JK Sebut Energi Baru RI Lambat, Ini Progress Sebenarnya

Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
13 August 2019 15:56
Porsi pengembangan energi baru dan terbarukan Indonesia tak beranjak jauh dari angka 12% sejak bertahun-tahun
Foto: Dok. ESDM
Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengkritik soal pengembangan pembangkit listrik berbahan bakar energi baru dan terbarukan (EBT) yang dinilai lambat di Indonesia. 

Ia memberi contoh dengan proyek PLTP di Indonesia yang mulainya sudah puluhan tahun, tapi kapasitas terpasangnya sampai saat ini masih sedikit. Bahkan ada PLTP yang dalam perjalanannya butuh proses sampai 20 tahun lebih sejak pertama digagas hingga beroperasi, seperti PLTP Sarulla. 



Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM FX Sutijastoto menjelaskan, kebijakan energi butuh kesetaraan energi (energy equity), ini berbeda dengan negara maju yang pendapatan per kapitanya sudah tinggi. 

"Karena teknologi baru. Kita dininabobokan dengan BBM, akibatnya waktu kita beralih, mindset-nya (pola pikir) akan susah," ujar Toto dalam gelaran 7th Indonesia International Geothermal Converence & Exhibition, di Jakarta, Selasa (13/8/2019).

Lebih lanjut, ia mengatakan, pemerintah akan menyiapkan insentif-insentif untuk menggenjot pengembangan pembangkit EBT. Contohnya terkait harga pembangkit panas bumi yang kompetitif. Banyak terobosan yang dilakukan. Misalnya, untuk panas bumi, membangun infrastrukturnya dimungkinkan biayanya direimburse pemerintah.

"Misalnya PLTP Poso membangun sekitar 200 km transmisi, ini dibiayai dulu oleh developer tapi nanti direimburse oleh pemerintah. Ini upaya kami," pungkasnya.

Adapun, berdasarkan data Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, sampai dengan 2018 realisasi porsi EBT dalam bauran energi masih berkutat di 12,4% saja. Angka ini tak bergerak banyak meski sudah bertahun-tahun.

Lebih rinci, hingga Mei 2019, persentase pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang beroperasi mencapai 7,61%. Selanjutnya, secara berturut-turut, porsi pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) mencapai 4,95%, pembangkit listrik tenaga diesel 0,59%, serta EBT lainnya seperti surya, angin, dan biomassa 0,27%.

Sedangkan, bauran energi batu bara untuk pembangkitan adalah sebesar 60,5%, menyusul gas bumi 22,1%, BBM dan BBN 5%.

Di sisi lain, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menuturkan, untuk mencapai target bauran energi 23% di 2025 ada tiga hal yang perlu dilakukan. Dari pemerintah, lanjutnya, ada tiga poin penting yang dibutuhkan, pertama kedisiplinan pemikiran, manusia, dan tindakan.

"Kalau kita punya itu, kita tidak perlu hirarki, birokrasi, dan micromanage. Jadi suatu saat nanti kita idamkan, mimpikan birokrasi yang sederhana, sehingga pengurusan izin-izin yang dirasakan panjang dan lama selama ini, bisa kita pangkas secepatnya," tutur Arcandra.

Ditemui pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Prijandaru Effendi menambahkan, untuk mencapai target porsi EBT dalam bauran energi sebesar 23% pada 2025, pasokan  listrik dari energi panas bumi harus mencapi 7.500 MW. Saat ini, Indonesia masih kekurangan pasokan listrik dari panas bumi sebesar 5000 MW untuk mencapai target. 

"Untuk bisa mencapai 23% EBT, panas bumi harus jadi 7.200 MW," kata Prijandaru ketika dijumpai di kesempatan yang sama.

Dia melanjutkan, saat ini pasokan listrik dari panas bumi baru mencapai 1.945 MW, sedangkan tahun ini pasokan listrik dari panas bumi ditargetkan mencapai 2.533 MW, bertambah 185 MW dari pengoperasian beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).

"Tahun ini ada tambahan 185 MW yang akan dihasilkan dari Muara Labouh, Lumut Balai, Sorik Merapi, dan Sokoria. Tahun ini jadi 2.533 MW, saat ini 1948,5 MW. masih butuh 5 ribu MW dalam 5 tahun," pungkasnya.



[Gambas:Video CNBC]


(gus/gus) Next Article JK: Ekonomi 2021 Tak Bisa Dibilang On The Track!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular