Dicari, Obat Manjur Lepaskan RI dari Belitan Defisit Migas!

Yanurisa Ananta, CNBC Indonesia
29 July 2019 11:25
Defisit Migas RI memang sulit dihindari, yang perlu dicari saat ini adalah langkah untuk mengurangi tekanan defisit tersebut
Foto: Infografis/Tenggelam dalam impor BBM, Defisit migas RI Tembus Rp 176 T/Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia masih mengalami defisit. Salah satu penyebabnya adalah tingginya impor energi terutama minyak dan gas (migas).

Hingga akhir tahun ini nilai impor migas diperkirakan mencapai US$ 47 miliar-US$ 48 miliar, naik dari realisasi tahun lalu yang sebanyak US$ 47,04 miliar. Ini mengakibatkan defisit dagang migas melebar dari US$ 2,76 miliar jadi US$ 3,53 miliar.


INDEF memproyeksi, secara jangka panjang, defisit energi ini akan mencapai total 3% dari PDB Indonesia atau US$ 80 miliar pada 2040 mendatang. Indonesia diperkirakan akan mengalami defisit energi pada 2021 mendatang, jika pihak-pihak terkait tak melakukan usaha apapun.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan kunci untuk menekan defisit akibat impor migas ini adalah dengan meningkatkan produksi dan mengurangi jumlah impor. Namun, peningkatan produksi masih harus lewat
jalan panjang karena lelang blok migas periode 2015-2016 tidak ada yang laku.

"Tahun 2017-2019 telah laku 16 blok dengan metode gross split. Namun demikian, seluruh blok tersebut baru akan bisa berproduksi minimal 7 tahun sejak eksplorasi dimulai. Apalagi belum tentu seluruh blok tersebut dapat menghasilkan mengingat terdapat peluang gagal juga," kata Tauhid di Jakarta, Minggu (28/7/2019).

Meski demikian, dalam jangka menengah bisa disiasati dengan pengembangan refinery plant. Dengan begitu, produksi minyak mentah dalam negeri yang diekspor dan kembali masuk dalam bentuk minyak olahan bisa diturunkan. Adapun selama ini Indonesia mengimpor bahan bakar hasil olahan, bukan berupa minyak mentah.

"Karena itu, perlunya pemerintah serius menangani ini mengingat refinery unit (RU) yang dimiliki Pertamina masih terbatas, baik yang berada di Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, Balongan dan Kasim," jelas dia.

Tapi, kata dia, investasi kilang atau refinery tidak murah. Banyak investor yang akanĀ  masuk dan bekerjasama dengan Pertamina dan belum terealisasi.

Langkah lainnya adalah dengan menurunkan impor, terutama impor solar dan memaksimalkan pemanfaatan biodiesel B30. Artinya sebanyak 30% biosolar berasal dari minyak nabati khususnya sawit.

Tingginya konsumsi energi yang tak dibarengi dengan produksi ini menyebabkan defisit neraca perdagangan, hingga defisit transaksi berjalan (CAD).

Hingga saat ini, puncaknya pada tahun 2014 yang lalu dimana defisit migas mencapai US$ 13,4 miliar dan pada Januari-Juni 2019, defisit tersebut mencapai US$ 4,78 miliar. Jumlah ini lebih rendah di periode tersebut dibanding dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar US$ 5,61 miliar atau telah turun 14,88 %.

"Meski demikian, melihat perkiraan kebutuhan bulanan yang besar maka diperkirakan defisit migas hingga akhir tahun 2019 akan tumbuh di atas US$ 10 miliar. Ini artinya bahwa defisit ini akan terus terjadi sepanjang produksi migas kita tetap rendah, sementara kebutuhan terus meningkat dengan semakin besarnya pertumbuhan penduduk, baik pemanfaatannya untuk kendaraan bermotor, rumah tangga maupun industri," jelas dia.

Penggunaan kendaraan listrik (electronic vehicle/EV) bisa menjadi salah satu langkah untuk mengurangi defisit energi, yakni minyak bumi dan gas. Namun perlu digarisbawahi bahwa EV ini juga akan menimbulkandefisit lainnya.

Tauhid mengatakan efektivitas penggunaan EV masih dipertanyakan, sebab Indonesia dinilai masih belum siap dalam hal infrastruktur serta komponen kendaraan ini.

"Ketidakefektifan tentu saja harga vehicle yang ditawarkan masih terlampau mahal, seperti halnya produk Motor Gesit. Ini terjadi karena baterai masih impor, sementara infrastruktur yang dibangun juga mahal sekali," kata Tauhid di Jakarta, Minggu (28/7/2019).

Secara administrasi, kata Tauhid, penggunaan EV ini belum dimasukkan dalam aturan pengenaan pajak daerah. Selain itu, nikel, sebagai bahan baku baterai, yang diproduksi di dalam negeri saat ini justru diperuntukkan untuk ekspor ketimbang untuk pemenuhan dalam negeri.

"Di sisi lain, belum banyak perusahaan domestik, termasuk BUMN, melakukan investasi pionir untuk industri secara masif. Masih butuh waktu," jelas Tauhid.

Ekonom Faisal Basri menambahkan, meski penggunaan EV ini ditujukan untuk menekan defisit migas, namun tak bisa dipungkiri bahwa nantinya justru akan menimbulkan defisit mobil dan baterai sebagai komponen utama dari kendaraan listrik. Produk dan komponen tersebut harus dibuat di Indonesia.

Menurut Faisal, meski penggunaan EV sudah masif, dominasi penggunaan bahan bakar fosil masih akan tetap besar.

"Jadi ringkasnya, mobil listrik sampai 2040 belum bisa meredam secara signifikan krisis energi. Jadi, yang jadi kunci utama adalah pembenahan migas di dalam negeri. Sampai 2040 dunia masih sangat bergantung pada minyak, gas, dan batu bara," kata Faisal.

Penerapan biodiesel hingga B30 juga dinilai masih belum akan membantu menurunkan nilai defisit migas. Penurunan nilai impor ini hanya bisa dipastikan berhasil jika program ini berjalan 100%.

Namun, penggunaan CPO untuk campuran biodiesel ini juga akan berdampak pada penurunan ekspor CPO. "Sehingga efek netto-nya tak sebesar yang dikatakan pemerintah," kata Faisal.



Faisal membeberkan saat ini Indonesia merupakan konsumen energi terbesar ke-4 di jajaran negara berkembang. Sayangnya, konsumsi yang tinggi ini tak dibarengi dengan produksi energi yang tinggi, malah Indonesia masih mengimpor mayoritas energi yang dikonsumsi.

"Namun, kita harus waspada, karena defisit energi sudah di depan mata. Mulai 2021 diperkirakan kita sudah mengalami defisit energi. Defisit energi akan mengakselerasi jika kita tidak melakukan apa-apa (business as usual). Defisit energi bisa mencapai US$ 80 miliar atau 3% PDB pada 2040," kata Faisal di Jakarta, Minggu (28/7/2019).

Dia menjelaskan, konsumsi energi Indonesia tumbuh 4,9% pada 2018.Sedang pertumbuhan penduduk terus naik di atas 1%. Alih-alihmeningkatkan produksi migas, produksi energi Indonesia secara konsisten mengalami penurunan.




(gus) Next Article Ini 3 Strategi ESDM Tekan Defisit Dagang Minyak

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular