
RI Impor Handphone Sampai Limbah Kayu dari Vietnam, Kok Bisa?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
06 September 2019 06:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Vietnam adalah kekuatan ekonomi baru di Asia Tenggara. Negara yang pernah luluh lantak akibat perang saudara selama 20 tahun ini berhasil bangkit dan dalam trek yang benar untuk menuju kejayaan.
Saat ini, Vietnam menjadi yang nomor satu di antara negara-negara ASEAN 6 dalam hal pertumbuhan ekonomi. Pada semester I-2019, ekonomi Vietnam tumbuh 6,76%. Walau melambat dibandingkan semester I-2018 yang sebesar 7,08%, tetapi tetap menjadi yang terbaik.
Kekuatan ekonomi Vietnam terletak di sisi eksternal alias ekspor. Pada 2018, ekspor menyumbang 95,39% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Bahkan pada 2017 kontribusinya mencapai 101,59%.
Tidak seperti Indonesia yang ekspor utamanya adalah batu bara dan minyak sawit mentah (CPO), produk ekspor Vietnam bisa dibilang lebih berkualitas. Ekspor Vietnam didominasi oleh produk manufaktur yang menghasilkan nilai tambah.
Pasar ekspor terbesar Vietnam adalah Amerika Serikat (AS). Pada 2017, ekspor Vietnam ke AS tercatat US$ 41,55 miliar atau berkontribusi 20% dari total ekspor. Di bawah AS ada China dengan nilai ekspor US$ 35,39 miliar (17%), Jepang US$ 16,79 miliar (8%), dan Korea Selatan US$ 14,81 miliar (7%).
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah produk-produk Vietnam juga masuk ke Tanah Air?
Tentu saja ada, tetapi nilainya belum terlalu besar. Sepanjang Januari-Juni 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor dari Vietnam adalah US$ 1,82 miliar, hanya 2,22% dari total ekspor.
Namun yang menarik adalah impor Indonesia dari Vietnam didominasi produk manufaktur hi-tech yaitu peralatan telekomunikasi dan suku cadangnya. Pada semester I-2019, nilai impor produk tersebut adalah US$ 245,44 juta.
Bagaimana caranya negara yang tercabik oleh perang bisa berubah menjadi kekuatan ekonomi yang patut diperhitungkan?
"Pertama, Vietnam mengubah haluan ekonomi dari sentraistik menjadi berbasis pasar. Kedua, Vietnam melakukan deregulasi dan menekan biaya. Ketiga, Vietnam berinvestasi di pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia," demikian sebut kajian Wold Economic Forum.
Pada 1995, Vietnam bergabung dengan perjanjian perdagangan bebas ASEAN. Kemudian pada 2000 mereka meneken kerja sama perdagangan dengan AS dan pada 2007 bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia WTO. Dengan berbagai perjanjian ini, bea masuk dan bea keluar bisa ditekan sehingga menurunkan biaya berbisnis. Tentunya ini sangat menarik bagi investor global.
Pemerintah Vietnam mulai melakukan deregulasi pada 1986 dengan memperkenalkan UU penanaman modal asing. Kemudian pemerintah Vietnam juga getol membangun infrastruktur, baik fisik maupun sumber daya manusia. Berbagai kemudahan tersebut membuat Vietnam bangkit. Pada 2017, Vietnam sudah sah menjadi eksportir pakaian terbesar di ASEAN dan eksportir kedua terbesar untuk produk elektronik (hanya kalah dari Singapura).
"Dengan tensi perdagangan dunia yang meninggi, Vietnam justru bisa mendapat keuntungan. Saat AS menerapkan bea masuk produk-produk China, pengusaha memindahkan lokasi produksinya ke negara seperti Vietnam.
"Bahkan kalau proteksionisme menyulitkan ekspor Vietnam, mereka masih punya kelas menengah domestik untuk menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Saat ini, separuh dari populasi Vietnam berada di usia produktif di bawah 35 tahun," papar kajian World Economic Forum.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/sef) Next Article Sindir Pemda, Jokowi: Kalau Paham, RI Tak Kalah dari Vietnam
Saat ini, Vietnam menjadi yang nomor satu di antara negara-negara ASEAN 6 dalam hal pertumbuhan ekonomi. Pada semester I-2019, ekonomi Vietnam tumbuh 6,76%. Walau melambat dibandingkan semester I-2018 yang sebesar 7,08%, tetapi tetap menjadi yang terbaik.
Kekuatan ekonomi Vietnam terletak di sisi eksternal alias ekspor. Pada 2018, ekspor menyumbang 95,39% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Bahkan pada 2017 kontribusinya mencapai 101,59%.
Tidak seperti Indonesia yang ekspor utamanya adalah batu bara dan minyak sawit mentah (CPO), produk ekspor Vietnam bisa dibilang lebih berkualitas. Ekspor Vietnam didominasi oleh produk manufaktur yang menghasilkan nilai tambah.
Pasar ekspor terbesar Vietnam adalah Amerika Serikat (AS). Pada 2017, ekspor Vietnam ke AS tercatat US$ 41,55 miliar atau berkontribusi 20% dari total ekspor. Di bawah AS ada China dengan nilai ekspor US$ 35,39 miliar (17%), Jepang US$ 16,79 miliar (8%), dan Korea Selatan US$ 14,81 miliar (7%).
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah produk-produk Vietnam juga masuk ke Tanah Air?
Tentu saja ada, tetapi nilainya belum terlalu besar. Sepanjang Januari-Juni 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor dari Vietnam adalah US$ 1,82 miliar, hanya 2,22% dari total ekspor.
Namun yang menarik adalah impor Indonesia dari Vietnam didominasi produk manufaktur hi-tech yaitu peralatan telekomunikasi dan suku cadangnya. Pada semester I-2019, nilai impor produk tersebut adalah US$ 245,44 juta.
Bagaimana caranya negara yang tercabik oleh perang bisa berubah menjadi kekuatan ekonomi yang patut diperhitungkan?
"Pertama, Vietnam mengubah haluan ekonomi dari sentraistik menjadi berbasis pasar. Kedua, Vietnam melakukan deregulasi dan menekan biaya. Ketiga, Vietnam berinvestasi di pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia," demikian sebut kajian Wold Economic Forum.
Pada 1995, Vietnam bergabung dengan perjanjian perdagangan bebas ASEAN. Kemudian pada 2000 mereka meneken kerja sama perdagangan dengan AS dan pada 2007 bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia WTO. Dengan berbagai perjanjian ini, bea masuk dan bea keluar bisa ditekan sehingga menurunkan biaya berbisnis. Tentunya ini sangat menarik bagi investor global.
![]() |
Pemerintah Vietnam mulai melakukan deregulasi pada 1986 dengan memperkenalkan UU penanaman modal asing. Kemudian pemerintah Vietnam juga getol membangun infrastruktur, baik fisik maupun sumber daya manusia. Berbagai kemudahan tersebut membuat Vietnam bangkit. Pada 2017, Vietnam sudah sah menjadi eksportir pakaian terbesar di ASEAN dan eksportir kedua terbesar untuk produk elektronik (hanya kalah dari Singapura).
"Dengan tensi perdagangan dunia yang meninggi, Vietnam justru bisa mendapat keuntungan. Saat AS menerapkan bea masuk produk-produk China, pengusaha memindahkan lokasi produksinya ke negara seperti Vietnam.
"Bahkan kalau proteksionisme menyulitkan ekspor Vietnam, mereka masih punya kelas menengah domestik untuk menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Saat ini, separuh dari populasi Vietnam berada di usia produktif di bawah 35 tahun," papar kajian World Economic Forum.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/sef) Next Article Sindir Pemda, Jokowi: Kalau Paham, RI Tak Kalah dari Vietnam
Most Popular