Impor Juni Turun, Defisit Migas RI Mengecil Jadi Rp 13,5 T

Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
15 July 2019 14:04
Defisit migas Juni ini mengecil jadi US$ 966,8 juta atau setara Rp 13,5 triliun
Foto: Infografis/defisit migas ri BENGKAK 44% sepanjang 2018/Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka neraca perdagangan pada Juni 2019. Secara spesifik, nilai impor migas pada Juni 2019 tercatat turun sebesar 19,9% menjadi US$ 1,71 miliar, dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 2,14 miliar.

Adapun, dari sisi ekspor, pada Juni 2019, tercatat ekspor migas sebesar US$ 746,2 juta. Jumlah tersebut turun 34,36% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 1,64 miliar.



Dengan begitu, pada Juni 2019, tercatat neraca migas masih mengalami defisit sebesar US$ 966,8 juta atau setara Rp 13,5 triliun. Kendati demikian, menurut BPS, defisit migas semakin mengecil. Misalnya, dibandingkan defisit migas Mei 2019 yang sebesar US$ 1,04 miliar.

"Tren defisit migas mengecil," ujar Kepala BPS Suhariyanto ketika merilis neraca perdagangan Juni 2019, di Kantor BPS, Jakarta, Senin (15/7/2019).

Suhariyanto menuturkan, penurunan impor migas disebabkan oleh turunnya impor seluruh komponen migas, yaitu minyak mentah sebesar US$ 1,89 miliar atau 41,49%, hasil minyak US$ 1,19 miliar atau 14,75%, dan gas US$ 79,6 juta (5,68%).

Selama tiga belas bulan terakhir, nilai impor migas tertinggi tercatat pada Agustus 2018 dengan nilai mencapai US$ 3,04 miliar dan terendah terjadi di Maret 2019, yaitu US$ 1,52 miliar. 

Adapun, secara kumulatif Januari-Juni 2019, nilai impor migas tercatat turun 22,5% menjadi US$ 10,89 miliar dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 14,06 miliar.

Dari segi volume, pada Juni 2019, volume impor migas tercatat turun menjadi 3,21 juta ton atau 3,65% dibandingkan Juni 2018 yang sebesar 3,33 juta ton. Sementara secara kumulatif, Januari-Juni 2019, volume impor migas mengalami penurunan 16,43% menjadi 19,91 juta ton dari yang sebelumnya 23,82 juta ton pada Januari-Juni 2018.

Terkait soal ini, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengakui, memang sektor migas masih mengalami defisit. Namun, ia memberikan beberapa catatan terkait ekspor-impor migas dan sektor ESDM.

Ia memberikan masukan, dalam mencatat neraca perdagangan nasional, jangan lagi melihat secara sektoral antara migas dan non migas.

Ia menuturkan, pihaknya akan berbicara dengan BPS untuk tak lagi mencatat migas dan non migas sebagai dua sektor berbeda dalam neraca perdagangan. Cukup neraca perdagangan saja sebab komoditas migas digunakan dalam sektor nonmigas nasional sebagai bahan baku.

Arcandra pun mencontohkan, untuk gas, nilai ekspornya turun karena sudah digunakan 60% di dalam negeri. Hal ini, kata dia, justru bagus karena gas yang digunakan lebih banyak ke dalam negeri mengalir ke industri lain seperti petrokimia, pupuk, kaca, plastik, dan lainnya. 

Industri-industri tersebut pun tumbuh dan mengekspor barang jadinya. Tapi, hasil ekspor itu tak masuk dalam kategori migas, melainkan nonmigas. Padahal bahan bakunya dari gas yang porsi ekspornya berkurangan demi mendukung industri lain di luar non migas. 

"Makanya sebaiknya kita melihatnya jangan sektoral lagi karena gas itu berubah wujud, bukan lagi bahan baku LNG yang dieskpor, wujudnya jadi non migas," kata Arcandra di Kementerian ESDM, Jumat malam (12/7/2019).

Kata dia, bisa saja gas yang saat ini jumlahnya surplus, lebih banyak dijual ke luar negeri jika memang ingin menaikkan ekspor migas. Tapi, industri manufaktur di dalam negeri akan kesusahan mencari bahan baku LNG yang turunannya bisa menghasilkan banyak barang jadi seperti pupuk, kaca, dan plastik.

Sementara pada komoditas minyak, Arcandra mengakui, memang terjadi defisit besar karena kebutuhan besar tapi sumbernya sudah terbatas. Jika dulu minyak jadi komoditas dominan, saat ini tak lagi karena produksinya tak banyak, padahal kebutuhan meningkat seiring pertumbuhan ekonomi. 

Saat ini, kebutuhan BBM mencapai sekitar 1-2 juta barel per hari (bph). Sementara, produksi minyak mentah Indonesia rata-rata hanya sekitar 750 ribu bph. Alhasil, pemerintah memang harus mengimpor minyak mentah dan BBM, defisit minyak pun tak terelakkan.

Karena itu, Arcandra mengatakan, jangan menjadikan sektor migas sebagai komoditas ekspor untuk meraup devisa. Karena perubahan jaman, menurutnya, lebih cocok jika migas itu menjadi penggerak ekonomi nasional agar industri berjalan. 

"Dulu migas dominan, komoditas. Kalau gas mau dominan jadi komoditas, ya jual saja LNG-nya. Selesai. Sekarang gas jadi prime mover ekonomi. Dia berubah wujud. Sewaktu berubah wujud, dia enggak jadi migas lagi, tapi nonmigas," lanjutnya.

Di sisi lain, Kementerian ESDM tak hanya menangani sektor migas. Ada juga sektor mineral dan batu bara yang nilai ekspornya surplus. Berdasarkan laporan BPS pada Januari-Mei 2019, sektor minerba menyumbang ekspor surplus USD 10 miliar. 

"Kalau minerba surplus US$ 10 miliar, migasnya minus US$ 2,14 miliar, sebenarnya sektor ini msh menyumbang surplus ekspor Sektor ESDM," pungkasnya.
(gus) Next Article Defisit Neraca Dagang Terparah, Biang Keroknya Migas Lagi?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular