
Pak Jokowi, Cuma Keajaiban Bisa Bawa Ekonomi RI Tumbuh 7%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 August 2019 06:20

Namun memang, untuk membangun sebuah perekonomian, apalagi mendorongnya untuk tumbuh hingga 7%, membangun infrastruktur saja tak cukup.
Salah satu permasalahan utama Indonesia adalah deindustrialisasi. Di era kepemimpinan Jokowi, sektor manufaktur (industri pengolahan) terus saja tumbuh melambat.
Untuk diketahui, sektor manufaktur merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) masih yang terbesar, yaitu sekitar 20% (per tahun 2018).
Namun, tulang punggung ini seakan terserang osteoporosis, begitu rapuh, begitu renta, dan daya topangnya semakin menurun. Pada tahun 2018, kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan PDB hanya tersisa 19,86%. Padahal pada tahun 2014, kontribusinya mencapai 21,02%. Kalau ditarik lebih jauh ke tahun 2010, terlihat bahwa penurunan kontribusi sektor manufaktur semakin dalam. Pada tahun 2010, sektor manufaktur menyumbang sebesar 22,04% terhadap pembentukan PDB.
Dari tahun ke tahun pertumbuhan sektor manufaktur bisa dibilang miris. Sudah cukup lama laju pertumbuhan sektor manufaktur selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi secara umum.
Baca:
Ya Ampun Pak Jokowi, Industri Manufaktur Kok Makin Kacau?
Pada tahun 2011, sektor manufaktur membukukan pertumbuhan sebesar 6,26%, mengalahkan pertumbuhan ekonomi saat itu yang hanya sebesar 6,17%. Namun selepas itu, tak pernah lagi ada ceritanya pertumbuhan sektor manufaktur bisa mengungguli pertumbuhan ekonomi. Teranyar pada semester I-2019, sektor manufaktur tercatat hanya tumbuh sebesar 3,7% jika dibandingkan dengan semester I-2018, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,06%.
Akibat lambatnya pertumbuhan sektor manufaktur di Indonesia, serapan tenaga kerjanya juga menjadi kurang maksimal. Memang, jika melihat pertumbuhan serapan tenaga kerja sektor manufaktur, angkanya terbilang menggembirakan dalam dua tahun terakhir, terlepas dari pertumbuhan sektor manufaktur itu sendiri yang lemah.
Namun, kalau saja pertumbuhan sektor manufaktur tak lemah, maka serapan tenaga kerjanya tentu bisa lebih kencang lagi. Hal ini penting, mengingat sektor manufaktur berkontribusi 14,7% dari total lapangan kerja di Indonesia (per tahun 2018), terbesar ketiga di bawah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (28,8%) dan perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil, dan sepeda motor (18,6%).
Guna memberantas tingkat pengangguran di Indonesia yang merupakan salah satu yang tertinggi di Asia, wajib hukumnya pemerintah menggenjot penciptaan lapangan kerja di sektor manufaktur yang sudah terbukti menjadi tulang punggung bagi bangsa ini di bidang penyediaan lapangan kerja.
Selain karena deindustrialisasi, masalah lesunya penanaman modal asing juga menghambat laju perekonomian Indonesia di era kepemimpinan Jokowi.
Kalau berbicara mengenai tarik-menarik dana asing di pasar modal, Indonesia bisa dibilang jago. Melansir data yang dipublikasikan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), per Juli 2019 pemodal asing tercatat memiliki 44,9% dari saham yang tercatat di KSEI.
Di pasar obligasi, melansir data yang dipublikasikan Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, per 2 Agustus 2019, investor asing menguasai senilai Rp 1.019,36 triliun dari total obligasi pemerintah Indonesia yang dapat diperdagangkan atau setara dengan 39,33%.
Tapi, kalau berbicara mengenai investasi riil (membangun pabrik), ceritanya menjadi berbeda. Jika berbicara mengenai investasi riil, yang terpenting bagi Indonesia adalah memang penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment, bukan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment.
Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.
Celakanya, pertumbuhan realisasi PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, realisasi PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%. Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%.
Kalau dilihat kinerjanya secara kuartalan, selama empat kuartal beruntun (sejak kuartal II-2018 hingga kuartal I-2019) realisasi PMA membukukan kontraksi secara tahunan. Barulah pada kuartal II-2019 PMA bisa mencetak pertumbuhan, yakni sebesar 9,61%.
Namun, pertumbuhan realisasi PMA pada tiga bulan kedua tahun ini perlu diwaspadai. Pasalnya, salah satu penyebab kenaikan realisasi PMA pada kuartal II-2019 adalah low-base effect.
Baca:
Realisasi Penanaman Modal Asing yang Memang Tumbuh, Tapi.....
Realisasi PMA pada kuartal II-2018 terbilang rendah sehingga tak sulit untuk membukukan pertumbuhan pada kuartal II-2019. Pada kuartal II-2018, realisasi PMA tercatat senilai Rp 95,7 triliun. Realisasi PMA tersebut merupakan realisasi PMA kuartal II terendah sejak tahun 2015.
BERLANJUT KE HALAMAN 5 -> Demi Indonesia yang Lebih Maju & Beradab (ank/ank)
Salah satu permasalahan utama Indonesia adalah deindustrialisasi. Di era kepemimpinan Jokowi, sektor manufaktur (industri pengolahan) terus saja tumbuh melambat.
Untuk diketahui, sektor manufaktur merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) masih yang terbesar, yaitu sekitar 20% (per tahun 2018).
Dari tahun ke tahun pertumbuhan sektor manufaktur bisa dibilang miris. Sudah cukup lama laju pertumbuhan sektor manufaktur selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi secara umum.
Baca:
Ya Ampun Pak Jokowi, Industri Manufaktur Kok Makin Kacau?
Pada tahun 2011, sektor manufaktur membukukan pertumbuhan sebesar 6,26%, mengalahkan pertumbuhan ekonomi saat itu yang hanya sebesar 6,17%. Namun selepas itu, tak pernah lagi ada ceritanya pertumbuhan sektor manufaktur bisa mengungguli pertumbuhan ekonomi. Teranyar pada semester I-2019, sektor manufaktur tercatat hanya tumbuh sebesar 3,7% jika dibandingkan dengan semester I-2018, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,06%.
Akibat lambatnya pertumbuhan sektor manufaktur di Indonesia, serapan tenaga kerjanya juga menjadi kurang maksimal. Memang, jika melihat pertumbuhan serapan tenaga kerja sektor manufaktur, angkanya terbilang menggembirakan dalam dua tahun terakhir, terlepas dari pertumbuhan sektor manufaktur itu sendiri yang lemah.
Namun, kalau saja pertumbuhan sektor manufaktur tak lemah, maka serapan tenaga kerjanya tentu bisa lebih kencang lagi. Hal ini penting, mengingat sektor manufaktur berkontribusi 14,7% dari total lapangan kerja di Indonesia (per tahun 2018), terbesar ketiga di bawah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (28,8%) dan perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil, dan sepeda motor (18,6%).
Guna memberantas tingkat pengangguran di Indonesia yang merupakan salah satu yang tertinggi di Asia, wajib hukumnya pemerintah menggenjot penciptaan lapangan kerja di sektor manufaktur yang sudah terbukti menjadi tulang punggung bagi bangsa ini di bidang penyediaan lapangan kerja.
Selain karena deindustrialisasi, masalah lesunya penanaman modal asing juga menghambat laju perekonomian Indonesia di era kepemimpinan Jokowi.
Kalau berbicara mengenai tarik-menarik dana asing di pasar modal, Indonesia bisa dibilang jago. Melansir data yang dipublikasikan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), per Juli 2019 pemodal asing tercatat memiliki 44,9% dari saham yang tercatat di KSEI.
Di pasar obligasi, melansir data yang dipublikasikan Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, per 2 Agustus 2019, investor asing menguasai senilai Rp 1.019,36 triliun dari total obligasi pemerintah Indonesia yang dapat diperdagangkan atau setara dengan 39,33%.
Tapi, kalau berbicara mengenai investasi riil (membangun pabrik), ceritanya menjadi berbeda. Jika berbicara mengenai investasi riil, yang terpenting bagi Indonesia adalah memang penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment, bukan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment.
Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.
Celakanya, pertumbuhan realisasi PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, realisasi PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%. Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%.
Kalau dilihat kinerjanya secara kuartalan, selama empat kuartal beruntun (sejak kuartal II-2018 hingga kuartal I-2019) realisasi PMA membukukan kontraksi secara tahunan. Barulah pada kuartal II-2019 PMA bisa mencetak pertumbuhan, yakni sebesar 9,61%.
Namun, pertumbuhan realisasi PMA pada tiga bulan kedua tahun ini perlu diwaspadai. Pasalnya, salah satu penyebab kenaikan realisasi PMA pada kuartal II-2019 adalah low-base effect.
Baca:
Realisasi Penanaman Modal Asing yang Memang Tumbuh, Tapi.....
Realisasi PMA pada kuartal II-2018 terbilang rendah sehingga tak sulit untuk membukukan pertumbuhan pada kuartal II-2019. Pada kuartal II-2018, realisasi PMA tercatat senilai Rp 95,7 triliun. Realisasi PMA tersebut merupakan realisasi PMA kuartal II terendah sejak tahun 2015.
BERLANJUT KE HALAMAN 5 -> Demi Indonesia yang Lebih Maju & Beradab (ank/ank)
Next Page
Demi Indonesia yang Lebih Maju & Beradab
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular