Boris Johnson, Mantan Wartawan Kontroversial Jadi PM Inggris

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
23 July 2019 20:34
Boris Johnson dikenal sebagai politisi serampangan, rekam jejaknya banyak memberi catatan atas sikapnya yang oleh sebagian orang disebut seperti Donald Trump
Foto: Boris Johnson. (Foto: REUTERS/Henry Nicholls)
Jakarta, CNBC Indonesia - Boris Johnson resmi menjadi perdana menteri Inggris mulai hari ini, Selasa (23/7/2019). Pria bernama lengkap Alexander Boris de Pfeffel Johnson ini akan menggantikan Theresa May, yang akan mengundurkan diri pada Rabu besok.
 
Alasan May mengundurkan diri adalah karena ia merasa bertanggung jawab atas kegagalannya membawa Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit).


 
Lalu, siapakah Boris Johnson?

Boris Johnson, Mantan Wartawan Kontroversial Jadi PM InggrisFoto: Perdana Inggris, Boris Johnson (REUTERS/Toby Melville)

 
Mengutip BBC News, Johnson adalah menteri luar negeri Inggris era pemerintahan Theresa May. Namun ia mengundurkan diri pada 2018 lalu karena berselisih paham dengan May terkait Brexit.
 
Pria berusia 54 tahun itu mulai bergabung menjadi anggota parlemen (member of parliament) Inggris pada tahun 2001. Ia menggantikan Michael Heseltine di Partai Konservatif. Sebagai seorang Tory (anggota Partai Konservatif) ia dikenal sebagai yang paling bersikap liberal.
 
Pada tahun 2008 ia menjadi walikota London, menggantikan Ken Livingstone dari Partai Buruh. Ia menjabat hingga 2016. Ini adalah periode kepemimpinan terpanjangnya.
 
Pada 2016, ia ditunjuk oleh May sebagai menteri luar negeri Inggris. Saat menjabat sebagai menteri luar negeri, Johnson secara terang-terangan menjadi tokoh yang paling mendukung Brexit.
 
Sebelum terjun ke dunia politik dan pemerintah, Johnson adalah seorang konsultan manajemen, namun, itu tidak bertahan lama. Johnson kemudian terjun ke dunia jurnalistik.
 
Johnson pernah bekerja sebagai wartawan surat kabar The Times pada 1987, tetapi dipecat karena terbukti memalsukan pernyataan narasumber, seperti dikutip dari the Washington Post.
 
Pada 1989 Johnson kembali bekerja sebagai koresponden The Daily Telegraph khusus meliput Komunitas Eropa. Karirnya melonjak pada 1994 ketika ia menjabat sebagai asisten editor di perusahaan yang sama. Boris juga pernah menjadi editor di majalah konservatif Inggris mingguan, The Spectators.
 
Dikutip dari CNBC Internasional, selain pernah dipecat saat bekerja di The Times, saat menjadi jurnalis pada 2002 ia juga pernah menuai kontroversi lantaran menggunakan istilah rasis ketika menulis artikel tentang perjalanan perdana menteri ke Republik Demokratik Kongo.
 
Ia baru-baru ini meminta maaf atas hal itu. Namun, selama beberapa tahun ini ia juga sering menggunakan kata-kata rasis. Hal ini membuatnya dicap sebagai pribadi yang eksentrik, tidak sopan, serta 'berantakan', layaknya penampilan rambutnya.
 
Ia juga banyak dikritik karena bersikap Islamofobia, setelah menyebut wanita Muslim yang mengenakan cadar terlihat seperti kotak surat. Dia juga pernah mengatakan Hillary Clinton tampak seperti "perawat sadis di rumah sakit jiwa" dan memecat Donald Trump sebelum dia menjadi presiden pada 2016.
 
Lalu pada tahun 2015, saat Trump menyebut beberapa wilayah London telah menjadi begitu teradikalisasi hingga polisi takut akan keselamatan mereka, Johnson membalas komentar Trump dengan lebih pedas. Ia mengatakan tidak akan mengunjungi beberapa wilayah New York karena takut bertemu Trump. Presiden kontroversial itu pun langsung membalas, mengatakan bahwa Johnson cocok melakukan "pekerjaan besar" sebagai seorang perdana menteri.

[Gambas:Video CNBC]


(gus/gus) Next Article Sah! Boris Johnson Jadi Perdana Menteri Inggris

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular