Jatuh Bangun Sawit RI, Penyelamat Devisa yang Dikepung Eropa

News - Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
29 July 2019 06:45
Eropa masih gencar menyerang sawit dan produk biodiesel RI, mendorong pemanfaatan di dalam negeri untuk selamatkan devisa dan kurangi emisi. Foto: ist
Jakarta, CNBC Indonesia - Tak habis rasanya keringat pemerintah untuk menghadapi tekanan dari Uni Eropa (UE) yang terus menerus mengganjal pemasaran produk sawit Indonesia di luar negeri.

Terakhir, UE akan mengenakan bea masuk anti-subsidi (BMAS) antara 8% hingga 18% terhadap produk impor biodiesel dari Indonesia. Komisi Eropa telah memulai investigasi anti-subsidi pada bulan Desember lalu menyusul keluhan dari Dewan Biodiesel Eropa pada awal 2018. 

Eropa mengklaim telah memiliki bukti kuat adanya subsidi yang dinikmati produsen biodiesel dari pemerintah Indonesia dalam bentuk pembiayaan ekspor, penghapusan pajak, dan penyediaan bahan baku minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di harga yang sangat rendah. 

Jatuh Bangun Sawit RI, Penyelamat Devisa yang Dikepung EropaFoto: Kelapa sawit (REUTERS/Lai Seng Sin)


Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati menyebut langkah Eropa ini sebagai strategi yang terstruktur, sistematis dan masif dalam menolak produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) RI. 

"Mereka nggak mau minyak nabati mereka yang dihasilkan di Eropa itu tersaingi minyak nabati dari Asia. Minyak sawit itu sangat efektif dari segala parameter, kita lebih kompetitif dibandingkan minyak bunga matahari, kedelai. Itulah kenapa kita diserang," ujar Pradnyawati dalam media briefing di kantornya, Jumat (26/7/2019). 

Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan pernah mengatakan serangan Eropa tersebut tak lebih dari perang dagang. Ia menceritakan betapa seringnya sawit di Indonesia dituding sebagai biang kerok deforestasi dan efek negatif lainnya, meskipun tudingan tersebut bisa dijawab pemerintah.

"Apalagi sekarang makin banyak yang ingin gunakan biofuel seperti Indonesia, gunakan sawit, Malaysia mau 20%, Kolombia mau 11%, Peru mau 5%. Saya sampai bicara di depan publik Eropa bahwa yang kembangkan kelapa sawit di Indonesia itu your grandfather," ceritanya, pekan lalu.

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) Dono Boestami menjelaskan tekanan eksternal itu bisa diatasi jika program B20, B30, berjalan sesuai perencanaan.

"Biodiesel kita kalau berjalan bisa serap konsumsi Eropa yang 5 juta sampai 7 juta ton PO, jadi selesai," ujarnya ketika dijumpai CNBC Indonesia, beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan pasar Eropa maupun Amerika Serikat, tetap penting. Tetapi saat ini sedang ada kondisi perang dagang di mana sebenarnya mereka ingin menggenjot penjualan soybean oil. Sementara sawit lebih praktis dan efisien untuk diolah, dan sulit digantikan.

"Ini berkah sawit, hadir di negara kita negara tropis. Kalau misalnya sawit bisa dipanen di Eropa, selesai semua masalah ini."



Juru Selamat di Dalam Negeri
Di Indonesia, sawit kini tak lagi dipandang sebagai komoditas ekspor belaka. Peran sawit digenjot untuk menyelamatkan devisa dari belitan defisit akibat impor migas sekaligus alat memerangi emisi udara.

Mulai 1 September 2018, pemerintah menggalakkan kebijakan B20, yakni mencampur 20% sawit dalam bahan bakar diesel. Ide mencampur sawit dalam BBM ini sebenarnya sudah lahir sejak 2005. Saat itu Indonesia sudah menyadari bahwa konsumsi BBM terus membengkak sementara produksi terus melorot.

"Dulu concern-nya adalah ketahanan energi, pengentasan kemiskinan. Sekarang tidak, misi kita adalah kurangi defisit perdagangan kalau ini tidak berhasil rupiah yang akan hancur," tutur Paulus menceritakan latar belakang kebijakan tersebut.

Jatuh Bangun Sawit RI, Penyelamat Devisa yang Dikepung EropaFoto: Infografis/B20 SANG PENYELAMAT RUPIAH/Aristya Rahadian Krsabella


Semula, biofuel direncanakan menggunakan jarak. Praktiknya sangat sulit menemui tumbuhan tersebut, sebelum akhirnya menguji dengan sawit dan bisa digunakan.

Lantas, seberapa efektifkah kebijakan B20 ini?
Sejak berlaku pada 1 September, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di empat bulan pertama kebijakan tersebut berjalan B20 bisa menekan impor hingga US$ 937,84 juta atau setara Rp 13 triliun.

Sementara terhitung sejak Januari 2019 sampai dengan 30 Juni 2019, serapan biodiesel ada di 2,9 juta kiloliter (kl). "Itu sekitar 46,78% dari target yang sebesar 6,2 juta kl," ujar Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Andriah Feby.



Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan juga menekankan jika kebijakan efektif maka penghematan yang bisa dicapai RI sekitar US$ 3 miliar atau sebanyak Rp 42 triliun.

Hitungan APROBI, biodiesel bisa terserap hingga 6,2 juta KL di 2019 dan menghasilkan penghematan US$ 3,3 miliar. Jika B30 ikut diterapkan dan berlaku penuh di 2020, angka penghematan bisa lebih tinggi lagi, yakni US$ 4,9 miliar untuk serapan 9,3 juta KL biodiesel.

"Sementara untuk pengurangan emisi 16 juta ton CO2 equivalent," jelasnya.

Peran kelapa sawit, kata Luhut, sangat penting dan harus dipadukan dengan teknologi agar bisa menjadi bahan bakar ramah lingkungan. "Ada potensinya, dan ada cost yang tentu bisa dikendalikan. Kalau kita lihat impor menurun dengan adanya B20, kalau kita bikin B30 itu akan sangat berpengaruh, potensi green fuel ini sangat penting," kata dia. 

[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Ini 3 Strategi ESDM Tekan Defisit Dagang Minyak


(gus/gus)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading