah Provinsi Papua, hanya sebesar Rp 1,2 triliun untuk pembangunan jalan, irigasi dan jaringan (gas, listrik) atau hanya sebesar 10,2% dari total transfer pusat ke Papua.
Padahal, infrastruktur publik, irigasi untuk sektor pertanian Papua memerlukan anggaran yang besar. Sementara dana operasional pemerintahan provinsi sangatlah besar mencapai Rp 5,59 triliun atau 53,6% dari total transfer pusat ke daerah.
Dia mengatakan perilaku elit Papua yang hilir-mudik Jakarta-Papua, Papua-luar negeri, pun bisa kelihatan dari beban perjalan Pemerintah Provinsi Papua.
Beban perjalan dinas (perdin) sebesar Rp 374,4 miliar tahun 2017. Perjalan ke luar daerah sebesar Rp 189 miliar, perjalan ke luar negeri Rp 7,1 miliar dan dalam daerah Rp 176,5 miliar. Sementara realisasi anggaran pendidikan hanya Rp 269 miliar dan beasiswa pendidikan untuk non-PNS hanya sebesar Rp 235 juta.
Data neraca pendidikan daerah tahun 2017 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengkonfirmasi alokasi anggaran pendidikan Papua. Berdasarkan data Kemendikbud, APBD untuk pendidikan di Papua hanya sebesar 1,4%, paling rendah untuk seluruh Indonesia. Padahal, UU Nomor 20 tahun 2003, mengamanatkan alokasi dana untuk pendidikan dari APBN/APBD sebesar 20%.
"Alokasi anggaran memang dinilai efisien, tetapi tidak tepat sasaran. Salah satu contohnya adalah dana hibah yang dikeluarkan pemerintah provinsi tidak produktif," jelasnya.
Dana hibah yang dikeluarkan Papua tahun 2017 memang besar mencapai Rp 1.038 triliun. Namun, dana hibah terbesar bukan untuk masyarakat Papua, tetapi untuk organisasi kemasyarakat seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mencapai angka Rp 247,15 miliar. Sementara untuk kelompok masyarakat hanya sebesar Rp 7,65 miliar dan untuk hibah kepada pemerintah sebesar Rp 128,21 miliar.
"Betapa pelitnya Pemerintah Provinsi Papua mengeluarkan dana hibah untuk kepentingan masyarakat kecil. Sangatlah wajar jika banyak sekali LSM yang mau bekerja untuk Papua."
Ferdi juga membeberkan beberapa keanehan lain. Belanja jasa kantor tahun 2017 sebesar Rp 223 miliar, belanja sewa sarana mobilitas Rp 100 miliar (tiket, penginapan, hotel), makan dan minuman Rp 697 miliar dan belanja kepada pihak ketiga Rp 733 miliar. Menurut dia, masih banyak deretan kejanggalan lain yang harus diperikasa dalam laporan keuangan Provinsi Papua.
"Coba dibayangkan anggaran untuk rakyat kecil dan warga Papua sangatlah rendah. Pemerintah provinsi Papua sangat tidak peduli terhadap rakyat Papua," jelasnya.
"Lalu tokoh masyarakat Papua meminta kepada presiden untuk melakukan pemekaran menjadi 5 provinsi di Papua. Ini menurut kami tuntutan yang tidak realistis, karena pemerintah daerah di Papua tidak becus mengolah anggaran daerah. Dana alokasi pusat, hanya membuat elit Papua menjadi kaya, sementara rakyat kecil tetap miskin," tegas Ferdi lagi.
Menurt Ferdi, data-data di atas cukup memprihatinkan dan sudah sangat terang bahwa dana perimbangan dan otsus kebanyak dialamatkan kepada elit-elit birokrasi dan elit-elit partai politik di Papua
"Sementara dana untuk rakyat kecil di Papua sangatlah kecil. Itulah sebabnya mengapa Otonomi Khusus (otsus ) yang telah di amanat UU No. 21/2001 gagal," katanya. "Kebijakan khusus untuk melindungi dan memberdayakan warga asli, miskin implementatif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Papua."
Dia menegaskan pemerintah juga sudah lama gagal mendesain pendidikan bagi anak Papua, sehingga otsus gagal memberi peluang kerja bagi putra-putri daerah. Itulah yang menyebabkan intervensi pemerintah pusat melalui dana perimbangan dan dana otonomi khusus tak pernah menyentuh rakyat kecil.
"Jadi seberapapun besarnya alokasi dana dari pusat ke daerah, tak tidak akan berfaedah banyak di tengah amburadulnya manajemen otonomi daerah dan korupsi yang menggurita di Papua."
Maka, tegasnya, pemerintah pusat wajib membangun struktur otoritas birokrasi yang sehat di Papua agar uang rakyat tidak dihabiskan dalam perjalanan menuju Papua agar masalah kemiskinan dan penderitaan di Papua teratasi.
