
Obatnya Bikin Kecanduan, Johnson & Johnson Didenda Rp 8 T
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
27 August 2019 13:15

Jakarta, CNBC Indonesia- Raksasa perawatan kesehatan asal Amerika Serikat (AS) Johnson & Johnson didenda sebesar US$ 572 juta aau Rp 8 triliun (kurs Rp 14.000) oleh Thad Balkman, seorang hakim di Oklahoma, Senin (26/8/19). Uang itu akan digunakan untuk membayar ganti rugi kepada pelanggan Johnson & Johnson (J&J) yang mengalami kecanduan opioid akibat mengkonsumsi produk perusahaan.
Hakim Thad Balkman mengatakan jaksa menyimulkan bahwa J&J berkontribusi menyebabkan gangguan publik dengan melakukan promosi penipuan obat penghilang rasa sakit yang sangat adiktif. Hakim menyebut produk J&J membuat ratusan ribu kematian akibat overdosis.
"Tindakan itu membahayakan kesehatan dan keselamatan ribuan Oklahomans," katanya. "Pemasaran dan promosi opioid yang menyesatkan oleh Janssen dan Johnson & Johnson menciptakan gangguan," kata Balkman. Janssen adalah divisi obat-obatan Janssen.
Menurut putusan itu, J&J dan Janssen juga diharuskan mendanai biaya perawatan (rencana pengurangan) untuk mengurangi kecanduan pelanggannya.
Balkman mengatakan, dalam mempromosikan obat-obatannya J&J menipu, mengatakan bahwa rasa sakit yang timbul dari mengkonsumsi produknya bukanlah tanda kecanduan, namun merupakan efek samping penggunaan.
"Para terdakwa menggunakan frasa 'pseudoaddiction' untuk meyakinkan dokter bahwa pasien yang menunjukkan tanda-tanda kecanduan ... tidak benar-benar menderita kecanduan, tetapi (efek) dari perawatan rasa sakit," katanya dalam keputusannya.
Dia juga mengatakan J&J secara sadar meremehkan risiko yang diketahuinya. Sebelumnya, perusahaan sejenis bernama Purdue Pharma, pernah diharuskan membayar denda senilai US$ 600 juta pada tahun 2007 karena masalah serupa.
Mengutip AFP, J&J mengatakan akan mengajukan banding atas keputusan tersebut.
"Janssen tidak menyebabkan krisis opioid di Oklahoma, dan baik fakta maupun hukum tidak mendukung hasil ini," kata wakil presiden eksekutif J&J Michael Ullmann.
"Keputusan hakim yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk membuat 'rencana pengurangan' negara memiliki konsekuensi besar bagi banyak industri dan tidak ada hubungannya dengan obat-obatan atau perilaku perusahaan," tambah J&J.
J&J berpendapat bahwa undang-undang tersebut diterapkan secara tidak tepat dan bahwa produk-produknya memiliki peran yang sangat kecil dalam epidemi kecanduan di Oklahoma dan secara nasional.
Sebagai perusahaan pembuat obat pertama yang diadili, kasus J&J dipandang sebagai penentu bagi ribuan kemungkinan tuntutan pidana dan perdata atas distribusi obat penghilang rasa sakit yang sangat tidak adiktif seperti oxycodone dan hydrocodone.
Krisis opioid telah memicu lebih dari 70.000 kematian overdosis pada tahun 2017 di AS.
(dob) Next Article Johnson & Johnson Tarik Bedak dari Pasar Karena Kandung Asbes
Hakim Thad Balkman mengatakan jaksa menyimulkan bahwa J&J berkontribusi menyebabkan gangguan publik dengan melakukan promosi penipuan obat penghilang rasa sakit yang sangat adiktif. Hakim menyebut produk J&J membuat ratusan ribu kematian akibat overdosis.
"Tindakan itu membahayakan kesehatan dan keselamatan ribuan Oklahomans," katanya. "Pemasaran dan promosi opioid yang menyesatkan oleh Janssen dan Johnson & Johnson menciptakan gangguan," kata Balkman. Janssen adalah divisi obat-obatan Janssen.
Balkman mengatakan, dalam mempromosikan obat-obatannya J&J menipu, mengatakan bahwa rasa sakit yang timbul dari mengkonsumsi produknya bukanlah tanda kecanduan, namun merupakan efek samping penggunaan.
"Para terdakwa menggunakan frasa 'pseudoaddiction' untuk meyakinkan dokter bahwa pasien yang menunjukkan tanda-tanda kecanduan ... tidak benar-benar menderita kecanduan, tetapi (efek) dari perawatan rasa sakit," katanya dalam keputusannya.
Dia juga mengatakan J&J secara sadar meremehkan risiko yang diketahuinya. Sebelumnya, perusahaan sejenis bernama Purdue Pharma, pernah diharuskan membayar denda senilai US$ 600 juta pada tahun 2007 karena masalah serupa.
Mengutip AFP, J&J mengatakan akan mengajukan banding atas keputusan tersebut.
"Janssen tidak menyebabkan krisis opioid di Oklahoma, dan baik fakta maupun hukum tidak mendukung hasil ini," kata wakil presiden eksekutif J&J Michael Ullmann.
"Keputusan hakim yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk membuat 'rencana pengurangan' negara memiliki konsekuensi besar bagi banyak industri dan tidak ada hubungannya dengan obat-obatan atau perilaku perusahaan," tambah J&J.
J&J berpendapat bahwa undang-undang tersebut diterapkan secara tidak tepat dan bahwa produk-produknya memiliki peran yang sangat kecil dalam epidemi kecanduan di Oklahoma dan secara nasional.
Sebagai perusahaan pembuat obat pertama yang diadili, kasus J&J dipandang sebagai penentu bagi ribuan kemungkinan tuntutan pidana dan perdata atas distribusi obat penghilang rasa sakit yang sangat tidak adiktif seperti oxycodone dan hydrocodone.
Krisis opioid telah memicu lebih dari 70.000 kematian overdosis pada tahun 2017 di AS.
(dob) Next Article Johnson & Johnson Tarik Bedak dari Pasar Karena Kandung Asbes
Most Popular