
Ada Apa dengan Pengembangan Panas Bumi di RI?
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
15 August 2019 11:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahukah Anda? Indonesia ternyata memiliki 29.000 MW potensi panas bumi atau sebesar 29 GW. Tetapi, setelah puluhan tahun, baru sekitar 2.000 MW yang termanfaatkan.
Hal itu pun menjadi sorotan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia sempat 'menyentil' kondisi tersebut dengan mengatakan, "Semuanya sudah puluhan tahun, jadi kalau kita bisa mengatakan, walaupun sudah tujuh konferensi, ini kemajuannya lambat sekali. Tujuh kali bikin pameran, hasilnya baru 2.000 MW, (padahal) 30 tahun pengalaman," kata JK dalam acara 7th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition di Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuturkan, dalam 15 tahun terakhir sebenarnya pemerintah mencoba meningkatkan realisasi utilitas panas bumi. Namun, yang disayangkan, dalam tiga tahun terakhir proyek-proyek PLTP baru yang masuk lajunya melambat.
"Padahal kalau kita lihat, PGE (Pertamina Geothermal Energy) punya wilayah kerja panas bumi yang paling besar. Lalu yang lain juga kita lihat sejumlah proyek swasta mengalami penundaan, karena ketidakpastian kebijakan," ujar Fabby, kemarin.
Pasalnya, lanjut dia, butuh waktu panjang untuk perusahaan mulai melakukan eksplorasi. Tetapi karena ketidakpastian kebijakan, ketika mereka akan lakukan eksplorasi dan melihat keekonomian proyek, dan kemudian regulasinya berubah, mau tidak mau harus melakukan penghitungan lagi.
"Kemudian tarifnya tidak masuk dalam hitungan biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkit. Begitu tidak masuk, tentunya lapangan ini tidak bisa dikembangkan dari tahap eksplorasi ke ekploitasi. Ini yang membuat dari sisi projects pipeline untuk panas bumi lebih rendah dalam tiga tahun terakhir," jelas Fahmy.
Kendati demikian, menanggapi hal ini, Direktur Hulu PT Pertamina (Persero) Dharmawan Samsu menegaskan, Pertamina sedang bersiap untuk melaksanakan transisi energi. Pertamina, lanjutnya, sudah punya basis di energi terbarukan, salah satunya panas bumi.
Dharmawan menyebutkan, ada lima pilar yang menjadi patokan perusahaan dalam upaya memperkuat energi terbarukan, yakni panas bumi, biofuel, green refineries, geo-source atau sumber-sumber energi lain selain panas bumi yang berasal dari alam, dan baterai & kendaraan listrik.
Di sisi lain, PGE hadir dalam 94% kapasitas terpasang di Wilayah Kerja Geothermal Indonesia, dengan 32% operasi sendiri & 62% Joint Operations Contract (JOC).
Direktur Utama PGE Ali Mundakir menjelaskan, saat ini sudah ada 617 MW kapasitas terpasang PLTP, dan akan bertambah 55 MW dengan beroperasinya (COD) PLTP Lumut Balai pada September 2019 ini.
Ali mengatakan, COD tahun ini merupakan unit yang pertama dengan kapasitas sebesar 55 MW. Di 2020, kata Ali, akan ada COD untuk unit kedua sebesar 55 MW. Sehingga total kapasitas PLTP Lumut Balai sebesar 2x55 MW atau 110 MW.
"Biasanya antara unit satu dan unit dua jedanya enam bulan," kata Ali.
Adapun, pembangkit listrik milik PGE yang saat ini telah beroperasi yakni PLTP Kamojang di Jawa Barat berkapasitas 235 MW, PLTP Lahendong di Sulawesi Utara 120 MW, PLTP Ulubelu di Lampung 220 MW, PLTP Sibayak di Sumatra Utara 12 MW, dan PLTP Karaha di Jawa Barat 30 MW.
Di samping itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga menargetkan tiga pembangkit panas bumi berkapasitas total 185 MW akan beroperasi komersial pada 2019. Tiga pembangkit tersebut tersebut yakni PLTP Muaralaboh Unit I berkapasitas 80 MW, PLTP Sorik Merapi Unit I berkapasitas 45 MW, dan PLTP Sokoria Unit I berkapasitas 5 MW.
Hingga saat ini, pemanfaatan kapasitas total terpasang energi panas bumi di Indonesia adalah sebesar 1.948,5 MW. Sementara itu pemerintah melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah menetapkan target pengembangan Panas Bumi sebesar 7.242 MW pada 2025.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) FX Sutijastoto menyebutkan, panas bumi mempunyai peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemerintah telah menargetkan pada 2025 mendatang kapasitas pembangkit listrik panas bumi bisa mencapai 6.000-7.000 MW.
Toto menjelaskan, apabila dihitung menurut energinya kalorinya, setara dengan membakar 100.000 barel minyak per hari. Artinya, kalau target panas buminya tidak mencapai 6.000-7.000 MW kita harus mengimpor atau membakar minyak 100.000 barel minyak per hari.
Sumber energi panas bumi, lanjutnya, terbukti lebih ramah lingkungan karena emisi yang dihasilkan hanya 1/15 dari emisi pembangkit listrik tenaga uap yang bahan bakarnya batubara, atau 1/10 nya emisi dari pembangkit listrik genset-genset yang bahan bakarnya dari solar.
"Panas bumi ini energi bersih, panas bumi itu mengandung biaya-biaya lingkungan yang ditanggung oleh panas bumi sebaliknya pembangkit batubara dan solar menanggung biaya lingkungan yang ditanggung masyarakat," pungkas Toto.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Pertamina Beberkan Tantangan Garap 'Harta Karun' Top 2 Dunia
Hal itu pun menjadi sorotan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia sempat 'menyentil' kondisi tersebut dengan mengatakan, "Semuanya sudah puluhan tahun, jadi kalau kita bisa mengatakan, walaupun sudah tujuh konferensi, ini kemajuannya lambat sekali. Tujuh kali bikin pameran, hasilnya baru 2.000 MW, (padahal) 30 tahun pengalaman," kata JK dalam acara 7th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition di Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuturkan, dalam 15 tahun terakhir sebenarnya pemerintah mencoba meningkatkan realisasi utilitas panas bumi. Namun, yang disayangkan, dalam tiga tahun terakhir proyek-proyek PLTP baru yang masuk lajunya melambat.
Pasalnya, lanjut dia, butuh waktu panjang untuk perusahaan mulai melakukan eksplorasi. Tetapi karena ketidakpastian kebijakan, ketika mereka akan lakukan eksplorasi dan melihat keekonomian proyek, dan kemudian regulasinya berubah, mau tidak mau harus melakukan penghitungan lagi.
"Kemudian tarifnya tidak masuk dalam hitungan biaya pokok penyediaan (BPP) pembangkit. Begitu tidak masuk, tentunya lapangan ini tidak bisa dikembangkan dari tahap eksplorasi ke ekploitasi. Ini yang membuat dari sisi projects pipeline untuk panas bumi lebih rendah dalam tiga tahun terakhir," jelas Fahmy.
Kendati demikian, menanggapi hal ini, Direktur Hulu PT Pertamina (Persero) Dharmawan Samsu menegaskan, Pertamina sedang bersiap untuk melaksanakan transisi energi. Pertamina, lanjutnya, sudah punya basis di energi terbarukan, salah satunya panas bumi.
Dharmawan menyebutkan, ada lima pilar yang menjadi patokan perusahaan dalam upaya memperkuat energi terbarukan, yakni panas bumi, biofuel, green refineries, geo-source atau sumber-sumber energi lain selain panas bumi yang berasal dari alam, dan baterai & kendaraan listrik.
Di sisi lain, PGE hadir dalam 94% kapasitas terpasang di Wilayah Kerja Geothermal Indonesia, dengan 32% operasi sendiri & 62% Joint Operations Contract (JOC).
Direktur Utama PGE Ali Mundakir menjelaskan, saat ini sudah ada 617 MW kapasitas terpasang PLTP, dan akan bertambah 55 MW dengan beroperasinya (COD) PLTP Lumut Balai pada September 2019 ini.
Ali mengatakan, COD tahun ini merupakan unit yang pertama dengan kapasitas sebesar 55 MW. Di 2020, kata Ali, akan ada COD untuk unit kedua sebesar 55 MW. Sehingga total kapasitas PLTP Lumut Balai sebesar 2x55 MW atau 110 MW.
"Biasanya antara unit satu dan unit dua jedanya enam bulan," kata Ali.
Adapun, pembangkit listrik milik PGE yang saat ini telah beroperasi yakni PLTP Kamojang di Jawa Barat berkapasitas 235 MW, PLTP Lahendong di Sulawesi Utara 120 MW, PLTP Ulubelu di Lampung 220 MW, PLTP Sibayak di Sumatra Utara 12 MW, dan PLTP Karaha di Jawa Barat 30 MW.
Di samping itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga menargetkan tiga pembangkit panas bumi berkapasitas total 185 MW akan beroperasi komersial pada 2019. Tiga pembangkit tersebut tersebut yakni PLTP Muaralaboh Unit I berkapasitas 80 MW, PLTP Sorik Merapi Unit I berkapasitas 45 MW, dan PLTP Sokoria Unit I berkapasitas 5 MW.
Hingga saat ini, pemanfaatan kapasitas total terpasang energi panas bumi di Indonesia adalah sebesar 1.948,5 MW. Sementara itu pemerintah melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah menetapkan target pengembangan Panas Bumi sebesar 7.242 MW pada 2025.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) FX Sutijastoto menyebutkan, panas bumi mempunyai peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemerintah telah menargetkan pada 2025 mendatang kapasitas pembangkit listrik panas bumi bisa mencapai 6.000-7.000 MW.
Toto menjelaskan, apabila dihitung menurut energinya kalorinya, setara dengan membakar 100.000 barel minyak per hari. Artinya, kalau target panas buminya tidak mencapai 6.000-7.000 MW kita harus mengimpor atau membakar minyak 100.000 barel minyak per hari.
Sumber energi panas bumi, lanjutnya, terbukti lebih ramah lingkungan karena emisi yang dihasilkan hanya 1/15 dari emisi pembangkit listrik tenaga uap yang bahan bakarnya batubara, atau 1/10 nya emisi dari pembangkit listrik genset-genset yang bahan bakarnya dari solar.
"Panas bumi ini energi bersih, panas bumi itu mengandung biaya-biaya lingkungan yang ditanggung oleh panas bumi sebaliknya pembangkit batubara dan solar menanggung biaya lingkungan yang ditanggung masyarakat," pungkas Toto.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Pertamina Beberkan Tantangan Garap 'Harta Karun' Top 2 Dunia
Most Popular