"Elit-elit Papua jangan menunjuk-tunjuk ke pusat, seolah-olah hanya pusat yang bertanggung jawab terhadap masalah Papua. Padahal, masalah yang sangat besar di Papua adalah gagalnya pemerintah daerah membangun struktur pemerintah kuat dan struktur birokrasi yang bersih di Papua"
(tas/hps)
Padahal, infrastruktur publik, irigasi untuk sektor pertanian Papua memerlukan anggaran yang besar. Sementara dana operasional pemerintahan provinsi sangatlah besar mencapai Rp 5,59 triliun atau 53,6% dari total transfer pusat ke daerah.
Dia mengatakan perilaku elit Papua yang hilir-mudik Jakarta-Papua, Papua-luar negeri, pun bisa kelihatan dari beban perjalan Pemerintah Provinsi Papua.
Data neraca pendidikan daerah tahun 2017 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengkonfirmasi alokasi anggaran pendidikan Papua. Berdasarkan data Kemendikbud, APBD untuk pendidikan di Papua hanya sebesar 1,4%, paling rendah untuk seluruh Indonesia. Padahal, UU Nomor 20 tahun 2003, mengamanatkan alokasi dana untuk pendidikan dari APBN/APBD sebesar 20%.
"Alokasi anggaran memang dinilai efisien, tetapi tidak tepat sasaran. Salah satu contohnya adalah dana hibah yang dikeluarkan pemerintah provinsi tidak produktif," jelasnya.
Dana hibah yang dikeluarkan Papua tahun 2017 memang besar mencapai Rp 1.038 triliun. Namun, dana hibah terbesar bukan untuk masyarakat Papua, tetapi untuk organisasi kemasyarakat seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mencapai angka Rp 247,15 miliar. Sementara untuk kelompok masyarakat hanya sebesar Rp 7,65 miliar dan untuk hibah kepada pemerintah sebesar Rp 128,21 miliar.
"Betapa pelitnya Pemerintah Provinsi Papua mengeluarkan dana hibah untuk kepentingan masyarakat kecil. Sangatlah wajar jika banyak sekali LSM yang mau bekerja untuk Papua."
Ferdi juga membeberkan beberapa keanehan lain. Belanja jasa kantor tahun 2017 sebesar Rp 223 miliar, belanja sewa sarana mobilitas Rp 100 miliar (tiket, penginapan, hotel), makan dan minuman Rp 697 miliar dan belanja kepada pihak ketiga Rp 733 miliar. Menurut dia, masih banyak deretan kejanggalan lain yang harus diperikasa dalam laporan keuangan Provinsi Papua.
"Coba dibayangkan anggaran untuk rakyat kecil dan warga Papua sangatlah rendah. Pemerintah provinsi Papua sangat tidak peduli terhadap rakyat Papua," jelasnya.
"Lalu tokoh masyarakat Papua meminta kepada presiden untuk melakukan pemekaran menjadi 5 provinsi di Papua. Ini menurut kami tuntutan yang tidak realistis, karena pemerintah daerah di Papua tidak becus mengolah anggaran daerah. Dana alokasi pusat, hanya membuat elit Papua menjadi kaya, sementara rakyat kecil tetap miskin," tegas Ferdi lagi.
Menurt Ferdi, data-data di atas cukup memprihatinkan dan sudah sangat terang bahwa dana perimbangan dan otsus kebanyak dialamatkan kepada elit-elit birokrasi dan elit-elit partai politik di Papua
"Sementara dana untuk rakyat kecil di Papua sangatlah kecil. Itulah sebabnya mengapa Otonomi Khusus (otsus ) yang telah di amanat UU No. 21/2001 gagal," katanya. "Kebijakan khusus untuk melindungi dan memberdayakan warga asli, miskin implementatif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Papua."
Dia menegaskan pemerintah juga sudah lama gagal mendesain pendidikan bagi anak Papua, sehingga otsus gagal memberi peluang kerja bagi putra-putri daerah. Itulah yang menyebabkan intervensi pemerintah pusat melalui dana perimbangan dan dana otonomi khusus tak pernah menyentuh rakyat kecil.
"Jadi seberapapun besarnya alokasi dana dari pusat ke daerah, tak tidak akan berfaedah banyak di tengah amburadulnya manajemen otonomi daerah dan korupsi yang menggurita di Papua."
Maka, tegasnya, pemerintah pusat wajib membangun struktur otoritas birokrasi yang sehat di Papua agar uang rakyat tidak dihabiskan dalam perjalanan menuju Papua agar masalah kemiskinan dan penderitaan di Papua teratasi.
"Elit-elit Papua jangan menunjuk-tunjuk ke pusat, seolah-olah hanya pusat yang bertanggung jawab terhadap masalah Papua. Padahal, masalah yang sangat besar di Papua adalah gagalnya pemerintah daerah membangun struktur pemerintah kuat dan struktur birokrasi yang bersih di Papua"
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular