
Pak Jokowi, Cuma Keajaiban Bisa Bawa Ekonomi RI Tumbuh 7%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 August 2019 06:20

Jakarta, CNBC Indonesia - 7%. Ya, 7% adalah target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Joko Widodo (Jokowi) kala berkompetisi melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam gelaran pemilihan presiden (Pilpres) 2014.
Nyaris tuntas periode pertamanya sebagai pemimpin tertinggi di negara ini, tak ada ceritanya janji manis itu terealisasi. Tak usahlah kita berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%, wong keluar dari batas bawah 5% saja kita tidak bisa.
Melansir data Refinitiv, pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi justru longsor ke angka 4,79%. Selepas itu, pertumbuhan ekonomi selalu nyaman berada di batas bawah 5%.
Teranyar, pada hari Senin (5/8/2019) Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019. Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27%. Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.
Oh ya, pertumbuhan ekonomi di era Jokowi juga kerap kali berada di bawah target yang dicanangkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) yang jauh lebih konservatif ketimbang janji manisnya kala berkampanye yang sebesar 7%.
Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN. Pemerintah kemudian seakan meyombongkan diri dengan menaikkan targetnya menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target pertumbuhan ekonomi dalam APBNP justru diturunkan. Realisasinya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07% pada tahun 2017.
Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.
Baca:
Belum Yakin Ekonomi Indonesia Loyo? Ini Buktinya
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini sudah begitu skeptis dalam memandang perekonomian Indonesia. Beberapa sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Ya, di bawah 5% seperti yang terjadi pada tahun 2015 silam.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Perekonomian Global Melambat? Silakan Dicerna Dulu
Banyak pihak mengatakan: “Ah, perekonomian global kan sedang melambat, wajar dong kalau Jokowi kesulitan merealisasikan janjinya.”
Tunggu dulu, siapa bilang perekonomian global selalu melambat di era kepemimpinan Jokowi?
Pada tahun 2015, International Monetary Fund (IMF) mencatat bahwa perekonomian global tumbuh sebesar 3,44%, melambat dibandingkan pertumbuhan tahun 2014 yang sebesar 3,577%. Pada tahun 2016, perekonomian global kembali tumbuh melambat, yakni menjadi 3,372%. Namun pada tahun 2017, pertumbuhan ekonomi global melonjak menjadi 3,789%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2011.
Jika dihitung, pertumbuhan ekonomi global dari tahun 2016 ke tahun 2017 mengalami lonjakan sebesar 0,42 persentase poin. Di sisi lain, tambahan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam periode yang sama (2016 ke 2017) hanya sebesar 0,05 persentase poin. Terlihat jelas bahwa perekonomian Indonesia tak bisa memanfaatkan momentum yang ada.
“Tapi kan, pertumbuhan ekonomi sebesar 5% sudah terbilang tinggi?”
Kalau dibilang pertumbuhan ekonomi di batas bawah 5% yang dicatatkan pemerintahan Jokowi tinggi, sebenarnya tidak juga. Negara-negara tetangga (yang sama-sama masuk kategori negara berkembang) ada yang perekonomiannya tumbuh lebih kencang ketimbang Indonesia.
Karena angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019 dari negara-negara tetangga kebanyakan belum dirilis, maka data periode kuartal I-2019 digunakan. Hasilnya perekonomian China tercatat tumbuh hingga 6,4% secara tahunan, jauh di atas Indonesia. Kemudian, masih pada kuartal-I 2019, perekonomian India dan Filipina juga tercatat melaju lebih pesat ketimbang Indonesia.
“Kenapa sih pertumbuhan ekonomi Indonesia harus tinggi?”
Jawabannya: kesejahteraan masyarakat. Kala perekonomian tumbuh dengan pesat, penciptaan lapangan pekerjaan akan tumbuh dengan pesat pula sehingga pengangguran menjadi lebih mudah diberantas. Selain itu, upaya pengentasan kemiskinan juga akan lebih mudah dilakukan.
Berbicara mengenai pengangguran, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dari beberapa negara di kawasan Asia yang kami kumpulkan datanya, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi ketiga.
Berbicara mengenai kemiskinan, pemerintahan Jokowi seringkali mengumbar keberhasilannya dalam menekan tingkat kemiskinan ke level satu digit. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan per Maret 2018 tercatat sebesar 9,82%, menandai kali pertama di sepanjang sejarah Indonesia di mana tingkat kemiskinan berada di bawah angka 10%. Per Maret 2019, tingkat kemiskinan kembali turun menjadi 9,41%.
Namun, acuan garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS perlu disoroti. Data terbaru (Maret 2019), BPS menggunakan acuan garis kemiskinan senilai Rp 423.250/bulan. Ini artinya, masyarakat yang memiliki penghasilan di bawah itu dimasukkan dalam golongan masyarakat miskin.
Dari garis tersebut, ada dua klasifikasi, yakni Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM).
Untuk GKM, BPS mematok besaran sebesar Rp 313.232/bulan, yang artinya Rp 10.441/hari (asumsi satu bulan = 30 hari). Acuan ukuran GKM adalah kebutuhan kalori satu hari per orang sebesar 2.100 kcal.
Baca:
Pak Jokowi, Sepertinya Ada yang Salah Dengan Angka Kemiskinan
Mari kita hitung dengan beras saja yang merupakan makanan pokok sebagian besar masyakat Indonesia dan memiliki nilai kalori besar. Mengutip data Kementerian Pertanian Amerika Serikat (U.S. Department of Agriculture/USDA), dalam 100 gram beras terdapat 130 kcal. Artinya untuk memenuhi 2.100 kcal setiap harinya, setiap orang perlu makan 1.615 gram beras (1,6 kg).
Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga rata-rata nasional untuk 1 kg beras kualitas bawah pada bulan Maret 2019 adalah Rp 10.768. Beras tersebut sudah merupakan yang paling murah. Dengan demikian untuk mencukupi kebutuhan kalori 2.100 kcal, setiap orang setidaknya perlu merogoh kocek sebesar Rp 17.228 (untuk beli beras 1,6 kg) setiap hari.
Dengan asumsi hanya makan nasi saja, masyarakat dengan kategori miskin berdasarkan standar BPS masih tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan kalorinya.
Jadi, pantaskah garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS?
BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Infrastruktur Sudah Digenjot Mati-Matian Jokowi memang tak diam saja. Ada upaya dari mantan Wali Kota Solo tersebut dalam mencoba mewujudkan angan-angan pertumbuhan ekonomi 7%.
Semenjak mengambil tampuk kepemimpinan dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2014 silam, Jokowi rajin menggenjot pembangunan infrastruktur. Hal ini terlihat jelas dari alokasi dana dalam APBN/APBNP untuk bidang infrastruktur yang terus menggelembung di era kepemimpinannya.
Pada tahun 2014, pemerintah mengalokasikan anggaran senilai Rp 154,7 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Ingat, anggaran untuk tahun 2014 masih disusun oleh SBY dan bukan Jokowi lantaran Jokowi baru menjabat pada bulan Oktober atau hanya beberapa bulan sebelum tutup tahun.
Pada tahun 2015 kala anggaran sudah disusun oleh Jokowi, alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur melejit hingga 65,5% menjadi Rp 256,1 triliun. Pada tahun-tahun berikutnya, anggaran pembangunan infrastruktur terus meningkat.
Selain anggarannya yang besar, pembangunan infrastruktur yang dieksekusi Jokowi juga terbukti tak Jawa-sentris.
Baca:
Layakkah Jokowi Disebut Bapak Infrastruktur?
Terhitung selama SBY menjabat sebagai presiden selama 10 tahun (2005-2014), total infrastruktur yang dibangun menggunakan dana pemerintah pusat adalah senilai Rp 343,7 triliun. Sementara itu, dalam tiga tahun pertama kepemimpinan Jokowi (2015-2017), dana yang dikeluarkan sudah mencapai Rp 235,5 triliun atau setara dengan 69% dari yang dicatatkan SBY selama 10 tahun.
Sebagai catatan, tahun 2004 tak dihitung masuk periode SBY karena dirinya baru menjabat presiden pada Oktober atau kurang dari tiga bulan sebelum tutup tahun. Hal yang sama juga berlaku untuk Jokowi, tahun 2014 tak dimasukkan.
Dari total infrastruktur yang dibangun dengan dana pemerintah pusat di zaman SBY senilai Rp 343,7 triliun, sebanyak Rp 169,2 triliun atau setara dengan 49,2% dialokasikan untuk Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Tak ayal jika pembangunan zaman SBY sering disebut sebagai Jawa-sentris.
Alokasi dana ke provinsi DKI Jakarta merupakan yang paling besar di zaman SBY, yakni senilai Rp 85,2 triliun atau setara dengan 24,8%.
Beralih ke zaman Jokowi, terlihat pemerintah sudah tak lagi Jawa-sentris. Sepanjang 2015-2017, pemerintah pusat hanya mengalokasikan 33,8% anggaran untuk membangun infrastruktur di DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sementara sisanya (Rp 156 triliun atau 66,2%) dialokasikan ke provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Dalam tiga tahun, anggaran pemerintah pusat untuk membangun infrastruktur di provinsi DKI Jakarta adalah Rp 38,4 triliun atau setara dengan 16,3% saja, jauh lebih rendah dibandingkan SBY yang mengalokasikan dana sebesar nyaris 25% untuk ‘memanjakan’ ibu kota.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Deindustrialisasi & Lesunya Penanaman Modal Asing Jadi Masalah Utama Namun memang, untuk membangun sebuah perekonomian, apalagi mendorongnya untuk tumbuh hingga 7%, membangun infrastruktur saja tak cukup.
Salah satu permasalahan utama Indonesia adalah deindustrialisasi. Di era kepemimpinan Jokowi, sektor manufaktur (industri pengolahan) terus saja tumbuh melambat.
Untuk diketahui, sektor manufaktur merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) masih yang terbesar, yaitu sekitar 20% (per tahun 2018).
Namun, tulang punggung ini seakan terserang osteoporosis, begitu rapuh, begitu renta, dan daya topangnya semakin menurun. Pada tahun 2018, kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan PDB hanya tersisa 19,86%. Padahal pada tahun 2014, kontribusinya mencapai 21,02%. Kalau ditarik lebih jauh ke tahun 2010, terlihat bahwa penurunan kontribusi sektor manufaktur semakin dalam. Pada tahun 2010, sektor manufaktur menyumbang sebesar 22,04% terhadap pembentukan PDB.
Dari tahun ke tahun pertumbuhan sektor manufaktur bisa dibilang miris. Sudah cukup lama laju pertumbuhan sektor manufaktur selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi secara umum.
Baca:
Ya Ampun Pak Jokowi, Industri Manufaktur Kok Makin Kacau?
Pada tahun 2011, sektor manufaktur membukukan pertumbuhan sebesar 6,26%, mengalahkan pertumbuhan ekonomi saat itu yang hanya sebesar 6,17%. Namun selepas itu, tak pernah lagi ada ceritanya pertumbuhan sektor manufaktur bisa mengungguli pertumbuhan ekonomi. Teranyar pada semester I-2019, sektor manufaktur tercatat hanya tumbuh sebesar 3,7% jika dibandingkan dengan semester I-2018, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,06%.
Akibat lambatnya pertumbuhan sektor manufaktur di Indonesia, serapan tenaga kerjanya juga menjadi kurang maksimal. Memang, jika melihat pertumbuhan serapan tenaga kerja sektor manufaktur, angkanya terbilang menggembirakan dalam dua tahun terakhir, terlepas dari pertumbuhan sektor manufaktur itu sendiri yang lemah.
Namun, kalau saja pertumbuhan sektor manufaktur tak lemah, maka serapan tenaga kerjanya tentu bisa lebih kencang lagi. Hal ini penting, mengingat sektor manufaktur berkontribusi 14,7% dari total lapangan kerja di Indonesia (per tahun 2018), terbesar ketiga di bawah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (28,8%) dan perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil, dan sepeda motor (18,6%).
Guna memberantas tingkat pengangguran di Indonesia yang merupakan salah satu yang tertinggi di Asia, wajib hukumnya pemerintah menggenjot penciptaan lapangan kerja di sektor manufaktur yang sudah terbukti menjadi tulang punggung bagi bangsa ini di bidang penyediaan lapangan kerja.
Selain karena deindustrialisasi, masalah lesunya penanaman modal asing juga menghambat laju perekonomian Indonesia di era kepemimpinan Jokowi.
Kalau berbicara mengenai tarik-menarik dana asing di pasar modal, Indonesia bisa dibilang jago. Melansir data yang dipublikasikan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), per Juli 2019 pemodal asing tercatat memiliki 44,9% dari saham yang tercatat di KSEI.
Di pasar obligasi, melansir data yang dipublikasikan Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, per 2 Agustus 2019, investor asing menguasai senilai Rp 1.019,36 triliun dari total obligasi pemerintah Indonesia yang dapat diperdagangkan atau setara dengan 39,33%.
Tapi, kalau berbicara mengenai investasi riil (membangun pabrik), ceritanya menjadi berbeda. Jika berbicara mengenai investasi riil, yang terpenting bagi Indonesia adalah memang penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment, bukan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment.
Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.
Celakanya, pertumbuhan realisasi PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, realisasi PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%. Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%.
Kalau dilihat kinerjanya secara kuartalan, selama empat kuartal beruntun (sejak kuartal II-2018 hingga kuartal I-2019) realisasi PMA membukukan kontraksi secara tahunan. Barulah pada kuartal II-2019 PMA bisa mencetak pertumbuhan, yakni sebesar 9,61%.
Namun, pertumbuhan realisasi PMA pada tiga bulan kedua tahun ini perlu diwaspadai. Pasalnya, salah satu penyebab kenaikan realisasi PMA pada kuartal II-2019 adalah low-base effect.
Baca:
Realisasi Penanaman Modal Asing yang Memang Tumbuh, Tapi.....
Realisasi PMA pada kuartal II-2018 terbilang rendah sehingga tak sulit untuk membukukan pertumbuhan pada kuartal II-2019. Pada kuartal II-2018, realisasi PMA tercatat senilai Rp 95,7 triliun. Realisasi PMA tersebut merupakan realisasi PMA kuartal II terendah sejak tahun 2015.
BERLANJUT KE HALAMAN 5 -> Demi Indonesia yang Lebih Maju & Beradab Kini, berbagai hal yang menjadi penyebab sektor manufaktur dan realisasi PMA lesu perlu segera dibenahi. Jangan lagi ada main aman. Toh, Jokowi sendiri yang mengatakan bahwa dirinya siap mengambil kebijakan gila lantaran tak memiliki beban apapun di periode keduanya.
"Saya dalam lima tahun ke depan insyaallah sudah tidak memiliki beban apa-apa. Jadi, keputusan yang gila, keputusan yang miring-miring, yang itu penting untuk negara ini akan kita kerjakan. Jadi, saya tidak memiliki beban apa-apa," kata Jokowi di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, pada bulan Juni silam.
Kebijakan-kebijakan spektakuler yang akan dengan signifikan dan cepat mendongkrak laju sektor manufaktur dan realisasi PMA harus segera dieksekusi. Perizinan yang berbelit-belit, pungutan liar (pungli), insentif fiskal yang kurang nendang, serta kebijakan maju-mundur yang acap kali kita lihat di periode satu Jokowi harus ditiadakan di periode dua.
Baca:
Pak Jokowi, Ini Sederet Cara Agar Investasi Tak Lagi Loyo
Artikel ini ditulis dengan impian bahwa Indonesia akan menjadi jauh lebih maju dan beradab dari saat ini. Impian bahwa tingkat pengangguran bisa ditekan ke kisaran 1% seperti yang ditorehkan oleh Thailand.
Impian bahwa tak ada lagi ibu-ibu yang meneteskan air mata hanya karena tak bisa membeli susu bubuk untuk nutrisi anaknya. Impian bahwa tak ada lagi anak-anak Indonesia yang menderita stunting. Impian bahwa tak perlu lagi ada seorang ayah yang bekerja belasan jam dalam sehari untuk sebatas menyediakan nasi dan lauk-pauk untuk keluarganya.
Impian bahwa produk manufaktur Indonesia (terutama yang bernilai tambah tinggi) bisa dinikmati masyarakat dunia. Impian bahwa akan ada Samsung, Apple, Sony, Honda, dan juga Yamaha asal Indonesia. Impian bahwa ketika nama Indonesia disebut di hadapan masyarakat asing, tak hanya Bali yang terlintas di benak mereka.
Impian bahwa sila kelima yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” itu benar adanya dan tak hanya sebatas kalimat yang diucapkan dengan lantang saat upacara kemerdekaan tanggal 17 Agustus.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Sikat 2 Tambang Asing & Aksi Hebat Bin Mantap Jokowi Lainnnya
Nyaris tuntas periode pertamanya sebagai pemimpin tertinggi di negara ini, tak ada ceritanya janji manis itu terealisasi. Tak usahlah kita berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%, wong keluar dari batas bawah 5% saja kita tidak bisa.
Melansir data Refinitiv, pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi justru longsor ke angka 4,79%. Selepas itu, pertumbuhan ekonomi selalu nyaman berada di batas bawah 5%.
Oh ya, pertumbuhan ekonomi di era Jokowi juga kerap kali berada di bawah target yang dicanangkan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) yang jauh lebih konservatif ketimbang janji manisnya kala berkampanye yang sebesar 7%.
Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN. Pemerintah kemudian seakan meyombongkan diri dengan menaikkan targetnya menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target pertumbuhan ekonomi dalam APBNP justru diturunkan. Realisasinya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07% pada tahun 2017.
Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.
Baca:
Belum Yakin Ekonomi Indonesia Loyo? Ini Buktinya
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini sudah begitu skeptis dalam memandang perekonomian Indonesia. Beberapa sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Ya, di bawah 5% seperti yang terjadi pada tahun 2015 silam.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Perekonomian Global Melambat? Silakan Dicerna Dulu
Banyak pihak mengatakan: “Ah, perekonomian global kan sedang melambat, wajar dong kalau Jokowi kesulitan merealisasikan janjinya.”
Tunggu dulu, siapa bilang perekonomian global selalu melambat di era kepemimpinan Jokowi?
Pada tahun 2015, International Monetary Fund (IMF) mencatat bahwa perekonomian global tumbuh sebesar 3,44%, melambat dibandingkan pertumbuhan tahun 2014 yang sebesar 3,577%. Pada tahun 2016, perekonomian global kembali tumbuh melambat, yakni menjadi 3,372%. Namun pada tahun 2017, pertumbuhan ekonomi global melonjak menjadi 3,789%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2011.
Jika dihitung, pertumbuhan ekonomi global dari tahun 2016 ke tahun 2017 mengalami lonjakan sebesar 0,42 persentase poin. Di sisi lain, tambahan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam periode yang sama (2016 ke 2017) hanya sebesar 0,05 persentase poin. Terlihat jelas bahwa perekonomian Indonesia tak bisa memanfaatkan momentum yang ada.
“Tapi kan, pertumbuhan ekonomi sebesar 5% sudah terbilang tinggi?”
Kalau dibilang pertumbuhan ekonomi di batas bawah 5% yang dicatatkan pemerintahan Jokowi tinggi, sebenarnya tidak juga. Negara-negara tetangga (yang sama-sama masuk kategori negara berkembang) ada yang perekonomiannya tumbuh lebih kencang ketimbang Indonesia.
Karena angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019 dari negara-negara tetangga kebanyakan belum dirilis, maka data periode kuartal I-2019 digunakan. Hasilnya perekonomian China tercatat tumbuh hingga 6,4% secara tahunan, jauh di atas Indonesia. Kemudian, masih pada kuartal-I 2019, perekonomian India dan Filipina juga tercatat melaju lebih pesat ketimbang Indonesia.
“Kenapa sih pertumbuhan ekonomi Indonesia harus tinggi?”
Jawabannya: kesejahteraan masyarakat. Kala perekonomian tumbuh dengan pesat, penciptaan lapangan pekerjaan akan tumbuh dengan pesat pula sehingga pengangguran menjadi lebih mudah diberantas. Selain itu, upaya pengentasan kemiskinan juga akan lebih mudah dilakukan.
Berbicara mengenai pengangguran, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dari beberapa negara di kawasan Asia yang kami kumpulkan datanya, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi ketiga.
Berbicara mengenai kemiskinan, pemerintahan Jokowi seringkali mengumbar keberhasilannya dalam menekan tingkat kemiskinan ke level satu digit. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan per Maret 2018 tercatat sebesar 9,82%, menandai kali pertama di sepanjang sejarah Indonesia di mana tingkat kemiskinan berada di bawah angka 10%. Per Maret 2019, tingkat kemiskinan kembali turun menjadi 9,41%.
Namun, acuan garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS perlu disoroti. Data terbaru (Maret 2019), BPS menggunakan acuan garis kemiskinan senilai Rp 423.250/bulan. Ini artinya, masyarakat yang memiliki penghasilan di bawah itu dimasukkan dalam golongan masyarakat miskin.
Dari garis tersebut, ada dua klasifikasi, yakni Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM).
Untuk GKM, BPS mematok besaran sebesar Rp 313.232/bulan, yang artinya Rp 10.441/hari (asumsi satu bulan = 30 hari). Acuan ukuran GKM adalah kebutuhan kalori satu hari per orang sebesar 2.100 kcal.
Baca:
Pak Jokowi, Sepertinya Ada yang Salah Dengan Angka Kemiskinan
Mari kita hitung dengan beras saja yang merupakan makanan pokok sebagian besar masyakat Indonesia dan memiliki nilai kalori besar. Mengutip data Kementerian Pertanian Amerika Serikat (U.S. Department of Agriculture/USDA), dalam 100 gram beras terdapat 130 kcal. Artinya untuk memenuhi 2.100 kcal setiap harinya, setiap orang perlu makan 1.615 gram beras (1,6 kg).
Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga rata-rata nasional untuk 1 kg beras kualitas bawah pada bulan Maret 2019 adalah Rp 10.768. Beras tersebut sudah merupakan yang paling murah. Dengan demikian untuk mencukupi kebutuhan kalori 2.100 kcal, setiap orang setidaknya perlu merogoh kocek sebesar Rp 17.228 (untuk beli beras 1,6 kg) setiap hari.
Dengan asumsi hanya makan nasi saja, masyarakat dengan kategori miskin berdasarkan standar BPS masih tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan kalorinya.
Jadi, pantaskah garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS?
BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Infrastruktur Sudah Digenjot Mati-Matian Jokowi memang tak diam saja. Ada upaya dari mantan Wali Kota Solo tersebut dalam mencoba mewujudkan angan-angan pertumbuhan ekonomi 7%.
Semenjak mengambil tampuk kepemimpinan dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2014 silam, Jokowi rajin menggenjot pembangunan infrastruktur. Hal ini terlihat jelas dari alokasi dana dalam APBN/APBNP untuk bidang infrastruktur yang terus menggelembung di era kepemimpinannya.
Pada tahun 2014, pemerintah mengalokasikan anggaran senilai Rp 154,7 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Ingat, anggaran untuk tahun 2014 masih disusun oleh SBY dan bukan Jokowi lantaran Jokowi baru menjabat pada bulan Oktober atau hanya beberapa bulan sebelum tutup tahun.
Pada tahun 2015 kala anggaran sudah disusun oleh Jokowi, alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur melejit hingga 65,5% menjadi Rp 256,1 triliun. Pada tahun-tahun berikutnya, anggaran pembangunan infrastruktur terus meningkat.
Selain anggarannya yang besar, pembangunan infrastruktur yang dieksekusi Jokowi juga terbukti tak Jawa-sentris.
Baca:
Layakkah Jokowi Disebut Bapak Infrastruktur?
Terhitung selama SBY menjabat sebagai presiden selama 10 tahun (2005-2014), total infrastruktur yang dibangun menggunakan dana pemerintah pusat adalah senilai Rp 343,7 triliun. Sementara itu, dalam tiga tahun pertama kepemimpinan Jokowi (2015-2017), dana yang dikeluarkan sudah mencapai Rp 235,5 triliun atau setara dengan 69% dari yang dicatatkan SBY selama 10 tahun.
Sebagai catatan, tahun 2004 tak dihitung masuk periode SBY karena dirinya baru menjabat presiden pada Oktober atau kurang dari tiga bulan sebelum tutup tahun. Hal yang sama juga berlaku untuk Jokowi, tahun 2014 tak dimasukkan.
Dari total infrastruktur yang dibangun dengan dana pemerintah pusat di zaman SBY senilai Rp 343,7 triliun, sebanyak Rp 169,2 triliun atau setara dengan 49,2% dialokasikan untuk Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Tak ayal jika pembangunan zaman SBY sering disebut sebagai Jawa-sentris.
Alokasi dana ke provinsi DKI Jakarta merupakan yang paling besar di zaman SBY, yakni senilai Rp 85,2 triliun atau setara dengan 24,8%.
Beralih ke zaman Jokowi, terlihat pemerintah sudah tak lagi Jawa-sentris. Sepanjang 2015-2017, pemerintah pusat hanya mengalokasikan 33,8% anggaran untuk membangun infrastruktur di DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sementara sisanya (Rp 156 triliun atau 66,2%) dialokasikan ke provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Dalam tiga tahun, anggaran pemerintah pusat untuk membangun infrastruktur di provinsi DKI Jakarta adalah Rp 38,4 triliun atau setara dengan 16,3% saja, jauh lebih rendah dibandingkan SBY yang mengalokasikan dana sebesar nyaris 25% untuk ‘memanjakan’ ibu kota.
BERLANJUT KE HALAMAN 4 -> Deindustrialisasi & Lesunya Penanaman Modal Asing Jadi Masalah Utama Namun memang, untuk membangun sebuah perekonomian, apalagi mendorongnya untuk tumbuh hingga 7%, membangun infrastruktur saja tak cukup.
Salah satu permasalahan utama Indonesia adalah deindustrialisasi. Di era kepemimpinan Jokowi, sektor manufaktur (industri pengolahan) terus saja tumbuh melambat.
Untuk diketahui, sektor manufaktur merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) masih yang terbesar, yaitu sekitar 20% (per tahun 2018).
Namun, tulang punggung ini seakan terserang osteoporosis, begitu rapuh, begitu renta, dan daya topangnya semakin menurun. Pada tahun 2018, kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan PDB hanya tersisa 19,86%. Padahal pada tahun 2014, kontribusinya mencapai 21,02%. Kalau ditarik lebih jauh ke tahun 2010, terlihat bahwa penurunan kontribusi sektor manufaktur semakin dalam. Pada tahun 2010, sektor manufaktur menyumbang sebesar 22,04% terhadap pembentukan PDB.
Dari tahun ke tahun pertumbuhan sektor manufaktur bisa dibilang miris. Sudah cukup lama laju pertumbuhan sektor manufaktur selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi secara umum.
Baca:
Ya Ampun Pak Jokowi, Industri Manufaktur Kok Makin Kacau?
Pada tahun 2011, sektor manufaktur membukukan pertumbuhan sebesar 6,26%, mengalahkan pertumbuhan ekonomi saat itu yang hanya sebesar 6,17%. Namun selepas itu, tak pernah lagi ada ceritanya pertumbuhan sektor manufaktur bisa mengungguli pertumbuhan ekonomi. Teranyar pada semester I-2019, sektor manufaktur tercatat hanya tumbuh sebesar 3,7% jika dibandingkan dengan semester I-2018, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,06%.
Akibat lambatnya pertumbuhan sektor manufaktur di Indonesia, serapan tenaga kerjanya juga menjadi kurang maksimal. Memang, jika melihat pertumbuhan serapan tenaga kerja sektor manufaktur, angkanya terbilang menggembirakan dalam dua tahun terakhir, terlepas dari pertumbuhan sektor manufaktur itu sendiri yang lemah.
Namun, kalau saja pertumbuhan sektor manufaktur tak lemah, maka serapan tenaga kerjanya tentu bisa lebih kencang lagi. Hal ini penting, mengingat sektor manufaktur berkontribusi 14,7% dari total lapangan kerja di Indonesia (per tahun 2018), terbesar ketiga di bawah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (28,8%) dan perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil, dan sepeda motor (18,6%).
Guna memberantas tingkat pengangguran di Indonesia yang merupakan salah satu yang tertinggi di Asia, wajib hukumnya pemerintah menggenjot penciptaan lapangan kerja di sektor manufaktur yang sudah terbukti menjadi tulang punggung bagi bangsa ini di bidang penyediaan lapangan kerja.
Selain karena deindustrialisasi, masalah lesunya penanaman modal asing juga menghambat laju perekonomian Indonesia di era kepemimpinan Jokowi.
Kalau berbicara mengenai tarik-menarik dana asing di pasar modal, Indonesia bisa dibilang jago. Melansir data yang dipublikasikan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), per Juli 2019 pemodal asing tercatat memiliki 44,9% dari saham yang tercatat di KSEI.
Di pasar obligasi, melansir data yang dipublikasikan Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, per 2 Agustus 2019, investor asing menguasai senilai Rp 1.019,36 triliun dari total obligasi pemerintah Indonesia yang dapat diperdagangkan atau setara dengan 39,33%.
Tapi, kalau berbicara mengenai investasi riil (membangun pabrik), ceritanya menjadi berbeda. Jika berbicara mengenai investasi riil, yang terpenting bagi Indonesia adalah memang penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment, bukan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment.
Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.
Celakanya, pertumbuhan realisasi PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, realisasi PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%. Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%.
Kalau dilihat kinerjanya secara kuartalan, selama empat kuartal beruntun (sejak kuartal II-2018 hingga kuartal I-2019) realisasi PMA membukukan kontraksi secara tahunan. Barulah pada kuartal II-2019 PMA bisa mencetak pertumbuhan, yakni sebesar 9,61%.
Namun, pertumbuhan realisasi PMA pada tiga bulan kedua tahun ini perlu diwaspadai. Pasalnya, salah satu penyebab kenaikan realisasi PMA pada kuartal II-2019 adalah low-base effect.
Baca:
Realisasi Penanaman Modal Asing yang Memang Tumbuh, Tapi.....
Realisasi PMA pada kuartal II-2018 terbilang rendah sehingga tak sulit untuk membukukan pertumbuhan pada kuartal II-2019. Pada kuartal II-2018, realisasi PMA tercatat senilai Rp 95,7 triliun. Realisasi PMA tersebut merupakan realisasi PMA kuartal II terendah sejak tahun 2015.
BERLANJUT KE HALAMAN 5 -> Demi Indonesia yang Lebih Maju & Beradab Kini, berbagai hal yang menjadi penyebab sektor manufaktur dan realisasi PMA lesu perlu segera dibenahi. Jangan lagi ada main aman. Toh, Jokowi sendiri yang mengatakan bahwa dirinya siap mengambil kebijakan gila lantaran tak memiliki beban apapun di periode keduanya.
"Saya dalam lima tahun ke depan insyaallah sudah tidak memiliki beban apa-apa. Jadi, keputusan yang gila, keputusan yang miring-miring, yang itu penting untuk negara ini akan kita kerjakan. Jadi, saya tidak memiliki beban apa-apa," kata Jokowi di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, pada bulan Juni silam.
Kebijakan-kebijakan spektakuler yang akan dengan signifikan dan cepat mendongkrak laju sektor manufaktur dan realisasi PMA harus segera dieksekusi. Perizinan yang berbelit-belit, pungutan liar (pungli), insentif fiskal yang kurang nendang, serta kebijakan maju-mundur yang acap kali kita lihat di periode satu Jokowi harus ditiadakan di periode dua.
Baca:
Pak Jokowi, Ini Sederet Cara Agar Investasi Tak Lagi Loyo
Artikel ini ditulis dengan impian bahwa Indonesia akan menjadi jauh lebih maju dan beradab dari saat ini. Impian bahwa tingkat pengangguran bisa ditekan ke kisaran 1% seperti yang ditorehkan oleh Thailand.
Impian bahwa tak ada lagi ibu-ibu yang meneteskan air mata hanya karena tak bisa membeli susu bubuk untuk nutrisi anaknya. Impian bahwa tak ada lagi anak-anak Indonesia yang menderita stunting. Impian bahwa tak perlu lagi ada seorang ayah yang bekerja belasan jam dalam sehari untuk sebatas menyediakan nasi dan lauk-pauk untuk keluarganya.
Impian bahwa produk manufaktur Indonesia (terutama yang bernilai tambah tinggi) bisa dinikmati masyarakat dunia. Impian bahwa akan ada Samsung, Apple, Sony, Honda, dan juga Yamaha asal Indonesia. Impian bahwa ketika nama Indonesia disebut di hadapan masyarakat asing, tak hanya Bali yang terlintas di benak mereka.
Impian bahwa sila kelima yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” itu benar adanya dan tak hanya sebatas kalimat yang diucapkan dengan lantang saat upacara kemerdekaan tanggal 17 Agustus.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Sikat 2 Tambang Asing & Aksi Hebat Bin Mantap Jokowi Lainnnya
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular