
Pak Jokowi, Ini Saran Begawan Migas untuk Majukan Energi RI
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
05 September 2019 09:22

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri migas RI kini tengah menghadapi tantangan sulit. Lapangan tua, produksi migas tidak maksimal, dan minim eksplorasi.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Sang begawan migas yang juga guru besar ilmu ekonomi Universitas Indonesia, Prof Dr Soebroto, buka suara soal kondisi energi dan migas RI saat ini. Soebroto adalah Menteri Pertambangan dan Energi era 1978-1988 dan pernah menjadi Sekretaris Jenderal Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) di Wina, Austria, pada 1988.
Menurutnya, Indonesia sedang di tahap transisi menuju energi baru dan terbarukan dan meninggalkan bahan bakar fosil. Ini sesuai dengan kesepakatan global di mana pada 2030 bahan bakar berbasis fosil semestinya tak digunakan lagi, tetapi kenyataannya porsi energi baru masih di kisaran 9-12%.
"Masuknya renewable energi, meninggalkan fossil fuel. Pada waktu sekarang ini, peranan bahan bakar fosil secara global harusnya 2030 sudah tidak digunakan lagi. Akan tetapi di Indonesia, renewable baru 9%, berarti energi masih dipenuhi dari fossil fuel," ujarnya saat dijumpai di gelaran Konvensi Indonesian Petroleum Association (IPA) ke 43, di Jakarta, Rabu (4/9/2019).
Artinya, kata dia, energi masih dipenuhi oleh bahan bakar fosil. Ini yang menjadi problem Indonesia, ketika bahan bakar fosil turun tapi kebutuhan masih tinggi. Produksi minyak turun, sementara gas diperkirakan akan naik. Batu bara masih besar, meski disiapkan akan diganti gas secara bertahap.
Ia sekaligus menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal kejayaan minyak yang sudah padam. Menurutnya, memang tidak bisa ditampik jika dilihat dari sisi produksi yang terus menurun. Namun kebutuhan yang masih besar harus tetap dicari solusinya.
"Kita sekarang ini harus realistis, cadangan ada, potensi ada. Tapi dibandingkan negara-negara lain dianggap kita tuh kurang berikan insentif. Dalam transisi period, tetap fossil fuel minyak utamanya dan gas masih besar, masih perlu banyak sekali insentif untuk tingkatkan akselerasi produksi," kata Subroto.
Nah, bicara soal tingkat eksplorasi migas RI. Untuk meningkatkannya perlu modal yang besar, sementara untuk memancing investor perlu iklim yang kondusif. Tetapi, dibanding negara-negara lain, untuk kembangkan proyek migas negeri ini dinilai masih kurang atraktif.
"Kita tuh kurang berikan insentif. Malaysia misalnya. Selama ini kita mesti sadari sedang dalam transisi period, tetapi kebutuhan fossil fuel minyak utamanya dan gas masih besar. Ini perlu banyak sekali insentif untuk tingkatkan akselerasi produksi."
"Insentif untuk eksplorasi, peraturan kita berubah-ubah, masih terlalu banyak hambatan perizinan. Banyak birokrasi, itu memang secara nyata kita harus akui."
Indonesia, kata dia, sebenarnya masih punya banyak cadangan terutama di kawasan timur. "Tapi itu daerah sulit, jadi sekarang harus realistis. Cadangannya ada, potensinya ada."
Ia membetulkan bahwa minyak sudah tak sejaya dulu, tapi bukan berarti bisa diabaikan untuk tak dimanfaatkan. "Gas, methanol, gas alam, itu tetap kita kejar."
Tapi, bagaimanapun, struktur pemerintahan juga perlu diperhatikan tak cuma pusat tapi juga sampai daerah yang berperan besar. "Ini perlu ada leadership yang kuat di dalam ESDM, sekarang ini masalahnya minyak itu membutuhkan sekali banyak kerja sama dengan Kementerian Keuangan, KLHK, dan sebagainya. Jadi harus ada seorang pimpinan yang mampu merangkul stakeholders," kata dia.
Ia juga memberi catatan tentang bagaimana industri migas dipandang selama ini, yakni cuma sebagai sumber pendapatan negara.
"Sekarang perlu dipahami, minyak bukan lagi sumber devisa tapi sumber pemberdayaan pembangunan. Jadi harus ada switch of mental, dan jangan harapkan pendapatan dari minyak saja."
Apa yang sebenarnya terjadi?
Sang begawan migas yang juga guru besar ilmu ekonomi Universitas Indonesia, Prof Dr Soebroto, buka suara soal kondisi energi dan migas RI saat ini. Soebroto adalah Menteri Pertambangan dan Energi era 1978-1988 dan pernah menjadi Sekretaris Jenderal Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) di Wina, Austria, pada 1988.
"Masuknya renewable energi, meninggalkan fossil fuel. Pada waktu sekarang ini, peranan bahan bakar fosil secara global harusnya 2030 sudah tidak digunakan lagi. Akan tetapi di Indonesia, renewable baru 9%, berarti energi masih dipenuhi dari fossil fuel," ujarnya saat dijumpai di gelaran Konvensi Indonesian Petroleum Association (IPA) ke 43, di Jakarta, Rabu (4/9/2019).
Artinya, kata dia, energi masih dipenuhi oleh bahan bakar fosil. Ini yang menjadi problem Indonesia, ketika bahan bakar fosil turun tapi kebutuhan masih tinggi. Produksi minyak turun, sementara gas diperkirakan akan naik. Batu bara masih besar, meski disiapkan akan diganti gas secara bertahap.
Ia sekaligus menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal kejayaan minyak yang sudah padam. Menurutnya, memang tidak bisa ditampik jika dilihat dari sisi produksi yang terus menurun. Namun kebutuhan yang masih besar harus tetap dicari solusinya.
"Kita sekarang ini harus realistis, cadangan ada, potensi ada. Tapi dibandingkan negara-negara lain dianggap kita tuh kurang berikan insentif. Dalam transisi period, tetap fossil fuel minyak utamanya dan gas masih besar, masih perlu banyak sekali insentif untuk tingkatkan akselerasi produksi," kata Subroto.
Nah, bicara soal tingkat eksplorasi migas RI. Untuk meningkatkannya perlu modal yang besar, sementara untuk memancing investor perlu iklim yang kondusif. Tetapi, dibanding negara-negara lain, untuk kembangkan proyek migas negeri ini dinilai masih kurang atraktif.
"Kita tuh kurang berikan insentif. Malaysia misalnya. Selama ini kita mesti sadari sedang dalam transisi period, tetapi kebutuhan fossil fuel minyak utamanya dan gas masih besar. Ini perlu banyak sekali insentif untuk tingkatkan akselerasi produksi."
"Insentif untuk eksplorasi, peraturan kita berubah-ubah, masih terlalu banyak hambatan perizinan. Banyak birokrasi, itu memang secara nyata kita harus akui."
Indonesia, kata dia, sebenarnya masih punya banyak cadangan terutama di kawasan timur. "Tapi itu daerah sulit, jadi sekarang harus realistis. Cadangannya ada, potensinya ada."
Ia membetulkan bahwa minyak sudah tak sejaya dulu, tapi bukan berarti bisa diabaikan untuk tak dimanfaatkan. "Gas, methanol, gas alam, itu tetap kita kejar."
Tapi, bagaimanapun, struktur pemerintahan juga perlu diperhatikan tak cuma pusat tapi juga sampai daerah yang berperan besar. "Ini perlu ada leadership yang kuat di dalam ESDM, sekarang ini masalahnya minyak itu membutuhkan sekali banyak kerja sama dengan Kementerian Keuangan, KLHK, dan sebagainya. Jadi harus ada seorang pimpinan yang mampu merangkul stakeholders," kata dia.
Ia juga memberi catatan tentang bagaimana industri migas dipandang selama ini, yakni cuma sebagai sumber pendapatan negara.
"Sekarang perlu dipahami, minyak bukan lagi sumber devisa tapi sumber pemberdayaan pembangunan. Jadi harus ada switch of mental, dan jangan harapkan pendapatan dari minyak saja."
![]() |
(tas) Next Article Pak Jokowi, Ini Kata Begawan Migas Subroto Soal Kondisi RI
Most Popular