Nasib Berat Petani Karet: Harga Turun, Ekspor Anjlok
26 July 2019 14:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Komoditas karet tengah terpuruk di semester I-2019. Volume ekspor anjlok hingga 200.000 ton per tahun, pemicunya karena produksi terganggu akibat penyakit tanaman.
Anjloknya produksi karet ditengarai akibat serangan jamur Pestalotiopsis sp. atau penyakit gugur daun. Jamur ini menyerang total 381 ribu hektare lahan karet atau sekitar 10% dari total lahan.
Ketua Asosiasi Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo menjelaskan kondisi tersebut turut dipengaruhi pasar internasional.
"Pelajaran bahwa bahaya yang terlalu lama dibiarkan rendah berakibat rusaknya satu sektor satu sektor dari satu negara. Jadi ini bahaya jika sangat rendah apalagi kalau sampai di titik terendah tidak bisa balik," kata Moenardji saat diwawancara dalam acara Squawk Box CNBC Indonesia, Jumat (26/7/2019).
Pembatasan ekspor yang seharusnya mendongkrak naik harga karet ternyata tidak terjadi pada periode tersebut. Imbasnya berakibat pada pendapatan petani.
Dengan pendapatan kecil, petani disebut tidak mampu mengeluarkan biaya untuk melakukan perawatan pohon karet. Apalagi 90% perkebunan karet merupakan perkebunan rakyat.
"Kami bisa merasa petani berat. Tapi pasar malah turun. Ekspor negara produsen turun yang seharusnya harga naik," ucapnya.
Untuk idealnya, Moenardji memperkirakan harga karet berkisar di antara US$ 1.800-2.000 per ton atau sekitar US$1,8 hingga US$ 2 per kg. Kementerian Pertanian menyebut harga karet di tingkat internasional sebesar US$1,4 per kg.
Ia mengatakan pohon karet yang terkena penyakit gugur daun masih dapat dipanen, namun produksinya turun. Ia memproyeksikan produksi karet tahun ini turun 15 persen dibanding tahun 2018.
Ia juga optimistis masalah penyakit gugur daun dapat teratasi dengan kesungguhan pemerintah.
(hoi/hoi)
Anjloknya produksi karet ditengarai akibat serangan jamur Pestalotiopsis sp. atau penyakit gugur daun. Jamur ini menyerang total 381 ribu hektare lahan karet atau sekitar 10% dari total lahan.
Ketua Asosiasi Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo menjelaskan kondisi tersebut turut dipengaruhi pasar internasional.
"Pelajaran bahwa bahaya yang terlalu lama dibiarkan rendah berakibat rusaknya satu sektor satu sektor dari satu negara. Jadi ini bahaya jika sangat rendah apalagi kalau sampai di titik terendah tidak bisa balik," kata Moenardji saat diwawancara dalam acara Squawk Box CNBC Indonesia, Jumat (26/7/2019).
Pembatasan ekspor yang seharusnya mendongkrak naik harga karet ternyata tidak terjadi pada periode tersebut. Imbasnya berakibat pada pendapatan petani.
Dengan pendapatan kecil, petani disebut tidak mampu mengeluarkan biaya untuk melakukan perawatan pohon karet. Apalagi 90% perkebunan karet merupakan perkebunan rakyat.
"Kami bisa merasa petani berat. Tapi pasar malah turun. Ekspor negara produsen turun yang seharusnya harga naik," ucapnya.
Untuk idealnya, Moenardji memperkirakan harga karet berkisar di antara US$ 1.800-2.000 per ton atau sekitar US$1,8 hingga US$ 2 per kg. Kementerian Pertanian menyebut harga karet di tingkat internasional sebesar US$1,4 per kg.
Ia mengatakan pohon karet yang terkena penyakit gugur daun masih dapat dipanen, namun produksinya turun. Ia memproyeksikan produksi karet tahun ini turun 15 persen dibanding tahun 2018.
Ia juga optimistis masalah penyakit gugur daun dapat teratasi dengan kesungguhan pemerintah.
Artikel Selanjutnya
Jurus Baru Kerek Harga Karet
(hoi/hoi)