
Turki Sudah Resesi, Negara Lain Menanti?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 September 2019 10:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Turki sudah sah jatuh ke jurang resesi. Namun, masalah ekonomi tidak hanya dialami oleh Turki.
Pada periode April-Juni 2019, ekonomi Turki terkontraksi alias negatif 1,5% year-on-year (YoY). Pada kuartal sebelumnya, kontraksi ekonomi Turki lebih dalam yaitu minus 2,4% YoY.
Definisi resesi adalah kontraksi ekonomi dua kuartal beruntun secara YoY pada tahun yang sama. Mengacu pada definisi ini, Turki sudah masuk ke jurang resesi.
Data-data terbaru menunjukkan masalah tidak hanya monopoli Negeri Kebab. Meski belum berujung ke resesi, tetapi aura gloomy sudah terasa di berbagai negara.
Salah satu indikator yang dipantau oleh pasar adalah data Purchasing Managers' Index (PMI). Data ini memberi gambaran apakah dunia usaha melakukan ekspansi, menahan diri, atau justru mengalami kontraksi.
Di Amerika Serikat (AS), angka PMI manufaktur versi ISM untuk Agustus berada di 49,1. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 51,2.
Angka PMI di bawah 50 berarti dunia usaha tidak ekspansif, justru terkontraksi. Oleh karena itu, sudah nyata terlihat bahwa para industriawan di Negeri Paman Sam kurang gairah dan kurang tenaga. Lebih sedih lagi, PMI AS di bawah 50 baru kali pertama terjadi sejak Januari 2016.
Negara-negara lain pun mengalami nasib serupa. PMI Singapura versi IHS/Markit periode Agustus tercatat 48,7. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 51.
Seperti di AS, dunia usaha di Negeri Singa juga loyo. Bukan apa-apa, angka PMI Agustus ini menjadi yang paling rendah dalam tujuh tahun terakhir!
Masih kurang? Ada lagi...
PMI Hong Kong versi Markit pada Agustus tercatat 40,8, turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 43,8. Lagi-lagi angka di bawah 50.
Sudah 17 bulan terakhir dunia usaha di bekas koloni Inggris ini mengalami kontraksi. Bahkan angka Agustus menjadi yang terendah sejak Februari 2009. Luar biasa...
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Well, aura perlambatan ekonomi global sudah begitu terasa. Kalau situasi seperti ini terus berlanjut, maka bukan tidak mungkin perekonomian global bisa seperti Turki. Resesi...
Ketika AS dan China sulit berdagang, maka rantai pasok global akan terganggu. Akibatnya ya itu tadi, arus perdagangan dan investasi dunia tersendat.
Masalahnya, upaya AS-China menuju damai dagang menemui tantangan yang tidak ringan. Sebab, Washington dan Beijing masih saling bertukar bea masuk yang membuat perdamaian terasa begitu jauh.
Mulai 1 September, AS mengenakan bea masuk 15% bagi importasi produk China senilai US$ 125 miliar, di antara berlaku bagi pengeras suara (speaker), headphone, sampai pakaian. Gelombang kedua bea masuk 15% akan berlaku mulai 15 Desember, yang mencakup impor produk China senilai US$ 156 miliar dari mulai alat makan plastik, kaus kaki, lampu LED, sampai dekorasi untuk keperluan Hari Natal.
Sementara China memberlakukan bea masuk 5-10% untuk importasi produk AS senilai US$ 75 miliar. Selain itu, ada kenaikan bea masuk untuk produk yang selama ini sudah menjadi 'korban', misalnya kedelai (dari 25% naik menjadi 30%).
Situasi semakin keruh kala China mengadukan AS ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tidak disebutkan rincian dari laporan itu, tetapi China menyatakan kebijakan AS telah mempengaruhi ekspor mereka sebesar US$ 300 miliar.
Teranyar, Presiden AS Donald Trump menegaskan agar China jangan coba-coba menghambat negosiasi. Kalau dialog dagang sampai buntu, sang presiden ke-45 Negeri Adidaya mengancam tidak akan ragu bertindak lebih keras kepada China.
"Enam belas bulan adalah waktu yang lama (bagi China) untuk mengalami PHK massal, dan itu yang akan terjadi jika saya menenangi Pemilu (2020). Kesepakatan akan semakin sulit! Pada saat yang sama, rantai pasok China akan hancur dan bisnis, lapangan kerja, serta uang akan hilang!" cuit Trump di Twitter.
Turki sudah menjadi contoh bagaimana resesi adalah sebuah ancaman yang nyata. Jika AS dan China tidak belajar dari contoh ini, maka resesi tingkat global sepertinya sulit terhindarkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI (Mungkin) Resesi, Tapi Krisis? Rasanya Kok Tidak...
Pada periode April-Juni 2019, ekonomi Turki terkontraksi alias negatif 1,5% year-on-year (YoY). Pada kuartal sebelumnya, kontraksi ekonomi Turki lebih dalam yaitu minus 2,4% YoY.
Definisi resesi adalah kontraksi ekonomi dua kuartal beruntun secara YoY pada tahun yang sama. Mengacu pada definisi ini, Turki sudah masuk ke jurang resesi.
Data-data terbaru menunjukkan masalah tidak hanya monopoli Negeri Kebab. Meski belum berujung ke resesi, tetapi aura gloomy sudah terasa di berbagai negara.
Salah satu indikator yang dipantau oleh pasar adalah data Purchasing Managers' Index (PMI). Data ini memberi gambaran apakah dunia usaha melakukan ekspansi, menahan diri, atau justru mengalami kontraksi.
Di Amerika Serikat (AS), angka PMI manufaktur versi ISM untuk Agustus berada di 49,1. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 51,2.
Angka PMI di bawah 50 berarti dunia usaha tidak ekspansif, justru terkontraksi. Oleh karena itu, sudah nyata terlihat bahwa para industriawan di Negeri Paman Sam kurang gairah dan kurang tenaga. Lebih sedih lagi, PMI AS di bawah 50 baru kali pertama terjadi sejak Januari 2016.
Negara-negara lain pun mengalami nasib serupa. PMI Singapura versi IHS/Markit periode Agustus tercatat 48,7. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 51.
Seperti di AS, dunia usaha di Negeri Singa juga loyo. Bukan apa-apa, angka PMI Agustus ini menjadi yang paling rendah dalam tujuh tahun terakhir!
Masih kurang? Ada lagi...
PMI Hong Kong versi Markit pada Agustus tercatat 40,8, turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 43,8. Lagi-lagi angka di bawah 50.
Sudah 17 bulan terakhir dunia usaha di bekas koloni Inggris ini mengalami kontraksi. Bahkan angka Agustus menjadi yang terendah sejak Februari 2009. Luar biasa...
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Well, aura perlambatan ekonomi global sudah begitu terasa. Kalau situasi seperti ini terus berlanjut, maka bukan tidak mungkin perekonomian global bisa seperti Turki. Resesi...
Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Reuters, probabilitas resesi di Negeri Paman Sam dalam 12 bulan ke depan adalah 30% dalam survei 1 Agustus. Naik dibandingkan saat survei 1 Juli yaitu 25%.
Gambaran lebih menakutkan adalah untuk jangka waktu 24 bulan. Dalam survei 1 Agustus, kemungkinan terjadinya resesi di AS mencapai 45%, naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 35%.
Ketika AS resesi (amit-amit), maka seluruh dunia akan merasakan getahnya. Ya mau bagaimana lagi, AS adalah kekuataan ekonomi nomor satu dunia, sang lokomotif. Kalau lokomotifnya berhenti, bagaimana bisa gerbong-gerbong di belakangnya bergerak?
san
Sebenarnya kunci untuk menghindari resesi adalah menggairahkan kembali arus perdagangan dan investasi global. Bagaimana caranya?
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Tidak bisa tidak, AS dan China harus mengakhiri perang dagang. Sudah lebih dari setahun dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia ini terlibat perang, saling hambat dengan mengenakan bea masuk. Gambaran lebih menakutkan adalah untuk jangka waktu 24 bulan. Dalam survei 1 Agustus, kemungkinan terjadinya resesi di AS mencapai 45%, naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 35%.
Ketika AS resesi (amit-amit), maka seluruh dunia akan merasakan getahnya. Ya mau bagaimana lagi, AS adalah kekuataan ekonomi nomor satu dunia, sang lokomotif. Kalau lokomotifnya berhenti, bagaimana bisa gerbong-gerbong di belakangnya bergerak?
san
Sebenarnya kunci untuk menghindari resesi adalah menggairahkan kembali arus perdagangan dan investasi global. Bagaimana caranya?
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Ketika AS dan China sulit berdagang, maka rantai pasok global akan terganggu. Akibatnya ya itu tadi, arus perdagangan dan investasi dunia tersendat.
Masalahnya, upaya AS-China menuju damai dagang menemui tantangan yang tidak ringan. Sebab, Washington dan Beijing masih saling bertukar bea masuk yang membuat perdamaian terasa begitu jauh.
Mulai 1 September, AS mengenakan bea masuk 15% bagi importasi produk China senilai US$ 125 miliar, di antara berlaku bagi pengeras suara (speaker), headphone, sampai pakaian. Gelombang kedua bea masuk 15% akan berlaku mulai 15 Desember, yang mencakup impor produk China senilai US$ 156 miliar dari mulai alat makan plastik, kaus kaki, lampu LED, sampai dekorasi untuk keperluan Hari Natal.
Sementara China memberlakukan bea masuk 5-10% untuk importasi produk AS senilai US$ 75 miliar. Selain itu, ada kenaikan bea masuk untuk produk yang selama ini sudah menjadi 'korban', misalnya kedelai (dari 25% naik menjadi 30%).
Situasi semakin keruh kala China mengadukan AS ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tidak disebutkan rincian dari laporan itu, tetapi China menyatakan kebijakan AS telah mempengaruhi ekspor mereka sebesar US$ 300 miliar.
Teranyar, Presiden AS Donald Trump menegaskan agar China jangan coba-coba menghambat negosiasi. Kalau dialog dagang sampai buntu, sang presiden ke-45 Negeri Adidaya mengancam tidak akan ragu bertindak lebih keras kepada China.
"Enam belas bulan adalah waktu yang lama (bagi China) untuk mengalami PHK massal, dan itu yang akan terjadi jika saya menenangi Pemilu (2020). Kesepakatan akan semakin sulit! Pada saat yang sama, rantai pasok China akan hancur dan bisnis, lapangan kerja, serta uang akan hilang!" cuit Trump di Twitter.
Turki sudah menjadi contoh bagaimana resesi adalah sebuah ancaman yang nyata. Jika AS dan China tidak belajar dari contoh ini, maka resesi tingkat global sepertinya sulit terhindarkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI (Mungkin) Resesi, Tapi Krisis? Rasanya Kok Tidak...
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular