
Pak Jokowi, Cuma Keajaiban Bisa Bawa Ekonomi RI Tumbuh 7%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 August 2019 06:20

Banyak pihak mengatakan: “Ah, perekonomian global kan sedang melambat, wajar dong kalau Jokowi kesulitan merealisasikan janjinya.”
Tunggu dulu, siapa bilang perekonomian global selalu melambat di era kepemimpinan Jokowi?
Pada tahun 2015, International Monetary Fund (IMF) mencatat bahwa perekonomian global tumbuh sebesar 3,44%, melambat dibandingkan pertumbuhan tahun 2014 yang sebesar 3,577%. Pada tahun 2016, perekonomian global kembali tumbuh melambat, yakni menjadi 3,372%. Namun pada tahun 2017, pertumbuhan ekonomi global melonjak menjadi 3,789%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2011.
Jika dihitung, pertumbuhan ekonomi global dari tahun 2016 ke tahun 2017 mengalami lonjakan sebesar 0,42 persentase poin. Di sisi lain, tambahan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam periode yang sama (2016 ke 2017) hanya sebesar 0,05 persentase poin. Terlihat jelas bahwa perekonomian Indonesia tak bisa memanfaatkan momentum yang ada.
“Tapi kan, pertumbuhan ekonomi sebesar 5% sudah terbilang tinggi?”
Kalau dibilang pertumbuhan ekonomi di batas bawah 5% yang dicatatkan pemerintahan Jokowi tinggi, sebenarnya tidak juga. Negara-negara tetangga (yang sama-sama masuk kategori negara berkembang) ada yang perekonomiannya tumbuh lebih kencang ketimbang Indonesia.
Karena angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019 dari negara-negara tetangga kebanyakan belum dirilis, maka data periode kuartal I-2019 digunakan. Hasilnya perekonomian China tercatat tumbuh hingga 6,4% secara tahunan, jauh di atas Indonesia. Kemudian, masih pada kuartal-I 2019, perekonomian India dan Filipina juga tercatat melaju lebih pesat ketimbang Indonesia.
“Kenapa sih pertumbuhan ekonomi Indonesia harus tinggi?”
Jawabannya: kesejahteraan masyarakat. Kala perekonomian tumbuh dengan pesat, penciptaan lapangan pekerjaan akan tumbuh dengan pesat pula sehingga pengangguran menjadi lebih mudah diberantas. Selain itu, upaya pengentasan kemiskinan juga akan lebih mudah dilakukan.
Berbicara mengenai pengangguran, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dari beberapa negara di kawasan Asia yang kami kumpulkan datanya, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi ketiga.
Berbicara mengenai kemiskinan, pemerintahan Jokowi seringkali mengumbar keberhasilannya dalam menekan tingkat kemiskinan ke level satu digit. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan per Maret 2018 tercatat sebesar 9,82%, menandai kali pertama di sepanjang sejarah Indonesia di mana tingkat kemiskinan berada di bawah angka 10%. Per Maret 2019, tingkat kemiskinan kembali turun menjadi 9,41%.
Namun, acuan garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS perlu disoroti. Data terbaru (Maret 2019), BPS menggunakan acuan garis kemiskinan senilai Rp 423.250/bulan. Ini artinya, masyarakat yang memiliki penghasilan di bawah itu dimasukkan dalam golongan masyarakat miskin.
Dari garis tersebut, ada dua klasifikasi, yakni Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM).
Untuk GKM, BPS mematok besaran sebesar Rp 313.232/bulan, yang artinya Rp 10.441/hari (asumsi satu bulan = 30 hari). Acuan ukuran GKM adalah kebutuhan kalori satu hari per orang sebesar 2.100 kcal.
Baca:
Pak Jokowi, Sepertinya Ada yang Salah Dengan Angka Kemiskinan
Mari kita hitung dengan beras saja yang merupakan makanan pokok sebagian besar masyakat Indonesia dan memiliki nilai kalori besar. Mengutip data Kementerian Pertanian Amerika Serikat (U.S. Department of Agriculture/USDA), dalam 100 gram beras terdapat 130 kcal. Artinya untuk memenuhi 2.100 kcal setiap harinya, setiap orang perlu makan 1.615 gram beras (1,6 kg).
Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga rata-rata nasional untuk 1 kg beras kualitas bawah pada bulan Maret 2019 adalah Rp 10.768. Beras tersebut sudah merupakan yang paling murah. Dengan demikian untuk mencukupi kebutuhan kalori 2.100 kcal, setiap orang setidaknya perlu merogoh kocek sebesar Rp 17.228 (untuk beli beras 1,6 kg) setiap hari.
Dengan asumsi hanya makan nasi saja, masyarakat dengan kategori miskin berdasarkan standar BPS masih tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan kalorinya.
Jadi, pantaskah garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS?
BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Infrastruktur Sudah Digenjot Mati-Matian (ank/ank)
Tunggu dulu, siapa bilang perekonomian global selalu melambat di era kepemimpinan Jokowi?
Pada tahun 2015, International Monetary Fund (IMF) mencatat bahwa perekonomian global tumbuh sebesar 3,44%, melambat dibandingkan pertumbuhan tahun 2014 yang sebesar 3,577%. Pada tahun 2016, perekonomian global kembali tumbuh melambat, yakni menjadi 3,372%. Namun pada tahun 2017, pertumbuhan ekonomi global melonjak menjadi 3,789%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2011.
Jika dihitung, pertumbuhan ekonomi global dari tahun 2016 ke tahun 2017 mengalami lonjakan sebesar 0,42 persentase poin. Di sisi lain, tambahan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam periode yang sama (2016 ke 2017) hanya sebesar 0,05 persentase poin. Terlihat jelas bahwa perekonomian Indonesia tak bisa memanfaatkan momentum yang ada.
“Tapi kan, pertumbuhan ekonomi sebesar 5% sudah terbilang tinggi?”
Kalau dibilang pertumbuhan ekonomi di batas bawah 5% yang dicatatkan pemerintahan Jokowi tinggi, sebenarnya tidak juga. Negara-negara tetangga (yang sama-sama masuk kategori negara berkembang) ada yang perekonomiannya tumbuh lebih kencang ketimbang Indonesia.
Karena angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019 dari negara-negara tetangga kebanyakan belum dirilis, maka data periode kuartal I-2019 digunakan. Hasilnya perekonomian China tercatat tumbuh hingga 6,4% secara tahunan, jauh di atas Indonesia. Kemudian, masih pada kuartal-I 2019, perekonomian India dan Filipina juga tercatat melaju lebih pesat ketimbang Indonesia.
“Kenapa sih pertumbuhan ekonomi Indonesia harus tinggi?”
Jawabannya: kesejahteraan masyarakat. Kala perekonomian tumbuh dengan pesat, penciptaan lapangan pekerjaan akan tumbuh dengan pesat pula sehingga pengangguran menjadi lebih mudah diberantas. Selain itu, upaya pengentasan kemiskinan juga akan lebih mudah dilakukan.
Berbicara mengenai pengangguran, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dari beberapa negara di kawasan Asia yang kami kumpulkan datanya, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi ketiga.
Berbicara mengenai kemiskinan, pemerintahan Jokowi seringkali mengumbar keberhasilannya dalam menekan tingkat kemiskinan ke level satu digit. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan per Maret 2018 tercatat sebesar 9,82%, menandai kali pertama di sepanjang sejarah Indonesia di mana tingkat kemiskinan berada di bawah angka 10%. Per Maret 2019, tingkat kemiskinan kembali turun menjadi 9,41%.
Namun, acuan garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS perlu disoroti. Data terbaru (Maret 2019), BPS menggunakan acuan garis kemiskinan senilai Rp 423.250/bulan. Ini artinya, masyarakat yang memiliki penghasilan di bawah itu dimasukkan dalam golongan masyarakat miskin.
Dari garis tersebut, ada dua klasifikasi, yakni Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM).
Untuk GKM, BPS mematok besaran sebesar Rp 313.232/bulan, yang artinya Rp 10.441/hari (asumsi satu bulan = 30 hari). Acuan ukuran GKM adalah kebutuhan kalori satu hari per orang sebesar 2.100 kcal.
Baca:
Pak Jokowi, Sepertinya Ada yang Salah Dengan Angka Kemiskinan
Mari kita hitung dengan beras saja yang merupakan makanan pokok sebagian besar masyakat Indonesia dan memiliki nilai kalori besar. Mengutip data Kementerian Pertanian Amerika Serikat (U.S. Department of Agriculture/USDA), dalam 100 gram beras terdapat 130 kcal. Artinya untuk memenuhi 2.100 kcal setiap harinya, setiap orang perlu makan 1.615 gram beras (1,6 kg).
Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga rata-rata nasional untuk 1 kg beras kualitas bawah pada bulan Maret 2019 adalah Rp 10.768. Beras tersebut sudah merupakan yang paling murah. Dengan demikian untuk mencukupi kebutuhan kalori 2.100 kcal, setiap orang setidaknya perlu merogoh kocek sebesar Rp 17.228 (untuk beli beras 1,6 kg) setiap hari.
Dengan asumsi hanya makan nasi saja, masyarakat dengan kategori miskin berdasarkan standar BPS masih tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan kalorinya.
Jadi, pantaskah garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS?
BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Infrastruktur Sudah Digenjot Mati-Matian (ank/ank)
Next Page
Infrastruktur Sudah Digenjot Mati-Matian
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular