Industri Tekstil Sedang Jadi Sorotan, Masih Sunset?
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
25 July 2019 16:22

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tanah air sedang dalam sorotan pasca terkuatnya dugaan gagal bayar obligasi Duniatex, mencuat ke publik. Di luar persoalan itu, industri TPT juga terkena dampak perselisihan dagang antara Amerika Serikat dengan China telah secara signifikan mempengaruhi industri tekstil di Indonesia.
Ekonom menilai, pelaku industri tekstil harus mulai berbenah dengan mendiversifikasi produk maupun membidik segmen baru agar bisa bertahan.
Berdasarkan catatan S&P, bea masuk baru senilai 25% yang dikenakan oleh AS untuk produk impor asal China, termasuk tekstil, telah membuat produsen tekstil asal China merelokasi penjualannya ke negara-negara yang lebih bersahabat seperti Indonesia. Hal ini sudah terjadi sejak Mei 2019.
Gempuran produk dari China membuat pasar tekstil dalam negeri kebanjiran pasokan (oversupply) sehingga harga pun jatuh. Di saat yang bersamaan, S&P mencatat, konsumsi masyarakat Indonesia sedang relatif lemah.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menyatakan, secara sektoral industri tekstil tanah air mengalami perlambatan sejak lima tahun terakhir ini.
Perusahaan yang bergerak di sektor ini, harus mulai merambah ke industri pakaian jadi yang memiliki nilai tambah tinggi. Hal ini, kata dia, juga bisa berlaku bagi Duniatex Group.
"Kalau Duniatex tidak masuk ke industri pakaian jadi, hilir bisa jadi (terdampak perang dagang) karena sudah kalah bersaing dengan China," kata Enny, saat ditemui di Menara Astra, Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Lana Soelistianingsih, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menuturkan hal yang senada. Perang dagang memang bisa menjadi salah satu faktor penyebab industri tekstil makin tertekan. Namun, di sisi lain, perusahaan juga bisa mengambil peluang dari perang dagang tersebut dengan menghasilkan produk-produk tekstil yang berkualitas tinggi dan menyasar pasar kelas menengah atas (high end).
"Tekstil sebetulnya sudah membaik, hanya sektornya memang sudah sunset, dengan perang dagang harusnya bisa memanfaatkan peluang itu dengan mencari segmen baru," kata Lana, kepada CNBC Indonesia, Kamis (25/7/2019).
Ia mencontohkan, produk tekstil bisa memasarkan produk pakaian jadi muslim yang berkualitas baik dan menyasar kelas menengah atas yang diekspor ke negara-negara di Timur Tengah.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menilai kondisi industri tekstil dalam negeri masih dalam keadaan baik. Menurutnya, nilai ekspor ditargetkan tumbuh jadi US$ 14,6 miliar.
Namun, penyakit lama soal serbuan barang impor masih jadi persoalan industri yang sering disebut "sunset" ini. Sunset dalam arti, industri ini dianggap berisiko tinggi untuk penyaluran kredit.
"Kami menyadari bahwa iklim usaha saat ini belum sempurna, khususnya pada sektor impor untuk konsumsi domestik yang berlebihan walau barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri," ungkapnya.
Sementara itu, bankir melihat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tak semuanya dianggap suram karena tergantung tata kelola perusahaan masing-masing. Meski industri TPT sudah lama dianggap sebagai industri yang sunset.
"Jadi nggak bisa kita vonis tekstil jelek, ada yang bagus ada yang jelek. Tergantung patuh kelola risiko," kata Direktur Utama Bank BCA Jahja Setiaatmadja di Jakarta, Rabu (25/7)
(hoi/hoi) Next Article Industri Tekstil Megap-Megap, Kemenperin Salahkan Upah
Ekonom menilai, pelaku industri tekstil harus mulai berbenah dengan mendiversifikasi produk maupun membidik segmen baru agar bisa bertahan.
Berdasarkan catatan S&P, bea masuk baru senilai 25% yang dikenakan oleh AS untuk produk impor asal China, termasuk tekstil, telah membuat produsen tekstil asal China merelokasi penjualannya ke negara-negara yang lebih bersahabat seperti Indonesia. Hal ini sudah terjadi sejak Mei 2019.
Gempuran produk dari China membuat pasar tekstil dalam negeri kebanjiran pasokan (oversupply) sehingga harga pun jatuh. Di saat yang bersamaan, S&P mencatat, konsumsi masyarakat Indonesia sedang relatif lemah.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menyatakan, secara sektoral industri tekstil tanah air mengalami perlambatan sejak lima tahun terakhir ini.
Perusahaan yang bergerak di sektor ini, harus mulai merambah ke industri pakaian jadi yang memiliki nilai tambah tinggi. Hal ini, kata dia, juga bisa berlaku bagi Duniatex Group.
"Kalau Duniatex tidak masuk ke industri pakaian jadi, hilir bisa jadi (terdampak perang dagang) karena sudah kalah bersaing dengan China," kata Enny, saat ditemui di Menara Astra, Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Lana Soelistianingsih, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menuturkan hal yang senada. Perang dagang memang bisa menjadi salah satu faktor penyebab industri tekstil makin tertekan. Namun, di sisi lain, perusahaan juga bisa mengambil peluang dari perang dagang tersebut dengan menghasilkan produk-produk tekstil yang berkualitas tinggi dan menyasar pasar kelas menengah atas (high end).
"Tekstil sebetulnya sudah membaik, hanya sektornya memang sudah sunset, dengan perang dagang harusnya bisa memanfaatkan peluang itu dengan mencari segmen baru," kata Lana, kepada CNBC Indonesia, Kamis (25/7/2019).
Ia mencontohkan, produk tekstil bisa memasarkan produk pakaian jadi muslim yang berkualitas baik dan menyasar kelas menengah atas yang diekspor ke negara-negara di Timur Tengah.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menilai kondisi industri tekstil dalam negeri masih dalam keadaan baik. Menurutnya, nilai ekspor ditargetkan tumbuh jadi US$ 14,6 miliar.
"Kami menyadari bahwa iklim usaha saat ini belum sempurna, khususnya pada sektor impor untuk konsumsi domestik yang berlebihan walau barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri," ungkapnya.
Sementara itu, bankir melihat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tak semuanya dianggap suram karena tergantung tata kelola perusahaan masing-masing. Meski industri TPT sudah lama dianggap sebagai industri yang sunset.
"Jadi nggak bisa kita vonis tekstil jelek, ada yang bagus ada yang jelek. Tergantung patuh kelola risiko," kata Direktur Utama Bank BCA Jahja Setiaatmadja di Jakarta, Rabu (25/7)
(hoi/hoi) Next Article Industri Tekstil Megap-Megap, Kemenperin Salahkan Upah
Most Popular