
Internasional
Dari AS Hingga Jerman, Pendemo Hong Kong Meminta Dukungan
Wangi Sinintya Mangkuto, CNBC Indonesia
11 September 2019 06:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah China dan Hong Kong geram. Pasalnya demonstran Hong Kong kini gencar melobi pemimpin dunia untuk meminta demokratisasi di Hong Kong.
Bahkan awal pekan ini, pertemuan aktivis pro demokrasi Joshua Wong dengan pejabat tinggi Jerman membuat China merasa diitervensi. Wong mendatangi Berlin dan meminta dialog persis saat Kanselir Jerman berada di China untuk kunjungan kenegaraan.
Aktivis pro demokrasi ini melakukan kunjungan singkat dan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Jerman. Dalam kunjunganitu, pria berusia 22 tahun ini meminta dukungan Jerman atas langkah yang mereka ambil.
Ia pun mempublikasikan pertemuannya di laman Twitter seraya menuliskan kalimat "situasi protes dan sebab membebaskan pemilu dan demokrasi di HK,".
"Berdiri dengan Hong Kong adalah lebih dari slogan, kami dorong dunia bebas untuk berdiri bersama dengan kami untuk menentang China yang otokratik," ujar Wong.
Permintaan dukungan asing tersebut bukan hanya baru terjadi. Sebelumnya dalam demo yang dilakukan pekan lalu di Hong Kong, demonstran juga mendatangi Konsulat AS untuk meminta dukungan dan "membebaskan" Hong Kong.
Para demonstran membawa bendera AS dan mengibarkannya seraya berorasi. Mereka meminta pengesahan "Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Hong Kong 2019" oleh Kongres AS.
Pendemo mengatakan mereka memiliki nilai-nilai yang sama dengan AS. Dimana kebebasan dan demokrasi menjadi prinsip.
Bak gayung bersambut, para legislator AS juga kemudian mengusukan UU bipartisan untuk Hong Kong. UU ini merupakan pembenaran atas perlakuan khusus yang diberikan AS ke Hong Kong
UU ini mengatur soal perdagangan khusus dan hak istimewa bisnis. Namun menurut legislator AS, UU ini juga bisa dimanfaatkan untuk demokratisasi.
Dua pekan sebelumnya, aktivis pro demokrasi juga datang ke Taiwan. Sama halnya dengan Jerman dan AS, mereka juga meminta Taiwan mendukung apa yang mereka sebut "kampaye demokrasi".
BERSAMBUNG KE HAL 2
Perasaan diberlakukan sama oleh China membuat aktivis merasa Taiwan adalah saudara yang tepat untuk dimintai bantuan. Meski memiliki aturan negara sendiri, hingga kini China masih menganggap Taiwan sebagai salah satu provinsinya yang membangkang.
"Saya berharap orang-orang dapat bertukar pikiran bersama tentang bagaimana memenangkan perang ini melawan teror putih Beijing dan pemerintahan otoriter," kata Lester Shum, salah satu pemimpin mahasiswa dalam demo pro-demokrasi.
"Teman-teman di Taiwan bukan pengamat gerakan di Hongkong. Orang Taiwan adalah peserta," katanya. "China pasti ingin mengambil alih Taiwan setelah mengambil alih Hong Kong,".
Dukungan langsung sebenarnya datang dari pemerintah Inggris. Bukan rahasia lagi, kedekatan dengan Inggris terjalin erat mengingat Hong Kong adalah bekas koloni negara kerjaan itu.
Bahkan sejak awal demontrasi berlangsung, Inggris terus meminta China agar menampung aspirasi pendemo. Saat ini, Inggris bahkan berencana memberi kemudahan pada warga negara Hong Kong yang ingin pindah warga negara dari Hong Kong.
Demo Hong Kong sudah berlangsung selama sekitar tiga bulan. Demonstrasi dilakukan dipicu oleh pembahasan RUU Ekstradisi yang memungkinkan pelaku kriminal diekstradisi dari Hong Kong ke China.
Hal ini ditakutkan menjadi senjata China untuk menekan para aktivis Hong Kong. Meski demikian Pemimpin Hong Kong Carrie Lam sudah mencabut secara resmi aturan tersebut pekan lalu.
Sayangnya demonstrasi terus berlanjut. Pembatalan secara resmi RUU Ekstradisi hanya satu dari lima tuntutan para demonstran yang diantaranya termasuk upaya meminta demokrasi di Hong Kong dan pembebasan semua aktivis pro demokrasi yang ditangkap pemerintah.
Sementara China dan pemimpin Hong Kong menyayangkan apa yang dilakukan pendemo. Bagi keduanya, pendemo telah melakukan tindakan separatis dan menganggu kedaulatan negara. Intervensi asing pun tidak dibenarkan dalam urusan internal ini.
(sef/sef) Next Article Duh! Sudah 2020, Tapi Hong Kong Masih Demo
Bahkan awal pekan ini, pertemuan aktivis pro demokrasi Joshua Wong dengan pejabat tinggi Jerman membuat China merasa diitervensi. Wong mendatangi Berlin dan meminta dialog persis saat Kanselir Jerman berada di China untuk kunjungan kenegaraan.
Aktivis pro demokrasi ini melakukan kunjungan singkat dan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Jerman. Dalam kunjunganitu, pria berusia 22 tahun ini meminta dukungan Jerman atas langkah yang mereka ambil.
Ia pun mempublikasikan pertemuannya di laman Twitter seraya menuliskan kalimat "situasi protes dan sebab membebaskan pemilu dan demokrasi di HK,".
Permintaan dukungan asing tersebut bukan hanya baru terjadi. Sebelumnya dalam demo yang dilakukan pekan lalu di Hong Kong, demonstran juga mendatangi Konsulat AS untuk meminta dukungan dan "membebaskan" Hong Kong.
Para demonstran membawa bendera AS dan mengibarkannya seraya berorasi. Mereka meminta pengesahan "Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Hong Kong 2019" oleh Kongres AS.
Pendemo mengatakan mereka memiliki nilai-nilai yang sama dengan AS. Dimana kebebasan dan demokrasi menjadi prinsip.
Bak gayung bersambut, para legislator AS juga kemudian mengusukan UU bipartisan untuk Hong Kong. UU ini merupakan pembenaran atas perlakuan khusus yang diberikan AS ke Hong Kong
UU ini mengatur soal perdagangan khusus dan hak istimewa bisnis. Namun menurut legislator AS, UU ini juga bisa dimanfaatkan untuk demokratisasi.
Dua pekan sebelumnya, aktivis pro demokrasi juga datang ke Taiwan. Sama halnya dengan Jerman dan AS, mereka juga meminta Taiwan mendukung apa yang mereka sebut "kampaye demokrasi".
BERSAMBUNG KE HAL 2
Perasaan diberlakukan sama oleh China membuat aktivis merasa Taiwan adalah saudara yang tepat untuk dimintai bantuan. Meski memiliki aturan negara sendiri, hingga kini China masih menganggap Taiwan sebagai salah satu provinsinya yang membangkang.
"Saya berharap orang-orang dapat bertukar pikiran bersama tentang bagaimana memenangkan perang ini melawan teror putih Beijing dan pemerintahan otoriter," kata Lester Shum, salah satu pemimpin mahasiswa dalam demo pro-demokrasi.
"Teman-teman di Taiwan bukan pengamat gerakan di Hongkong. Orang Taiwan adalah peserta," katanya. "China pasti ingin mengambil alih Taiwan setelah mengambil alih Hong Kong,".
Dukungan langsung sebenarnya datang dari pemerintah Inggris. Bukan rahasia lagi, kedekatan dengan Inggris terjalin erat mengingat Hong Kong adalah bekas koloni negara kerjaan itu.
Bahkan sejak awal demontrasi berlangsung, Inggris terus meminta China agar menampung aspirasi pendemo. Saat ini, Inggris bahkan berencana memberi kemudahan pada warga negara Hong Kong yang ingin pindah warga negara dari Hong Kong.
Demo Hong Kong sudah berlangsung selama sekitar tiga bulan. Demonstrasi dilakukan dipicu oleh pembahasan RUU Ekstradisi yang memungkinkan pelaku kriminal diekstradisi dari Hong Kong ke China.
Hal ini ditakutkan menjadi senjata China untuk menekan para aktivis Hong Kong. Meski demikian Pemimpin Hong Kong Carrie Lam sudah mencabut secara resmi aturan tersebut pekan lalu.
Sayangnya demonstrasi terus berlanjut. Pembatalan secara resmi RUU Ekstradisi hanya satu dari lima tuntutan para demonstran yang diantaranya termasuk upaya meminta demokrasi di Hong Kong dan pembebasan semua aktivis pro demokrasi yang ditangkap pemerintah.
Sementara China dan pemimpin Hong Kong menyayangkan apa yang dilakukan pendemo. Bagi keduanya, pendemo telah melakukan tindakan separatis dan menganggu kedaulatan negara. Intervensi asing pun tidak dibenarkan dalam urusan internal ini.
(sef/sef) Next Article Duh! Sudah 2020, Tapi Hong Kong Masih Demo
Most Popular