Berharap di B20, ESDM 'Pede' Turunkan Subsidi & Kuota Solar

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
21 June 2019 16:40
Subsidi solar turun jadi Rp 1.500 per liter dan alokasi kuota jadi 14 juta KL, berharap pada kesuksesan B20 dan B20 untuk turunkan konsumsi solar.
Foto: Launching Bahan Bakar B 30 (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia-Pemerintah bersama Komisi VII DPR RI memutuskan subsidi solar sebesar Rp 1.500 per liter, atau lebih kecil dari usulan semula Rp 2.000 per liter. Nilai subsidi per liter ini merupakan yang tertinggi di masa pemerintahan Joko Widodo yang disepakati secara resmi dengan DPR. 

Semula, angka subsidi diusulkan Rp 2.500 per liter sebelum kemudian direvisi menjadi Rp 2.000. "Kami mengusulkan untuk besaran subsidi untuk solar Rp 2.000 per liter," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Ignasius Jonan di DPR, Kamis malam (20/6/2019).

Usulan Jonan ini diambil dengan pertimbangan pada tahun berjalan 2019 pemerintah memang menaikkan dana transfer subsidi ke Pertamina senilai Rp 2.000 per liter (dari alokasi semula Rp 500/liter), karena BUMN energi tersebut menanggung beban besar untuk mendistribusikan BBM bersubsidi ini.

Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, usulan tersebut terhitung melesat, atau naik empat kali lipat dari alokasi tahun lalu yang hanya di kisaran Rp 500. Kenaikan itu terjadi karena pemerintah ingin meringankan beban Pertamina dalam mendistribusikan bahan bakar minyak (BBM) subsidi ini.

Namun, angka Rp 2000 itu juga ditolak oleh Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu yang menyatakan perlu pemangkasan agar dana pemerintah bisa dialokasikan untuk sektor lain. "Rapat mensepakati biaya subsidi solar batas atas maksimal Rp 1.500 per liter," ujarnya.

Dengan penetapan subsidi solar senilai Rp 1.500 per liter, pemerintah dan DPR menetapkan angka tertinggi dalam sepanjang sejarah pemerintahan Joko Widodo. Terakhir, alokasi tertinggi dicatatkan pada 2015 dengan nilai Rp 1.000 per liter.


Jika dihitung secara akumulatif, tahun 2018 menjadi tahun terbesar pengeluaran subsidi solar dari pemerintah karena kewajiban BBM satu harga. Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 191/2014, Pertamina menjual Premium seharga Rp 6.450/liter, dan solar seharga Rp 5.150/liter untuk seluruh pelosok di Tanah Air.

Kebijakan yang dirilis pada 2016 tersebut mulai efektif diberlakukan pada tahun 2017. Namun, Pertamina mulai "angkat tangan" pada tahun 2018, sehingga pemerintah memberikan kompensasi untuk tahun periode 2017 dan 2018 setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) turun tangan melakukan audit.

Alokasi kekurangan penerimaan atas selisih harga dalam penyaluran Solar tahun 2018 tercatat sebesar Rp29,31 triliun atau US$2 juta. Sementara itu, piutang pemerintah ke Pertamina untuk pos yang sama pada tahun 2017 tercatat sebesar Rp 18 triliun (US$1,3 juta).

Namun untuk tahun ini, alokasi solar ditetapkan sebesar 14 juta kiloliter (KL) atau lebih rendah dari alokasi tahun lalu sebesar 15,4 juta KL. Biodisel diharapkan menjadi kunci untuk mengurangi beban subsidi tahun ini, setelah tahun lalu pemerintah menyalurkan biodisel sebanyak 16 juta KL.

Pemerintah berencana menaikkan besaran FAME dalam biodisel menjadi sebesar 30%, dari sebelumnya 20%. Dari situ, diharapkan ada penghematan impor solar hingga senilai Rp 70 triliun. Itulah mengapa secara total alokasi subsidi solar tahun ini hanya di Rp 22 triliun untuk 14,5 juta KL (turun dari tahun lalu 15,4 juta KL), atau lebih kecil dari tahun lalu Rp 31 triliun.

Itu, tentu saja, dengan asumsi konsumsi tidak melonjak.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/gus) Next Article Kuota Solar Subsidi Jebol, BPH Migas Pantau 10 Provinsi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular