
Tegang! Orang Korea Tak Mau Pakai Uniqlo, Kenapa?
CNBC Indonesia, CNBC Indonesia
27 July 2019 06:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Tensi politik antara Korea Selatan (Korsel) dan Jepang tampaknya sedang memanas. Memang belum ada pernyataan resmi dari kedua pemimpin negara yang menyebutkan sedang terjadi konflik.
Namun situasi sudah mulai memanas dan hubungan dagang antara kedua negara mulai terganggu. Lebih parahnya lagi, SPBU-SPBU di Korsel menolak menjual bahan bakar ke mobil-mobil buatan Jepang dan beberapa pusat layanan otomotif juga telah membentuk aliansi untuk menolak melayani mobil Jepang.
Selain itu, beberapa toko dan swalayan di Korsel dipasangi poster yang menyerukan tidak menggunakan produk Jepang ataupun pergi ke Negeri Sakura. Bahkan, ribuan warga Korea Selatan juga telah menandatangani petisi yang diposting oleh warga di situs web kantor kepresidenan.
Petisi itu menyerukan untuk memboikot produk-produk Jepang dan tidak melakukan perjalanan ke Jepang, dan agar Korea Selatan tidak menghadiri Olimpiade Musim Panas Tokyo tahun depan. Langkah ini merupakan buntut dari pembatasan ekspor oleh Jepang ke Korea Selatan yang mulai diterapkan awal Juli lalu.
Dampaknya salah satu brand pakaian ternama Jepang, Uniqlo, mengalami penurunan penjualan di Korsel. Takeshi Okazaki, kepala keuangan Fast Retailing Co., perusahaan induk Uniqlo mengatakan dampak dari pelarangan ini hanya sementara.
Namun, menurut sebuah analisis oleh perusahaan kartu kredit yang dikutip oleh surat kabar JoongAng Ilbo, jumlah pembelian kartu kredit di toko Uniqlo di Korea Selatan telah turun 26% baru-baru ini.
Salah seorang pegawai Uniqlo, Kim Hyun-jin, bahkan mengatakan dampak pemboikotan produk Jepang ini telah mempengaruhi status pekerjaannya. Wanita yang sudah bekerja selama dua tahun di Uniqlo ini mengatakan mulai merasa tidak nyaman melihat tanggapan orang ketika mengetahui tempat kerjanya.
"Ketika saya mengatakan saya bekerja di Uniqlo, orang-orang berpikir saya melakukan sesuatu yang sangat salah dan itu membuat saya merasa sangat tidak nyaman. Saya berharap semuanya kembali normal segera," katanya kepada The Korea Herald, yang dikutip Asia News Network.
Lebih lanjut, ketengangan ini semakin memuncak setelah baru-baru ini pemerintahan Negeri Ginseng melayangkan keluhan ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) pada hari Rabu (24/6/2019) terkait rencana pemerintah Negeri Sakura untuk menaikkan hambatan atau barrier perdagangan kedua negara.
Jepang memang telah membuat marah Korea Selatan karena rencana "menormalkan" prosedur perdagangan yang saat ini "disederhanakan," dimana hal tersebut akan secara efektif membatasi ekspor ke Korea Selatan dan berpotensi menciptakan penghalang yang dapat mengganggu pasokan global.
Ketegangan antar dua negara kembali mengemuka setelah, 1 Juli 2019 Jepang mengumumkan akan membatasi ekspor tiga bahan kimia ke Korea Selatan, yakni, fluorinated polyimide, resist dan hydrogen fluoride. Ketiganya merupakan bahan baku utama untuk membuat semikonduktor dan display layar.
Langkah ini mengancam akan mengacaukan rantai pasokan semikonduktor bagi perusahaan-perusahaan Korea Selatan dan global.
Hal ini terjadi karena Jepang memproduksi sekitar 90% pasokan global polimida berfluorin dan resist, dan sekitar 70% untuk hidrogen fluorida. Dominasi global Jepang atas bahan-bahan kimia itu akan menyulitkan perusahaan Korea Selatan untuk mencari alternatif ketika pasokan mereka terganggu.
Mengutip berbagai sumber, pembatasan ekspor yang dilakukan Jepang karena alasan keamanan nasional. Jepang menuduh Korea Selatan memberi akses ke Korea Utara untuk mendapat beberapa bahan tersebut.
Hal ini membahayakan karena ketiga bahan itu juga bisa digunakan untuk merakit perangkat militer, sementara Korea Utara saat ini sedang berada di bawah sanksi dan dilarang mengembangkan program senjata nuklir. Korea Selatan menentang tuduhan itu.
Para ahli juga mengatakan itu bukanlah alasan sebenarnya dari pembatasan. Mereka mengatakan bahwa pokok dari permasalahan ini adalah kasus pengadilan Korea Selatan akhir tahun lalu, yang memutuskan bahwa perusahaan pembuat baja terbesar Jepang, Nippon Steel, telah menjalankan kerja paksa terhadap warga Korea Selatan selama Perang Dunia II.
Pengadilan memutuskan bahwa Nippon Steel harus membayar kompensasi kepada beberapa warga Korea Selatan yang menjadi korban, yaitu sebesar sekitar US$ 89 ribu atau setara Rp 1,2 miliar (estimasi kurs Rp 14 ribu per dolar) per orang.
Pengadilan juga menyita saham yang dimiliki Nippon Steel di sebuah perusahaan Korea Selatan tetapi belum menjualnya. Kasus serupa juga menimpa perusahaan Jepang lainnya, termasuk Mitsubishi Heavy Industries.
Namun, Jepang berpendapat bahwa pihaknya telah menebus kesalahan itu dengan penyelesaian moneter yang tertera dalam perjanjian 1965, sebuah perjanjian yang membangun kembali hubungan diplomatik antara kedua negara. Tetapi, pengadilan Korea Selatan tidak sependapat dengan Jepang.
Selain dikhawatirkan mengancam rantai pasokan, dampak dari pembatasan ini juga telah membuat marah warga Korea Selatan.
Situasi tersebut direspons oleh warga Korea Selatan dengan menyerukan ajakan untuk tidak menggunakan produk Jepang ataupun pergi ke Negeri Sakura. Beberapa toko dan swalayan di Korea Selatan bahkan dipasangi poster yang menyerukan ajakan tersebut.
Selain itu, ribuan warga Korea Selatan juga telah menandatangani petisi yang diposting oleh warga di situs web kantor kepresidenan.
"Kami akan terus memboikot konsumsi dan distribusi produk-produk Jepang sampai pemerintah Jepang dan pemerintahan (Perdana Menteri Shinzo) Abe meminta maaf dan menarik pembalasan ekonominya," kata Kim Sung-min, presiden Asosiasi Mart Korea, mengutip Japan Today, Senin (15/7/2019). Duta Besar Jepang Junichi Ihara mengatakan bahwa perubahan dalam prosedur perdagangan adalah hak prerogatif Jepang, tidak ada yang aneh atau salah dari keputusan tersebut. Kemudian ketiga bahan tersebut dipilih karena adanya laporan yang mengatakan penggunaan untuk kepentingan militer, dilansir Japan Today.
Hal ini juga secara tidak langsung mencerminkan kegagalan Korsel untuk mempertahankan dialog dagang yang saling menguntungkan, seperti diwartakan Japan Today.
Lebih lanjut, keluhan Korea Selatan sejatinya tidak terkait dengan masalah perdagangan atau pertahanan, tapi terkait keunggulan dalam hubungan diplomatik dan sejarah di masa lalu yang belum selesai.
"Ini sama sekali bukan urusan perdagangan, itu sama sekali bukan urusan keamanan, itu murni direncanakan secara strategis untuk mendapatkan keunggulan dalam barisan diplomatik, maksud saya masalah perburuhan paksa," ujar Kim Seung-Ho, Deputi Kementerian Perdagangan Korea Selatan, dikutip Japan Today.
Sebagai informasi, awal mula kisruh kedua negara adalah terkait keputusan pengadilan Korsel tahun lalu yang meminta perusahaan-perusahaan Jepang untuk membayar kompensasi kepada warga Negeri Sakura yang dipekerjakan paksa oleh saat masa penjajagan Jepang dari tahun 1910-1945.
Sedangkan, pihak Negeri Sakura menganggap masalah tersebut telah diselesaikan dengan perjanjian (treaty) yang ditandatangani kedua negara di tahun 1965. Belum lagi, Jepang juga sudah memberikan bantuan ekonomi skala besar yang berkontribusi mendongkrak perekonomian Negeri Gingseng, dilansir CNBC International.
Akan tetapi, Seoul menganggap treaty itu tidak mencakup isu-isu sensitif seperti wanita Korsel yang dipaksa menjadi budak seksual oleh tentara kekaisaran Jepang, dan meminta pemerintah Jepang untuk meminta maaf kepada rakyat Korsel.
Untuk diketahui, pada 1995 Perdana Menteri Jepang Tomiichi Murayama telah meminta maaf kepada negara-negara yang pernah dijajah oleh Jepang. Lalu tahun 2015, Perdana Menteri Shinzo Abe juga melakukan tindakan yang sama, dilansir South China Morning Post.
Namun Korsel tidak menerima permintaan maaf tersebut, karena tidak ditujukan langsung untuk negaranya.
Apabila ketegangan politik antara kedua negara tidak menemui titik temu, analis memperkirakan bahwa akan kekacauan pada pasokan material semikonduktor yang merupakan bahan baku penting untuk membuat komputer, ponsel, dan display layer.
Negeri Gingseng adalah rumah bagi perusahaan raksasa semikonduktor seperti Samsung Electronics dan SK Hynix, yang memasok 61% komponen yang digunakan dalam memproduksi chip memori global, tulis IHS Markit, seperti dilansir CNBC International.
Lebih lanjut melansir situs UNComtrade Database, komoditas semikonduktor yang digunakan untuk keperluan produksi alat elektronik masuk dalam kode HS 8486 dan 8541. Di tahun 2018, total ekspor produk HS 8486 tercatat sebesar US$ 79,48 miliar, dimana sekitar 12% dieskpor Jepang, dan sekitar 8% diekspor dari Korsel.
Lalu total ekspor produk HS 8541 tercatat senilai US$ 74,57 miliar, yang sekitar 31% dikirimkan dari Jepang dan 11% diekspor dari Korsel.
Alhasil bisa dikatakan kedua negara tersebut merupakan pelaku utama yang memasok material semikonduktor ke pasar global.
Jika barrier untuk mengekspor 3 bahan kimia ke Korsel tidak dicabut Jepang maka produksi dari penjualan semikonduktor asal Negeri Ginseng akan terganggu, dan hal ini akan mengakibatkan pada penurunan drastis akan pasokan memori chip dunia yang berujung pada peningkatan harga, ujar Biswas dari HIS Markit, dilansir CNBC International.
"Produk akhir, termasuk server, ponsel, komputer PC, dan berbagai produk konsumen akan sangat terpengaruh," tambah Biswas.
Lebih lanjut, berdasarkan data UNComtrade, pada tahun lalu total impor Indonesia sebesar US$ 188,71 miliar, dimana impor produk dari Korsel dan Jepang dengan kode HS 8541 dan 8486 hanya mencapai US$ 139,42 juta atau setara 0,07%. Jadi, Indonesia sejatinya tidak terlalu banyak memesan bahan semikonduktor.
Meskipun demikian, besar kemungkinan Indonesia dapat terkena dampak dari sisi lain, yaitu investasi dan transaksi perdagangan internasional.
Hubungan Ekonomi Jepang & Korsel Memanas
[Gambas:Video CNBC]
(hps/hps) Next Article Ribut Dengan Jepang, Penjualan Uniqlo Anjlok di Korsel
Namun situasi sudah mulai memanas dan hubungan dagang antara kedua negara mulai terganggu. Lebih parahnya lagi, SPBU-SPBU di Korsel menolak menjual bahan bakar ke mobil-mobil buatan Jepang dan beberapa pusat layanan otomotif juga telah membentuk aliansi untuk menolak melayani mobil Jepang.
Selain itu, beberapa toko dan swalayan di Korsel dipasangi poster yang menyerukan tidak menggunakan produk Jepang ataupun pergi ke Negeri Sakura. Bahkan, ribuan warga Korea Selatan juga telah menandatangani petisi yang diposting oleh warga di situs web kantor kepresidenan.
Petisi itu menyerukan untuk memboikot produk-produk Jepang dan tidak melakukan perjalanan ke Jepang, dan agar Korea Selatan tidak menghadiri Olimpiade Musim Panas Tokyo tahun depan. Langkah ini merupakan buntut dari pembatasan ekspor oleh Jepang ke Korea Selatan yang mulai diterapkan awal Juli lalu.
Dampaknya salah satu brand pakaian ternama Jepang, Uniqlo, mengalami penurunan penjualan di Korsel. Takeshi Okazaki, kepala keuangan Fast Retailing Co., perusahaan induk Uniqlo mengatakan dampak dari pelarangan ini hanya sementara.
Namun, menurut sebuah analisis oleh perusahaan kartu kredit yang dikutip oleh surat kabar JoongAng Ilbo, jumlah pembelian kartu kredit di toko Uniqlo di Korea Selatan telah turun 26% baru-baru ini.
Salah seorang pegawai Uniqlo, Kim Hyun-jin, bahkan mengatakan dampak pemboikotan produk Jepang ini telah mempengaruhi status pekerjaannya. Wanita yang sudah bekerja selama dua tahun di Uniqlo ini mengatakan mulai merasa tidak nyaman melihat tanggapan orang ketika mengetahui tempat kerjanya.
"Ketika saya mengatakan saya bekerja di Uniqlo, orang-orang berpikir saya melakukan sesuatu yang sangat salah dan itu membuat saya merasa sangat tidak nyaman. Saya berharap semuanya kembali normal segera," katanya kepada The Korea Herald, yang dikutip Asia News Network.
Lebih lanjut, ketengangan ini semakin memuncak setelah baru-baru ini pemerintahan Negeri Ginseng melayangkan keluhan ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) pada hari Rabu (24/6/2019) terkait rencana pemerintah Negeri Sakura untuk menaikkan hambatan atau barrier perdagangan kedua negara.
Jepang memang telah membuat marah Korea Selatan karena rencana "menormalkan" prosedur perdagangan yang saat ini "disederhanakan," dimana hal tersebut akan secara efektif membatasi ekspor ke Korea Selatan dan berpotensi menciptakan penghalang yang dapat mengganggu pasokan global.
![]() |
Langkah ini mengancam akan mengacaukan rantai pasokan semikonduktor bagi perusahaan-perusahaan Korea Selatan dan global.
Hal ini terjadi karena Jepang memproduksi sekitar 90% pasokan global polimida berfluorin dan resist, dan sekitar 70% untuk hidrogen fluorida. Dominasi global Jepang atas bahan-bahan kimia itu akan menyulitkan perusahaan Korea Selatan untuk mencari alternatif ketika pasokan mereka terganggu.
Mengutip berbagai sumber, pembatasan ekspor yang dilakukan Jepang karena alasan keamanan nasional. Jepang menuduh Korea Selatan memberi akses ke Korea Utara untuk mendapat beberapa bahan tersebut.
Hal ini membahayakan karena ketiga bahan itu juga bisa digunakan untuk merakit perangkat militer, sementara Korea Utara saat ini sedang berada di bawah sanksi dan dilarang mengembangkan program senjata nuklir. Korea Selatan menentang tuduhan itu.
Para ahli juga mengatakan itu bukanlah alasan sebenarnya dari pembatasan. Mereka mengatakan bahwa pokok dari permasalahan ini adalah kasus pengadilan Korea Selatan akhir tahun lalu, yang memutuskan bahwa perusahaan pembuat baja terbesar Jepang, Nippon Steel, telah menjalankan kerja paksa terhadap warga Korea Selatan selama Perang Dunia II.
Pengadilan memutuskan bahwa Nippon Steel harus membayar kompensasi kepada beberapa warga Korea Selatan yang menjadi korban, yaitu sebesar sekitar US$ 89 ribu atau setara Rp 1,2 miliar (estimasi kurs Rp 14 ribu per dolar) per orang.
Pengadilan juga menyita saham yang dimiliki Nippon Steel di sebuah perusahaan Korea Selatan tetapi belum menjualnya. Kasus serupa juga menimpa perusahaan Jepang lainnya, termasuk Mitsubishi Heavy Industries.
Namun, Jepang berpendapat bahwa pihaknya telah menebus kesalahan itu dengan penyelesaian moneter yang tertera dalam perjanjian 1965, sebuah perjanjian yang membangun kembali hubungan diplomatik antara kedua negara. Tetapi, pengadilan Korea Selatan tidak sependapat dengan Jepang.
Selain dikhawatirkan mengancam rantai pasokan, dampak dari pembatasan ini juga telah membuat marah warga Korea Selatan.
Situasi tersebut direspons oleh warga Korea Selatan dengan menyerukan ajakan untuk tidak menggunakan produk Jepang ataupun pergi ke Negeri Sakura. Beberapa toko dan swalayan di Korea Selatan bahkan dipasangi poster yang menyerukan ajakan tersebut.
Selain itu, ribuan warga Korea Selatan juga telah menandatangani petisi yang diposting oleh warga di situs web kantor kepresidenan.
"Kami akan terus memboikot konsumsi dan distribusi produk-produk Jepang sampai pemerintah Jepang dan pemerintahan (Perdana Menteri Shinzo) Abe meminta maaf dan menarik pembalasan ekonominya," kata Kim Sung-min, presiden Asosiasi Mart Korea, mengutip Japan Today, Senin (15/7/2019). Duta Besar Jepang Junichi Ihara mengatakan bahwa perubahan dalam prosedur perdagangan adalah hak prerogatif Jepang, tidak ada yang aneh atau salah dari keputusan tersebut. Kemudian ketiga bahan tersebut dipilih karena adanya laporan yang mengatakan penggunaan untuk kepentingan militer, dilansir Japan Today.
Hal ini juga secara tidak langsung mencerminkan kegagalan Korsel untuk mempertahankan dialog dagang yang saling menguntungkan, seperti diwartakan Japan Today.
Lebih lanjut, keluhan Korea Selatan sejatinya tidak terkait dengan masalah perdagangan atau pertahanan, tapi terkait keunggulan dalam hubungan diplomatik dan sejarah di masa lalu yang belum selesai.
"Ini sama sekali bukan urusan perdagangan, itu sama sekali bukan urusan keamanan, itu murni direncanakan secara strategis untuk mendapatkan keunggulan dalam barisan diplomatik, maksud saya masalah perburuhan paksa," ujar Kim Seung-Ho, Deputi Kementerian Perdagangan Korea Selatan, dikutip Japan Today.
Sebagai informasi, awal mula kisruh kedua negara adalah terkait keputusan pengadilan Korsel tahun lalu yang meminta perusahaan-perusahaan Jepang untuk membayar kompensasi kepada warga Negeri Sakura yang dipekerjakan paksa oleh saat masa penjajagan Jepang dari tahun 1910-1945.
Sedangkan, pihak Negeri Sakura menganggap masalah tersebut telah diselesaikan dengan perjanjian (treaty) yang ditandatangani kedua negara di tahun 1965. Belum lagi, Jepang juga sudah memberikan bantuan ekonomi skala besar yang berkontribusi mendongkrak perekonomian Negeri Gingseng, dilansir CNBC International.
Akan tetapi, Seoul menganggap treaty itu tidak mencakup isu-isu sensitif seperti wanita Korsel yang dipaksa menjadi budak seksual oleh tentara kekaisaran Jepang, dan meminta pemerintah Jepang untuk meminta maaf kepada rakyat Korsel.
Untuk diketahui, pada 1995 Perdana Menteri Jepang Tomiichi Murayama telah meminta maaf kepada negara-negara yang pernah dijajah oleh Jepang. Lalu tahun 2015, Perdana Menteri Shinzo Abe juga melakukan tindakan yang sama, dilansir South China Morning Post.
Namun Korsel tidak menerima permintaan maaf tersebut, karena tidak ditujukan langsung untuk negaranya.
Apabila ketegangan politik antara kedua negara tidak menemui titik temu, analis memperkirakan bahwa akan kekacauan pada pasokan material semikonduktor yang merupakan bahan baku penting untuk membuat komputer, ponsel, dan display layer.
Negeri Gingseng adalah rumah bagi perusahaan raksasa semikonduktor seperti Samsung Electronics dan SK Hynix, yang memasok 61% komponen yang digunakan dalam memproduksi chip memori global, tulis IHS Markit, seperti dilansir CNBC International.
Lebih lanjut melansir situs UNComtrade Database, komoditas semikonduktor yang digunakan untuk keperluan produksi alat elektronik masuk dalam kode HS 8486 dan 8541. Di tahun 2018, total ekspor produk HS 8486 tercatat sebesar US$ 79,48 miliar, dimana sekitar 12% dieskpor Jepang, dan sekitar 8% diekspor dari Korsel.
Lalu total ekspor produk HS 8541 tercatat senilai US$ 74,57 miliar, yang sekitar 31% dikirimkan dari Jepang dan 11% diekspor dari Korsel.
Alhasil bisa dikatakan kedua negara tersebut merupakan pelaku utama yang memasok material semikonduktor ke pasar global.
Jika barrier untuk mengekspor 3 bahan kimia ke Korsel tidak dicabut Jepang maka produksi dari penjualan semikonduktor asal Negeri Ginseng akan terganggu, dan hal ini akan mengakibatkan pada penurunan drastis akan pasokan memori chip dunia yang berujung pada peningkatan harga, ujar Biswas dari HIS Markit, dilansir CNBC International.
"Produk akhir, termasuk server, ponsel, komputer PC, dan berbagai produk konsumen akan sangat terpengaruh," tambah Biswas.
Lebih lanjut, berdasarkan data UNComtrade, pada tahun lalu total impor Indonesia sebesar US$ 188,71 miliar, dimana impor produk dari Korsel dan Jepang dengan kode HS 8541 dan 8486 hanya mencapai US$ 139,42 juta atau setara 0,07%. Jadi, Indonesia sejatinya tidak terlalu banyak memesan bahan semikonduktor.
Meskipun demikian, besar kemungkinan Indonesia dapat terkena dampak dari sisi lain, yaitu investasi dan transaksi perdagangan internasional.
Hubungan Ekonomi Jepang & Korsel Memanas
[Gambas:Video CNBC]
(hps/hps) Next Article Ribut Dengan Jepang, Penjualan Uniqlo Anjlok di Korsel
Most Popular