Defisit Migas Sentuh Rp 21,4 T, ESDM: Mei Ini Bakal Turun
Yanurisa Ananta, CNBC Indonesia
15 May 2019 15:20

Jakarta, CNBC Indonesia- Neraca dagang April 2019 mencetak rekor terburuk sepanjang sejarah, mencapai US$ 2,5 miliar atau setara Rp 36 triliun.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suharyanto mengatakan penyebab defisit karena impor yang melonjak untuk kebutuhan hari raya lebaran. "Mendekati lebaran biasanya impor meningkat, tapi dibandingkan April 2018 sebenarnya turun karena ada beberapa komoditas yang dikendalikan impornya," ujarnya saat paparan di kantor BPS, Rabu (15/5/2019).
Lagi-lagi Suharyanto menyinggung sektor migas RI, "Kita bisa lihat (secara month to month) baik kenaikan impor migas 46,99% dan non migas 7,82%," ujarnya.
Rincinya adalah impor migas April 2019 mencapai US$ 2,24 miliar, meroket dibanding Maret lalu yang hanya US$ 1,52 miliar. Namun jika dibandingkan April 2018 di mana impor mencapai US$ 2,33 miliar atau turun 3,8%.
Untuk defisit migas sendiri di April 2019 mencapai US$ 1,49 miliar atau setara Rp 21 triliun, defisit ini akibat impor mencapai US$ 2,24 miliar sementara ekspor hanya US$ 741,9 juta. Impor paling tinggi masih untuk hasil minyak atau bahan bakar minyak sebesar US$ 1,44 miliar.
Menanggapi defisit migas yang dalam di April ini, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto mengatakan angka defisit ini akan turun di Mei 2019.
"Jangan tanya April, lihat Mei-nya bagus," kata dia saat dijumpai di Kementerian ESDM.
Ia memaparkan meski defisit April mencapai US$ 1,49 miliar, di Mei baru masuk dua pekan sudah turun jadi US$ 0,75 miliar. "Impornya turun, solar, avtur, crudenya juga impornya turun."
Sementara dari sisi ekspor migas yang menurun, Joko menjelaskan bahwa minyak dan gas Indonesia lebih diutamakan untuk pasar dalam negeri. "Crude-nya tidak untuk diekspor, untuk dalam negeri. Yang kedua kita menggunakan gas dari tahun ke tahun dari waktu ke waktu untuk dalam negeri. Tidak kita ekspor."
(gus) Next Article Streaming: Defisit Perdagangan 2020 Masih Dibayangi Migas
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suharyanto mengatakan penyebab defisit karena impor yang melonjak untuk kebutuhan hari raya lebaran. "Mendekati lebaran biasanya impor meningkat, tapi dibandingkan April 2018 sebenarnya turun karena ada beberapa komoditas yang dikendalikan impornya," ujarnya saat paparan di kantor BPS, Rabu (15/5/2019).
Rincinya adalah impor migas April 2019 mencapai US$ 2,24 miliar, meroket dibanding Maret lalu yang hanya US$ 1,52 miliar. Namun jika dibandingkan April 2018 di mana impor mencapai US$ 2,33 miliar atau turun 3,8%.
Untuk defisit migas sendiri di April 2019 mencapai US$ 1,49 miliar atau setara Rp 21 triliun, defisit ini akibat impor mencapai US$ 2,24 miliar sementara ekspor hanya US$ 741,9 juta. Impor paling tinggi masih untuk hasil minyak atau bahan bakar minyak sebesar US$ 1,44 miliar.
Menanggapi defisit migas yang dalam di April ini, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto mengatakan angka defisit ini akan turun di Mei 2019.
"Jangan tanya April, lihat Mei-nya bagus," kata dia saat dijumpai di Kementerian ESDM.
Ia memaparkan meski defisit April mencapai US$ 1,49 miliar, di Mei baru masuk dua pekan sudah turun jadi US$ 0,75 miliar. "Impornya turun, solar, avtur, crudenya juga impornya turun."
Sementara dari sisi ekspor migas yang menurun, Joko menjelaskan bahwa minyak dan gas Indonesia lebih diutamakan untuk pasar dalam negeri. "Crude-nya tidak untuk diekspor, untuk dalam negeri. Yang kedua kita menggunakan gas dari tahun ke tahun dari waktu ke waktu untuk dalam negeri. Tidak kita ekspor."
(gus) Next Article Streaming: Defisit Perdagangan 2020 Masih Dibayangi Migas
Most Popular