
Ekspor Hingga Manufaktur RI Vs Vietnam, Siapa Pemenang?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 August 2019 15:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia dihadapkan dengan kondisi yang sedang sulit, di eksternal dihajar pada riisiko dampak perang dagang AS-China, di internal masalah defisit transaksi berjalan atau CAD masih menggelayuti. Sedangkan negara lain macam Vietnam punya kinerja yang ciamik di atas kertas untuk manufaktur hingga kinerja ekspor. Indonesia perlu menengok capaian Vietnam, terutama di bidang manufaktur.
Bank Indonesia (BI) melaporkan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019 mengalami defisit sebesar US$ 1,98 miliar. Pada kuartal II-2019, defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) menembus level 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), tepatnya 3,04%. Padahal pada kuartal I-2019, CAD hanya berada di level 2,6%. Secara nominal, CAD pada kuartal II-2019 adalah senilai US$ 8,44 miliar.
CAD pada kuartal II-2019 juga lebih dalam ketimbang CAD pada periode yang sama tahun lalu (kuartal-II 2018) yang sebesar 3,01% dari PDB.
BI menyebut pembengkakan CAD tersebut dipengaruhi beberapa faktor seperti, repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri, dampak perlambatan ekonomi dunia, dan harga komoditas yang berguguran.
Harga batu bara dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dua komoditas ekspor andalan Indonesia memang tidak sedang bagus. Harga batu bara sepanjang semester I-2019 anjlok hampir 40%, sementara harga CPO turun 7,5%.
Jika dilihat harga rata-rata dua komoditas ini juga menunjukkan penurunan. Rata-rata harga batu bara di enam bulan pertama tahun ini turun 13,7%, dibandingkan harga rata-rata semester I-2018. Pada periode yang sama harga CPO lebih rendah 4,8%.
Berdasarkan laporan BI, dua komoditas tersebut memiliki pangsa ekspor sebesar 25%, dengan harga yang tidak bersahabat, maka sudah sepantasnya mengalihkan fokus ekspor ke sektor manufaktur yang memiliki nilai tambah lebih tinggi.
Untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, ekspor tidak bisa lagi mengandalkan komoditas barang mentah.
Pembengkakan CAD terjadi karena ada penurunan kinerja pada hampir semua pos transaksi di dalamnya, seperti transaksi barang, transaksi jasa, dan pendapatan primer. Sementara pos pendapatan sekunder mengalami perbaikan kinerja.
Dari sektor transaksi barang memang masih mencatat surplus sebesar US$ 187 juta, tetapi mengalami penurunan dari surplus US$ US$ 277 juta di kuartal II-2018. Penurunan ekspor-impor ini terjadi akibat harga-harga komoditas yang mengalami penurunan.
Berdasarkan rilis BI, ekspor produk primer secara riil mengalami kontraksi 3,8% year-on-year (Y0Y) di kuartal II sementara produk manufaktur kontraksinya lebih besar lagi sebesar 5% YoY.
Dengan kondisi harga-harga komoditas yang sedang tidak stabil, sektor manufaktur seharusnya bisa digenjot untuk mendongkrak ekspor. Namun apa daya, sektor pengolahan ini masih belum bisa berbicara banyak, bahkan kondisinya semakin memburuk.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Bank Indonesia (BI) melaporkan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019 mengalami defisit sebesar US$ 1,98 miliar. Pada kuartal II-2019, defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) menembus level 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), tepatnya 3,04%. Padahal pada kuartal I-2019, CAD hanya berada di level 2,6%. Secara nominal, CAD pada kuartal II-2019 adalah senilai US$ 8,44 miliar.
CAD pada kuartal II-2019 juga lebih dalam ketimbang CAD pada periode yang sama tahun lalu (kuartal-II 2018) yang sebesar 3,01% dari PDB.
BI menyebut pembengkakan CAD tersebut dipengaruhi beberapa faktor seperti, repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri, dampak perlambatan ekonomi dunia, dan harga komoditas yang berguguran.
Harga batu bara dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dua komoditas ekspor andalan Indonesia memang tidak sedang bagus. Harga batu bara sepanjang semester I-2019 anjlok hampir 40%, sementara harga CPO turun 7,5%.
Jika dilihat harga rata-rata dua komoditas ini juga menunjukkan penurunan. Rata-rata harga batu bara di enam bulan pertama tahun ini turun 13,7%, dibandingkan harga rata-rata semester I-2018. Pada periode yang sama harga CPO lebih rendah 4,8%.
Berdasarkan laporan BI, dua komoditas tersebut memiliki pangsa ekspor sebesar 25%, dengan harga yang tidak bersahabat, maka sudah sepantasnya mengalihkan fokus ekspor ke sektor manufaktur yang memiliki nilai tambah lebih tinggi.
Untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, ekspor tidak bisa lagi mengandalkan komoditas barang mentah.
Pembengkakan CAD terjadi karena ada penurunan kinerja pada hampir semua pos transaksi di dalamnya, seperti transaksi barang, transaksi jasa, dan pendapatan primer. Sementara pos pendapatan sekunder mengalami perbaikan kinerja.
Dari sektor transaksi barang memang masih mencatat surplus sebesar US$ 187 juta, tetapi mengalami penurunan dari surplus US$ US$ 277 juta di kuartal II-2018. Penurunan ekspor-impor ini terjadi akibat harga-harga komoditas yang mengalami penurunan.
Berdasarkan rilis BI, ekspor produk primer secara riil mengalami kontraksi 3,8% year-on-year (Y0Y) di kuartal II sementara produk manufaktur kontraksinya lebih besar lagi sebesar 5% YoY.
Dengan kondisi harga-harga komoditas yang sedang tidak stabil, sektor manufaktur seharusnya bisa digenjot untuk mendongkrak ekspor. Namun apa daya, sektor pengolahan ini masih belum bisa berbicara banyak, bahkan kondisinya semakin memburuk.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Indonesia Perlu Belajar Dari Vietnam
Pages
Most Popular