
Pak Jokowi dan Bu Sri Mulyani, Masih Mau Turunkan PPh Badan?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
06 September 2019 12:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak sekali dua kali mengemukakan kekecewaan terhadap arus investasi di Indonesia. Teranyar, Jokowi tidak puas karena Indonesia kalah menarik dari negara-negara lain di mata investor.
"Dari investor-investor yang kita temui, dan catatan yang disampaikan Bank Dunia kepada kita, dua bulan yang lalu ada 33 perusahaan di Tiongkok keluar, 23 memilih Vietnam, 10 lainnya pergi ke Malaysia, Thailand, Kamboja. Nggak ada yang ke kita," tegas Jokowi di depan para menteri Kabinet Kerja, belum lama ini.
Sebagai jawaban atas kekecewaan Jokowi, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan pemerintah akan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Saat ini tarif PPh Badan adalah 25%, dan akan diturunkan secara bertahap menjadi 20%.
Namun apakah penurunan tarif pajak cukup efektif untuk menarik investasi? Nanti dulu...
Menurut catatan Bank Dunia, insentif pajak sulit untuk menyelesaikan persoalan seretnya arus investasi yang masuk ke Indonesia. Indonesia semestinya melakukan pembenahan yang lebih struktural yaitu menjamin kredibilitas, kepastian, dan kepatuhan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kredibiltas yang dimaksud Bank Dunia adalah memastikan Indonesia ramah investasi. Ada tiga hal besar yang perlu dilakukan.
Pertama adalah mengintegrasikan Indonesia kepada rantai pasok global. Caranya adalah memudahkan proses bisnis seperti menghapus kewajiban rekomendasi impor barang modal, meniadakan inspeksi sebelum pengiriman barang ke luar negeri, menghapus wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) kecuali untuk produk yang terkait keamanan dan kesehatan, serta menghapus bea masuk untuk bahan baku dan barang modal industri manufaktur.
Kedua adalah relaksasi kepemilikan asing dalam aturan Daftar Negatif Investasi (DNI). Ketiga adalah mengurangi pembatasan perizinan untuk tenaga kerja profesional.
Lalu di sisi kepastian, harus ada jaminan regulasi yang ada tidak tumpang tindih. Jangan ada kebijakan yang tidak konsisten, kontradiktif, dan tidak ramah investasi.
Kemudian untuk kepatuhan, seluruh instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah harus segaris dengan kebijakan yang diputuskan presiden. Tidak boleh ada lagi regulasi maupun praktik yang bertentangan dengan instruksi presiden.
Sebelumnya, Bank Dunia juga sudah merilis laporan bertajuk Foreign Investor Perspectives and Policy Implications 2017/2018. Laporan tersebut memaparkan hasil survei terhadap 754 perusahaan internasional.
Dari 754 perusahaan itu, 19% menyatakan tarif pajak rendah sangat penting dan 39% menyebut penting. Sementara 31% bilang agak penting, 9% tidak penting, dan sisanya tidak tahu.
Faktor yang paling menjadi perhatian investor ternyata adalah stabilitas politik dan keamanan, dengan 50% responden menganggapnya sangat penting dan 37% menilai penting. Faktor kedua adalah kepastian hukum dan perundangan, di mana 40% responden menyatakan sangat penting dan 46% menyebut penting. Kemudian faktor ketiga adalah pasar domestik yang besar, dengan 42% menilainya sangat penting dan 38% menganggapnya penting.
Oleh karena itu, penurunan tarif pajak tidak otomatis membuat arus modal mengalir deras ke Indonesia. Sebab ternyata faktor yang paling menjadi perhatian investor adalah stabilitas, dan itu bisa diperoleh dengan reformasi struktural.
Pada akhir 2017, Presiden AS Donald Trump memutuskan menurunkan tarif PPh Badan dari 35% menjadi 21%. Sementara untuk PPh Orang Pribadi, berikut rinciannya:
Berkat kebijakan ini, ekonomi AS melaju kencang. Puncaknya terjadi pada kuartal II-2018, di mana kala itu ekonomi Negeri Paman Sam tumbuh 4,2%, tertinggi sejak 2014. Ekonomi AS yang ngebut itu membuat bank sentral terpaksa menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali agar tidak terjadi overheat.
Namun, apakah Indonesia bisa berharap menikmati hal serupa dengan menurunkan PPh Badan? Lagi-lagi, nanti dulu...
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam riset bertajuk US Business Investment: Rising Market Power Mutes Tax Cut Impact menyatakan bahwa bukan pemotongan tarif PPh Badan yang membuat ekonomi AS melesat. Jadi apa dong?
"Beberapa pihak percaya bahwa penurunan PPh Badan dari 35% menjadi 21%, yang menurunkan biaya, membuat dunia usaha bergairah sehingga meningkatkan investasi. Namun temuan kami menunjukkan hal yang lebih simpel. Kenaikan investasi lebih disebabkan kenaikan permintaan domestik," sebut laporan IMF yang disusun oleh Emanuel Kopp, Daniel Leigh, dan Suchanan Tambunlertchai.
Lalu apa yang membuat permintaan domestik naik? Bukan penurunan tarif PPh Badan, tetapi tarif untuk PPh Orang Pribadi.
"Faktor yang mendorong permintaan domestik adalah bertambahnya penghasilan yang bisa dibelanjakan (disposable income) karena penurunan tarif PPh Orang Pribadi. Juga stimulus fiskal yang lebih besar dari belanja negara karena Bipartisan Budget Act 2018," sebut laporan IMF.
Jadi kalau pemerintah memang ingin menggunakan instrumen pajak untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, maka yang perlu ditekankan adalah bagaimana pajak bisa mendorong permintaan domestik. Dalam hal ini, penurunan tarif PPh Orang Pribadi lebih efektif ketimbang PPh Badan. Kajian IMF sudah membuktikan itu, belajar dari kasus di AS.
So, bagaimana Pak Jokowi dan Bu Sri Mulyani...?
Baca: Tarif PPh Badan (Katanya) Mau Turun, Untung atau Rugi Kah?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/wed) Next Article Soal Diskon Pajak Mobil, Tim Sri Mulyani Masih Pikir-pikir
"Dari investor-investor yang kita temui, dan catatan yang disampaikan Bank Dunia kepada kita, dua bulan yang lalu ada 33 perusahaan di Tiongkok keluar, 23 memilih Vietnam, 10 lainnya pergi ke Malaysia, Thailand, Kamboja. Nggak ada yang ke kita," tegas Jokowi di depan para menteri Kabinet Kerja, belum lama ini.
Sebagai jawaban atas kekecewaan Jokowi, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan pemerintah akan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Saat ini tarif PPh Badan adalah 25%, dan akan diturunkan secara bertahap menjadi 20%.
Namun apakah penurunan tarif pajak cukup efektif untuk menarik investasi? Nanti dulu...
Menurut catatan Bank Dunia, insentif pajak sulit untuk menyelesaikan persoalan seretnya arus investasi yang masuk ke Indonesia. Indonesia semestinya melakukan pembenahan yang lebih struktural yaitu menjamin kredibilitas, kepastian, dan kepatuhan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kredibiltas yang dimaksud Bank Dunia adalah memastikan Indonesia ramah investasi. Ada tiga hal besar yang perlu dilakukan.
Pertama adalah mengintegrasikan Indonesia kepada rantai pasok global. Caranya adalah memudahkan proses bisnis seperti menghapus kewajiban rekomendasi impor barang modal, meniadakan inspeksi sebelum pengiriman barang ke luar negeri, menghapus wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) kecuali untuk produk yang terkait keamanan dan kesehatan, serta menghapus bea masuk untuk bahan baku dan barang modal industri manufaktur.
Kedua adalah relaksasi kepemilikan asing dalam aturan Daftar Negatif Investasi (DNI). Ketiga adalah mengurangi pembatasan perizinan untuk tenaga kerja profesional.
Lalu di sisi kepastian, harus ada jaminan regulasi yang ada tidak tumpang tindih. Jangan ada kebijakan yang tidak konsisten, kontradiktif, dan tidak ramah investasi.
Kemudian untuk kepatuhan, seluruh instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah harus segaris dengan kebijakan yang diputuskan presiden. Tidak boleh ada lagi regulasi maupun praktik yang bertentangan dengan instruksi presiden.
Sebelumnya, Bank Dunia juga sudah merilis laporan bertajuk Foreign Investor Perspectives and Policy Implications 2017/2018. Laporan tersebut memaparkan hasil survei terhadap 754 perusahaan internasional.
Dari 754 perusahaan itu, 19% menyatakan tarif pajak rendah sangat penting dan 39% menyebut penting. Sementara 31% bilang agak penting, 9% tidak penting, dan sisanya tidak tahu.
Faktor yang paling menjadi perhatian investor ternyata adalah stabilitas politik dan keamanan, dengan 50% responden menganggapnya sangat penting dan 37% menilai penting. Faktor kedua adalah kepastian hukum dan perundangan, di mana 40% responden menyatakan sangat penting dan 46% menyebut penting. Kemudian faktor ketiga adalah pasar domestik yang besar, dengan 42% menilainya sangat penting dan 38% menganggapnya penting.
![]() |
Oleh karena itu, penurunan tarif pajak tidak otomatis membuat arus modal mengalir deras ke Indonesia. Sebab ternyata faktor yang paling menjadi perhatian investor adalah stabilitas, dan itu bisa diperoleh dengan reformasi struktural.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Memang benar ada contoh kasus penurunan tarif PPh bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi. Lihat saja di Amerika Serikat (AS). Pada akhir 2017, Presiden AS Donald Trump memutuskan menurunkan tarif PPh Badan dari 35% menjadi 21%. Sementara untuk PPh Orang Pribadi, berikut rinciannya:
![]() |
Berkat kebijakan ini, ekonomi AS melaju kencang. Puncaknya terjadi pada kuartal II-2018, di mana kala itu ekonomi Negeri Paman Sam tumbuh 4,2%, tertinggi sejak 2014. Ekonomi AS yang ngebut itu membuat bank sentral terpaksa menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali agar tidak terjadi overheat.
Namun, apakah Indonesia bisa berharap menikmati hal serupa dengan menurunkan PPh Badan? Lagi-lagi, nanti dulu...
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam riset bertajuk US Business Investment: Rising Market Power Mutes Tax Cut Impact menyatakan bahwa bukan pemotongan tarif PPh Badan yang membuat ekonomi AS melesat. Jadi apa dong?
"Beberapa pihak percaya bahwa penurunan PPh Badan dari 35% menjadi 21%, yang menurunkan biaya, membuat dunia usaha bergairah sehingga meningkatkan investasi. Namun temuan kami menunjukkan hal yang lebih simpel. Kenaikan investasi lebih disebabkan kenaikan permintaan domestik," sebut laporan IMF yang disusun oleh Emanuel Kopp, Daniel Leigh, dan Suchanan Tambunlertchai.
Lalu apa yang membuat permintaan domestik naik? Bukan penurunan tarif PPh Badan, tetapi tarif untuk PPh Orang Pribadi.
"Faktor yang mendorong permintaan domestik adalah bertambahnya penghasilan yang bisa dibelanjakan (disposable income) karena penurunan tarif PPh Orang Pribadi. Juga stimulus fiskal yang lebih besar dari belanja negara karena Bipartisan Budget Act 2018," sebut laporan IMF.
Jadi kalau pemerintah memang ingin menggunakan instrumen pajak untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, maka yang perlu ditekankan adalah bagaimana pajak bisa mendorong permintaan domestik. Dalam hal ini, penurunan tarif PPh Orang Pribadi lebih efektif ketimbang PPh Badan. Kajian IMF sudah membuktikan itu, belajar dari kasus di AS.
So, bagaimana Pak Jokowi dan Bu Sri Mulyani...?
Baca: Tarif PPh Badan (Katanya) Mau Turun, Untung atau Rugi Kah?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/wed) Next Article Soal Diskon Pajak Mobil, Tim Sri Mulyani Masih Pikir-pikir
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular