
Blok Gas Greater Sunrise & Kisah Diplomasi Minyak 3 Negara
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
31 July 2019 15:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Greater Sunrise bukan sekedar nama blok gas dengan potensi cadangan triliun kaki kubik. Blok ini punya peran penting dalam sejarah Timor Leste, mulai dari saksi kelahiran negara tersebut sampai tulang punggung ekonomi di masa depan.
Ladang Gas Greater Sunrise berada di lepas laut, 150 kilometer tenggara Timor Leste dan 450 kilometer barat laut Darwin. Ditemukan pada 1974 oleh kontraktor migas asal Australia, Woodside, dengan potensi cadangan 5,13 tcf dan potensi omzet hingga US$ 50 miliar.
Profesor Politik Internasional Universitas New South Wales Clinton Fernandes mengatakan, sejarah Timor Leste tak lepas dari sektor perminyakan termasuk dengan blok Greater Sunrise.
Dikutip dari MSN, meski blok tersebut jaraknya lebih dekat ke Timor Leste, namun Australia telah lebih dulu memegang lisensi untuk mengebor minyak di kawasan tersebut sejak 1960. Timor Leste saat itu masih dijajah oleh Portugis, sebelum akhirnya merdeka pada 1974.
Namun negara kecil ini belum berakhir perjalanannya, sebab Indonesia masuk pada 1975 di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Warga Indonesia tentu ingat bahwa Tmor Leste sempat dijuluki sebagai provinsi termuda Indonesia dengan nama Timor-Timur.
MSN mengutip laporan khusus Guardian, di mana disebutkan bahwa Australia saat itu mendukung Indonesia masuk ke Timor Leste untuk mengamankan potensi gas yang ada di laut lepas dan diincar negeri kangguru tersebut.
"Sebagian alasan Australia mendukung penggabungan (Timor Leste) ke Indonesia karena potensi cadangan migas di Laut Timor," ujar Dosen Politik Senior La Trobe University Bec Strating, dikutip dari laporan MSN.
Indonesia disebut-sebut tidak akan mantap memasukkan Timor-Timur menjadi provinsinya andaikata Presiden Soeharto saat itu tak diyakini oleh Gough Whitlam, mantan Perdana Menteri Australia.
Australia mendukung berat integrasi Timor-Timur ke Indonesia, dan mengakui kedaulatan RI di sana pada 1979. Ujungnya, RI-Australia pada 1989 meneken perjanjian Celah Timor atau Timor Gap yang mengatur soal pengelolaan sumber daya alam di laut lepas kedua negara. Perjanjian ini disebut-sebut menguntungkan Australia.
Timor -Timur Lepas dari Indonesia
Sepanjang perjalananannya, politik di Timor-Timur terus memanas hingga akhirnya pada 2002 Timor-Leste melepaskan diri dari Indonesia. Mengakibatkan perjanjian Celah Timor tak berlaku lagi.
Mengutip ABC News, tahun kemerdekaan Timor-Leste bertepatan juga dengan waktu Australia mencabut pengakuannya atas yurisdiksi batas laut Mahkamah Internasional.
Tidak lama setelah kemerdekaan, Timor Leste dan Australia menyepakati perjanjian bagi hasil dari eksploitasi sumber minyak dan gas di kawasan Greater Sunrise. Namun Timor Leste kemudian menyebut kesepakatan itu tidak adil. Timor Leste juga sempat menuduh Australia melakukan kegiatan spionase saat perundingan.
Pada 2006 lalu Timor Leste dan Australia membawa masalah ini ke Mahkamah Tetap Arbitrase Internasional, Permanent Court of Arbitration (PCA), di Den Haag, Belanda.
Namun, baru pada tanggal 6 Maret 2018 pemerintah Timor-Leste dan Australia menandatangani Perjanjian Batas Maritim baru di PBB di New York, Amerika Serikat (AS). Perjanjian itu mendefinisikan ladang minyak dan gas mana yang menjadi milik masing-masing negara, di mana beberapa wilayah bernilai miliaran di ladang gas yang belum ditambang itu turut dibagikan.
Tetapi karena Parlemen Australia belum meratifikasi perjanjian itu, Australia terus mengambil untung dari ladang minyak yang di bawah perjanjian itu sekarang sepenuhnya menjadi milik Timor-Leste. Australia mengklaim 10% saham di Greater Sunrise.
Proyek Pemerintahan Timor-Leste mengatakan bahwa ladang minyak tersebut dapat menghasilkan sekitar US$ 60 juta dalam 12 bulan terakhir. Australia dilaporkan telah menambang tiga ladang minyak di Laut Timor sejak 1960-an, yaitu Buffalo, Laminaria, dan Corallina, hingga habis.
Dikutip dari ABC, Juru Bicara untuk Kampanye Keadilan di Laut Timor Tom Clarke mengatakan bahwa Australia melakukan segala cara untuk membuat molor ratifikasi. "Uang jutaan dolar ini semestinya masuk ke Timor Leste, setiap hari ratifikasi ditunda maka semakin banyak uang yang hilang untuk mereka," katanya.
Traktat Akhirnya Diratifikasi
Sebagai bagian dari perjanjian, beberapa aspek perbatasan masih terbuka untuk dinegosiasikan dan tergantung pada negosiasi di masa depan antara Timor-Leste dan Indonesia pada perbatasan mereka masing-masing. Namun, kepemilikan ladang minyak dan gas, termasuk yang belum ditambang, telah ditandai dengan jelas.
"Perjanjian Batas Maritim adalah perjanjian bersejarah bagi Australia dan Timor-Leste," kata menteri luar negeri Australia Julie Bishop pada 2018 lalu.
Namun, perjanjian itu tidak termasuk batas waktu untuk ratifikasi untuk kedua negara.
Di bawah ketentuan perjanjian itu, Timor-Leste tidak dapat mengklaim atas miliaran dolar yang dihasilkan Australia dari penambangan Laut Timor sejak 1960-an.
Namun pada Senin (29/7/2019), parlemen Australia dan Timor Leste akhirnya sepakat meratifikasi batas maritim sesuai dengan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kesepakatan dipastikan berlaku setelah parlemen Australia menyetujui penerapan perjanjian perbatasan maritim melalui sebuah pemungutan suara pada Senin.
Kesepakatan ini berarti Australia memberikan Greater Sunrise kepada Timor Leste dengan syarat bagi hasil.
Australia menilai perselisihan panjang ini telah mencemarkan reputasi negara tersebut, apalagi saat diseret ke pengadilan arbitrase di The Hague pada 2006 lalu. Timor Leste sempat meminta traktat tersebut dibatalkan setelah mencurigai Australia telah melakukan aksi mata-mata untuk memetik keuntungan komersil selama negosiasi berlangsung.
Kritik juga dilemparkan pemimpin oposisi Australia Anthony Albanese yang mengatakan sikap tak mau mengalah Australia hanya mencemarkan negara baik tersebut, terkesan sebagai negara tetangga yang tak ramah pada negara yang baru lahir.
(gus) Next Article Demi Blok Gas Raksasa, Australia & Timor Leste Damai di Laut!
Ladang Gas Greater Sunrise berada di lepas laut, 150 kilometer tenggara Timor Leste dan 450 kilometer barat laut Darwin. Ditemukan pada 1974 oleh kontraktor migas asal Australia, Woodside, dengan potensi cadangan 5,13 tcf dan potensi omzet hingga US$ 50 miliar.
Dikutip dari MSN, meski blok tersebut jaraknya lebih dekat ke Timor Leste, namun Australia telah lebih dulu memegang lisensi untuk mengebor minyak di kawasan tersebut sejak 1960. Timor Leste saat itu masih dijajah oleh Portugis, sebelum akhirnya merdeka pada 1974.
Namun negara kecil ini belum berakhir perjalanannya, sebab Indonesia masuk pada 1975 di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Warga Indonesia tentu ingat bahwa Tmor Leste sempat dijuluki sebagai provinsi termuda Indonesia dengan nama Timor-Timur.
MSN mengutip laporan khusus Guardian, di mana disebutkan bahwa Australia saat itu mendukung Indonesia masuk ke Timor Leste untuk mengamankan potensi gas yang ada di laut lepas dan diincar negeri kangguru tersebut.
"Sebagian alasan Australia mendukung penggabungan (Timor Leste) ke Indonesia karena potensi cadangan migas di Laut Timor," ujar Dosen Politik Senior La Trobe University Bec Strating, dikutip dari laporan MSN.
Indonesia disebut-sebut tidak akan mantap memasukkan Timor-Timur menjadi provinsinya andaikata Presiden Soeharto saat itu tak diyakini oleh Gough Whitlam, mantan Perdana Menteri Australia.
Australia mendukung berat integrasi Timor-Timur ke Indonesia, dan mengakui kedaulatan RI di sana pada 1979. Ujungnya, RI-Australia pada 1989 meneken perjanjian Celah Timor atau Timor Gap yang mengatur soal pengelolaan sumber daya alam di laut lepas kedua negara. Perjanjian ini disebut-sebut menguntungkan Australia.
Timor -Timur Lepas dari Indonesia
Sepanjang perjalananannya, politik di Timor-Timur terus memanas hingga akhirnya pada 2002 Timor-Leste melepaskan diri dari Indonesia. Mengakibatkan perjanjian Celah Timor tak berlaku lagi.
Mengutip ABC News, tahun kemerdekaan Timor-Leste bertepatan juga dengan waktu Australia mencabut pengakuannya atas yurisdiksi batas laut Mahkamah Internasional.
Tidak lama setelah kemerdekaan, Timor Leste dan Australia menyepakati perjanjian bagi hasil dari eksploitasi sumber minyak dan gas di kawasan Greater Sunrise. Namun Timor Leste kemudian menyebut kesepakatan itu tidak adil. Timor Leste juga sempat menuduh Australia melakukan kegiatan spionase saat perundingan.
Pada 2006 lalu Timor Leste dan Australia membawa masalah ini ke Mahkamah Tetap Arbitrase Internasional, Permanent Court of Arbitration (PCA), di Den Haag, Belanda.
Namun, baru pada tanggal 6 Maret 2018 pemerintah Timor-Leste dan Australia menandatangani Perjanjian Batas Maritim baru di PBB di New York, Amerika Serikat (AS). Perjanjian itu mendefinisikan ladang minyak dan gas mana yang menjadi milik masing-masing negara, di mana beberapa wilayah bernilai miliaran di ladang gas yang belum ditambang itu turut dibagikan.
Tetapi karena Parlemen Australia belum meratifikasi perjanjian itu, Australia terus mengambil untung dari ladang minyak yang di bawah perjanjian itu sekarang sepenuhnya menjadi milik Timor-Leste. Australia mengklaim 10% saham di Greater Sunrise.
Proyek Pemerintahan Timor-Leste mengatakan bahwa ladang minyak tersebut dapat menghasilkan sekitar US$ 60 juta dalam 12 bulan terakhir. Australia dilaporkan telah menambang tiga ladang minyak di Laut Timor sejak 1960-an, yaitu Buffalo, Laminaria, dan Corallina, hingga habis.
Dikutip dari ABC, Juru Bicara untuk Kampanye Keadilan di Laut Timor Tom Clarke mengatakan bahwa Australia melakukan segala cara untuk membuat molor ratifikasi. "Uang jutaan dolar ini semestinya masuk ke Timor Leste, setiap hari ratifikasi ditunda maka semakin banyak uang yang hilang untuk mereka," katanya.
Traktat Akhirnya Diratifikasi
Sebagai bagian dari perjanjian, beberapa aspek perbatasan masih terbuka untuk dinegosiasikan dan tergantung pada negosiasi di masa depan antara Timor-Leste dan Indonesia pada perbatasan mereka masing-masing. Namun, kepemilikan ladang minyak dan gas, termasuk yang belum ditambang, telah ditandai dengan jelas.
"Perjanjian Batas Maritim adalah perjanjian bersejarah bagi Australia dan Timor-Leste," kata menteri luar negeri Australia Julie Bishop pada 2018 lalu.
Namun, perjanjian itu tidak termasuk batas waktu untuk ratifikasi untuk kedua negara.
Di bawah ketentuan perjanjian itu, Timor-Leste tidak dapat mengklaim atas miliaran dolar yang dihasilkan Australia dari penambangan Laut Timor sejak 1960-an.
Namun pada Senin (29/7/2019), parlemen Australia dan Timor Leste akhirnya sepakat meratifikasi batas maritim sesuai dengan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kesepakatan dipastikan berlaku setelah parlemen Australia menyetujui penerapan perjanjian perbatasan maritim melalui sebuah pemungutan suara pada Senin.
Kesepakatan ini berarti Australia memberikan Greater Sunrise kepada Timor Leste dengan syarat bagi hasil.
Australia menilai perselisihan panjang ini telah mencemarkan reputasi negara tersebut, apalagi saat diseret ke pengadilan arbitrase di The Hague pada 2006 lalu. Timor Leste sempat meminta traktat tersebut dibatalkan setelah mencurigai Australia telah melakukan aksi mata-mata untuk memetik keuntungan komersil selama negosiasi berlangsung.
Kritik juga dilemparkan pemimpin oposisi Australia Anthony Albanese yang mengatakan sikap tak mau mengalah Australia hanya mencemarkan negara baik tersebut, terkesan sebagai negara tetangga yang tak ramah pada negara yang baru lahir.
(gus) Next Article Demi Blok Gas Raksasa, Australia & Timor Leste Damai di Laut!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular