
Pak Jokowi, Sepertinya Ada yang Salah Dengan Angka Kemiskinan
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
02 August 2019 10:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah sewajarnya apabila pemerintah Indonesia memperbaharui acuan perhitungan garis kemiskinan.
Pasalnya, saat ini Indonesia telah masuk ke dalam golongan negara berpenghasilan menengah-bawah (lower-middle).
Sebagai informasi, Bank Dunia (World Bank/WB) mengkategorikan negara yang memiliki Pendapatan Nasional Bruto (Gross National Income/GNI) di kisaran US$ 1.026-3.995 sebagai negara berpenghasilan menengah bawah.
Sementara yang memiliki GNI kisaran US$ 3.996-12.375 digolongkan sebagai negara berpenghasilan menengah atas (upper-middle).
Ada pula negara berpenghasilan rendah (low income) yang memiliki GNI kurang dari US$ 1.025.
Sebenarnya, sudah sejak tahun 2004 Indonesia masuk dalam golongan penghasilan menengah-bawah, karena pada saat itu GNI sudah menyentuh level US$ 1.080. Naik dari tahun sebelumnya yang hanya US$ 900.
Adapun per tahun 2018, Bank Dunia mencatat GNI Indonesia berada di level US$ 3.840, yang mana tinggal selangkah lagi menuju 'derajat' negara berpenghasilan menengah-atas.
Sayangnya, meskipun sudah mau 'naik kelas', acuan tingkat kemiskinan yang digunakan pemerintah sangatlah konservatif.
Garis Kemiskinan Sangat Rendah
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan per Maret 2019 tercatat sebesar 9,41%
Capaian tersebut seringkali dibangga-banggakan oleh beberapa pihak. Maklum, tahun sebelumnya (Maret 2018), tingkat kemiskinan berhasil ditekan ke level 9,82% yang merupakan angka di bawah 10% pertama sepanjang sejarah Indonesia.
Yah, walaupun pada kenyataanya tingkat kemiskinan Indonesia masih kalah dari Thailand (7,9%), Vietnam (5,8%), dan Malaysia (0,4%).
Namun yang perlu menjadi perhatian adalah garis kemiskinan yang digunakan.
Data terbaru (Maret 2019), BPS mengumumkan garis kemiskinan total sebesar Rp 423.250/bulan. Artinya, orang-orang yang memiliki penghasilan di bawah itu masuk dalam golongan miskin. Dari garis tersebut, masih dibagi dua, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM).
Untuk GKM, BPS mematok besaran sebesar Rp 313.232/bulan, yang artinya Rp 10.441/hari (asumsi 1 bulan = 30 hari). Acuan ukuran GKM adalah kebutuhan kalori satu hari per orang sebesar 2.100 kcal.
Kebutuhan Kalori Belum Tercukupi
Mari kita hitung dengan beras. Beras merupakan bahan makanan pokok sebagian besar orang Indonesia dengan nilai kalori yang besar.
Mengutip data Kementerian Pertanian Amerika Serikat (U.S. Department of Agriculture/USDA), dalam 100 gram beras terdapat 130 kcal. Artinya untuk memenuhi 2.100 kcal, setiap orang perlu makan 1.615 gram beras (1,6 kg).
Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga rata-rata nasional 1 kg beras kualitas bawah pada bulan Maret 2019 adalah Rp 10.768. Beras tersebut merupakan yang paling murah.
Dengan demikian untuk mencukupi kebutuhan kalori 2.100 kcal, satu orang setidaknya perlu merogoh kocek sebesar Rp 17.228 (untuk beli beras 1,6 kg) setiap hari.
Dengan asumsi hanya makan nasi saja orang dengan kategori miskin berdasarkan BPS masih tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan kalorinya jika hanya memiliki alokasi dana pangan sebesar Rp 10.441/hari.
Lantas bagaimana mereka bisa bertahan hidup?
Masih Mau Setara Dengan Negara Berpenghasilan Rendah?
Angka garis kemiskinan yang saat ini digunakan oleh pemerintah juga tampaknya sangat dekat dengan batasan ekstrim penyetaraan daya beli (Purchasing Power Parity/PPP) sebesar US$ 1,9 yang dijadikan acuan Bank Dunia.
Dengan menggunakan acuan tersebut, tingkat kemiskianan Indonesia hanya 5,7% per tahun 2017, berdasarkan data Bank Dunia.
Namun perlu diingat bahwa acuan tersebut berlaku secara internasional, tanpa membedakan golongan pendapatan negara.
Artinya Indonesia akan disandingkan juga dengan negara-negara berpendapatan rendah.
Seharusnya, Indonesia sudah mengadaptasi garis kemiskinan ke level negara berpenghasilan menengah-bawah.
Sebagai gambaran, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan untuk golongan negara penghasilan menengah ke bawah sebesar US$ 3,2 PPP. Adapun batasan garis kemiskinan untuk negara berpenghasilan menengah atas ditetapkan sebesar US$ 5,5 PPP.
Bila dihitung dengan batasan garis kemiskinan US$ 3,2 PPP, Bank Dunia mencatat tingkat kemiskinan Indonesia mencapai 27,3% di tahun 2017.
Melihat fakta-fakta tersebut, agaknya angka kemiskinan di bawah 10% yang sering menjadi bahan 'jualan' pemerintah agaknya sudah tidak relevan.
Apa iya kemiskinan di negara yang katanya merupakan kekuatan ekonomi nomor 10 dunia ini mau disamakan dengan negara berpenghasilan rendah?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/dru) Next Article Top Pak Jokowi! Perangi Kemiskinan Ekstrem, RI Masuk 15 Besar
Pasalnya, saat ini Indonesia telah masuk ke dalam golongan negara berpenghasilan menengah-bawah (lower-middle).
Sebagai informasi, Bank Dunia (World Bank/WB) mengkategorikan negara yang memiliki Pendapatan Nasional Bruto (Gross National Income/GNI) di kisaran US$ 1.026-3.995 sebagai negara berpenghasilan menengah bawah.
Ada pula negara berpenghasilan rendah (low income) yang memiliki GNI kurang dari US$ 1.025.
Sebenarnya, sudah sejak tahun 2004 Indonesia masuk dalam golongan penghasilan menengah-bawah, karena pada saat itu GNI sudah menyentuh level US$ 1.080. Naik dari tahun sebelumnya yang hanya US$ 900.
Adapun per tahun 2018, Bank Dunia mencatat GNI Indonesia berada di level US$ 3.840, yang mana tinggal selangkah lagi menuju 'derajat' negara berpenghasilan menengah-atas.
Sayangnya, meskipun sudah mau 'naik kelas', acuan tingkat kemiskinan yang digunakan pemerintah sangatlah konservatif.
Garis Kemiskinan Sangat Rendah
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan per Maret 2019 tercatat sebesar 9,41%
Capaian tersebut seringkali dibangga-banggakan oleh beberapa pihak. Maklum, tahun sebelumnya (Maret 2018), tingkat kemiskinan berhasil ditekan ke level 9,82% yang merupakan angka di bawah 10% pertama sepanjang sejarah Indonesia.
Yah, walaupun pada kenyataanya tingkat kemiskinan Indonesia masih kalah dari Thailand (7,9%), Vietnam (5,8%), dan Malaysia (0,4%).
![]() |
Namun yang perlu menjadi perhatian adalah garis kemiskinan yang digunakan.
Data terbaru (Maret 2019), BPS mengumumkan garis kemiskinan total sebesar Rp 423.250/bulan. Artinya, orang-orang yang memiliki penghasilan di bawah itu masuk dalam golongan miskin. Dari garis tersebut, masih dibagi dua, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM).
Untuk GKM, BPS mematok besaran sebesar Rp 313.232/bulan, yang artinya Rp 10.441/hari (asumsi 1 bulan = 30 hari). Acuan ukuran GKM adalah kebutuhan kalori satu hari per orang sebesar 2.100 kcal.
Kebutuhan Kalori Belum Tercukupi
Mari kita hitung dengan beras. Beras merupakan bahan makanan pokok sebagian besar orang Indonesia dengan nilai kalori yang besar.
Mengutip data Kementerian Pertanian Amerika Serikat (U.S. Department of Agriculture/USDA), dalam 100 gram beras terdapat 130 kcal. Artinya untuk memenuhi 2.100 kcal, setiap orang perlu makan 1.615 gram beras (1,6 kg).
Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga rata-rata nasional 1 kg beras kualitas bawah pada bulan Maret 2019 adalah Rp 10.768. Beras tersebut merupakan yang paling murah.
Dengan demikian untuk mencukupi kebutuhan kalori 2.100 kcal, satu orang setidaknya perlu merogoh kocek sebesar Rp 17.228 (untuk beli beras 1,6 kg) setiap hari.
Dengan asumsi hanya makan nasi saja orang dengan kategori miskin berdasarkan BPS masih tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan kalorinya jika hanya memiliki alokasi dana pangan sebesar Rp 10.441/hari.
Lantas bagaimana mereka bisa bertahan hidup?
Masih Mau Setara Dengan Negara Berpenghasilan Rendah?
Angka garis kemiskinan yang saat ini digunakan oleh pemerintah juga tampaknya sangat dekat dengan batasan ekstrim penyetaraan daya beli (Purchasing Power Parity/PPP) sebesar US$ 1,9 yang dijadikan acuan Bank Dunia.
Dengan menggunakan acuan tersebut, tingkat kemiskianan Indonesia hanya 5,7% per tahun 2017, berdasarkan data Bank Dunia.
Namun perlu diingat bahwa acuan tersebut berlaku secara internasional, tanpa membedakan golongan pendapatan negara.
Artinya Indonesia akan disandingkan juga dengan negara-negara berpendapatan rendah.
Seharusnya, Indonesia sudah mengadaptasi garis kemiskinan ke level negara berpenghasilan menengah-bawah.
Sebagai gambaran, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan untuk golongan negara penghasilan menengah ke bawah sebesar US$ 3,2 PPP. Adapun batasan garis kemiskinan untuk negara berpenghasilan menengah atas ditetapkan sebesar US$ 5,5 PPP.
Bila dihitung dengan batasan garis kemiskinan US$ 3,2 PPP, Bank Dunia mencatat tingkat kemiskinan Indonesia mencapai 27,3% di tahun 2017.
Melihat fakta-fakta tersebut, agaknya angka kemiskinan di bawah 10% yang sering menjadi bahan 'jualan' pemerintah agaknya sudah tidak relevan.
Apa iya kemiskinan di negara yang katanya merupakan kekuatan ekonomi nomor 10 dunia ini mau disamakan dengan negara berpenghasilan rendah?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/dru) Next Article Top Pak Jokowi! Perangi Kemiskinan Ekstrem, RI Masuk 15 Besar
Most Popular