Beda dengan Komisaris, Bos KS Lanjutkan Proyek Blast Furnace
Efrem Siregar, CNBC Indonesia
24 July 2019 16:38

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) menegaskan proyek pabrik baja dengan teknologi blast furnace harus dilanjutkan. Meski proyek ini memimicu perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari komisaris independen Roy Maningkas yang akhirnya memutuskan mengundurkan diri.
Proyek pembangunan blast furnace complex (BFC) KRAS mencakup Sintering Plant, Coke Oven Plant, Blast Furnace dan Hot Metal Treatment Plant dengan kapasitas produksi 1,2 juta ton baja per tahun.
Proyek dengan teknologi blast furnace diharapkan menurunkan biaya produksi slab melalui penurunan biaya bahan baku dan konsumsi listrik serta menciptakan keseimbangan kapasitas produksi hulu dan hilir. Pada Triwulan IV 2018 proyek ini harusnya dilakukan penyalaan perdana, tapi sampai saat ini belum terealisasi.
Silmy mengatakan proyek pabrik baja berbasis teknologi blast furnace sudah diinisiasi 10 tahun lalu. Ia mengatakan proyek ini menjadi catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar ditindaklanjuti penyelesaiannya.
"Kita kan harus menyikapinya bijak. Projek ini harus selesai. Kalau tdk selesai. Maka temuan ini tidak ditindaklanjuti. Sbg pimpinan ini kan ga baik kalau tidak menindaklanjuti temuan BPK. Nah open ini harus close. Harus ditindaklanjuti, ini yg saya lakukan," tegas Silmy di kantor Kadin, Rabu (24/7).
Ia menanggapi potensi rugi dari proyek blast furnace yang sempat disebut oleh komisaris KRAS Roy Maningkas, bahwa perseroan berpotensi merugi apabila tetap memproduksi baja dari pabrik teknologi blast furnice. Diperkirkan KRAS akan rugi Rp1,3 triliun karena biaya produksinya sudah di atas harga pasar.
Namun, menurut Silmy, soal potensi kerugian karena saat studi kelayakan biaya produksi baja dari teknologi ini hanya US$ 400 dolar per ton, tapi karena proyek ini molor, maka biaya produksinya mencapai US$ 500 per ton.
Sebagai dirut, Silmy menegaskan akan tetap melanjutkan sampai mengetahui hasil uji coba produksi pabrik. Bila hasilnya positif, maka akan dilanjutkan bila tidak maka sebaliknya.
"Kalau tidak ok atau performance tidak bagus, kita ambil satu tindakan. Tidak dioperasikan. Tapi tidak mungkin misalnya projek ini terus ditelantarkan. Buat saya sih ya saya menjalankan tugas sesuai aturan ya dan apa yang saya pahami untuk menyelesaikan persoalan," kata Silmy.
(hoi/hoi) Next Article Komisaris Sebut Proyek Blast Furnace Bikin KS Rugi Rp 1,3 T
Proyek pembangunan blast furnace complex (BFC) KRAS mencakup Sintering Plant, Coke Oven Plant, Blast Furnace dan Hot Metal Treatment Plant dengan kapasitas produksi 1,2 juta ton baja per tahun.
Proyek dengan teknologi blast furnace diharapkan menurunkan biaya produksi slab melalui penurunan biaya bahan baku dan konsumsi listrik serta menciptakan keseimbangan kapasitas produksi hulu dan hilir. Pada Triwulan IV 2018 proyek ini harusnya dilakukan penyalaan perdana, tapi sampai saat ini belum terealisasi.
Silmy mengatakan proyek pabrik baja berbasis teknologi blast furnace sudah diinisiasi 10 tahun lalu. Ia mengatakan proyek ini menjadi catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar ditindaklanjuti penyelesaiannya.
"Kita kan harus menyikapinya bijak. Projek ini harus selesai. Kalau tdk selesai. Maka temuan ini tidak ditindaklanjuti. Sbg pimpinan ini kan ga baik kalau tidak menindaklanjuti temuan BPK. Nah open ini harus close. Harus ditindaklanjuti, ini yg saya lakukan," tegas Silmy di kantor Kadin, Rabu (24/7).
Ia menanggapi potensi rugi dari proyek blast furnace yang sempat disebut oleh komisaris KRAS Roy Maningkas, bahwa perseroan berpotensi merugi apabila tetap memproduksi baja dari pabrik teknologi blast furnice. Diperkirkan KRAS akan rugi Rp1,3 triliun karena biaya produksinya sudah di atas harga pasar.
Namun, menurut Silmy, soal potensi kerugian karena saat studi kelayakan biaya produksi baja dari teknologi ini hanya US$ 400 dolar per ton, tapi karena proyek ini molor, maka biaya produksinya mencapai US$ 500 per ton.
Sebagai dirut, Silmy menegaskan akan tetap melanjutkan sampai mengetahui hasil uji coba produksi pabrik. Bila hasilnya positif, maka akan dilanjutkan bila tidak maka sebaliknya.
"Kalau tidak ok atau performance tidak bagus, kita ambil satu tindakan. Tidak dioperasikan. Tapi tidak mungkin misalnya projek ini terus ditelantarkan. Buat saya sih ya saya menjalankan tugas sesuai aturan ya dan apa yang saya pahami untuk menyelesaikan persoalan," kata Silmy.
(hoi/hoi) Next Article Komisaris Sebut Proyek Blast Furnace Bikin KS Rugi Rp 1,3 T
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular