Dear BI.. Suku Bunga Acuanmu Ketinggian, Ada Nyali Turunkan?

Herdaru Purnomo & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
08 July 2019 14:16
BI masih belum mau menurunkan tingkat suku bunga acuan, padahal bunga acuan negara-negara Asia lainnya lebih rendah.
Foto: BI
Jakarta, CNBC Indonesia - Laju pertumbuhan ekonomi dunia kian lesu saat ini. International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global turun dari 3,6% pada tahun 2018 menjadi 3,3% pada tahun ini (proyeksi April 2019).

Sementara itu, Bank Dunia (World Bank) justru lebih moderat lagi dengan memproyeksikan perekonomian dunia hanya tumbuh 2,6% di 2019 (proyeksi Juni 2019).

Pertumbuhan ekonomi yang secara global lebih lambat ini terpengaruh arus investasi yang lesu dan risiko yang cukup tinggi akibat sentimen perang dagang AS-China.

Lesunya laju pertumbuhan ekonomi telah membuat beberapa bank sentral di seluruh dunia mengambil arah kebijakan moneter yang lebih lunak atau dovish.

Reserve Bank of Australia (RBA) misalnya, telah menurunkan tingkat suku bunga acuannya ke level terendah sepanjang sejarah. Pada Selasa (2/7/2019), RBA memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke level 1%. Langkah tersebut diambil guna mencegah Negeri Kanguru itu jatuh ke dalam jurang resesi.

Sementara itu, bank sentral India (Reserve Bank of India/RBI) kembali memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan bulan Juni, menandai pemangkasan ketiga di tahun ini. Langkah dovish itu diambil setelah data terbaru menunjukkan ekonomi negara itu mencatatkan pertumbuhan paling lambat dalam empat tahun terakhir.



Melihat grafik di atas, suku bunga acuan Indonesia tercatat yang paling tinggi di antara kawasan. Tak usah membahas China, namun dibandingkan India, Filipina, Malaysia sampai Thailand, Indonesia juaranya.

Dear BI, Suku Bunga Acuanmu Tinggi Banget!Foto: Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo (CNBC Indonesia/Lidya Julita S)


"Bank Indonesia terus mencermati kondisi pasar keuangan global dan stabilitas eksternal perekonomian Indonesia dalam mempertimbangkan penurunan suku bunga kebijakan sejalan dengan rendahnya inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri," hal ini diungkapkan Perry Warjiyo, Gubernur BI pada keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan lalu.

Saat itu, BI bersikeras menahan bunga acuannya di tengah permintaan penurunan bunga yang disuarakan bankir, pengusaha, sampai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. BI 'hanya' menurunkan Giro Wajib Minumum (GWM) yang notabene hanya sedikit pengaruhnya bagi ketersediaan likuiditas bank.

Bank sentral yang terus saja menahan bunga acuannya disinyalir tengah menimbun aliran modal masuk guna mencegah depresiasi rupiah lebih lanjut yang bisa terjadi lantaran defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) berada dalam posisi yang buruk. Pada tahun 2018, CAD Indonesia tercatat sebesar 2,98% dari PDB.

CAD Indonesia jauh lebih dalam jika dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Bahkan, Thailand & Malaysia justru bisa membukukan surplus transaksi berjalan.



Data teranyar, CAD periode kuartal-I 2019 diumumkan senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

Eko Listianto, Ekonom INDEF menyebut kebijakan tersebut memang dapat membuat arus modal jangka pendek (hot money) betah tinggal di Indonesia. Namun seiring negara-negara lain yang mulai melakukan ekspansi moneter dengan penurunan suku bunga acuan, maka sektor riil Indonesia semakin tidak kompetitif lantaran bunga (cost of fund) yang mahal.

Hal ini diamini oleh para pengusaha. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani. Kepada CNN Indonesia, Hariyadi menjelaskan suku bunga acuan yang disunat setidaknya bisa menggairahkan kembali investasi sektor riil.

Terlebih, pengusaha menilai bunga kredit di Indonesia masih terlalu tinggi, bahkan mencapai dua digit. Sementara itu, rata-rata negara Asia Tenggara bisa memberikan pembiayaan dengan bunga kredit 7%. Dengan penurunan suku bunga acuan, investasi ditengarai bisa bertumbuh dan mampu menopang laju ekonomi kuartal selanjutnya.



Ekonom BCA, David Sumual mengatakan hal yang membuat BI masih menahan suku bunganya adalah defisit eksternal terkait perang dagang dan juga harga minyak dunia. Selebihnya, hanya butuh keberanian BI dan kekuatan pro-growth yang bisa membawa bunga acuan turun.

Tak ada yang suka bunga tinggi, namun inilah Indonesia. Tercatat, suku bunga acuan 7 Day-RR milik BI ini berada di posisi tertinggi sejak diperkenalkan April 2016 lalu.

Data bank sentral menunjukkan, BI telah menahan bunga di 6% ini sejak 20 Desember 2018 setelah pada 15 November 2018 dinaikkan dari 5,75% ke 6%.

Dear BI, Suku Bunga Acuanmu Tinggi Banget!Foto: 7 Day RR BI

Butuh Nyali Seorang Perry Warjiyo

"Saya orang desa, orang petani, dari keluarga miskin. Lima tahun lalu saya duduk di sini menjalani fit and proper jadi Deputi Gubernur, setelah tiga kali tidak berhasil tapi kita belajar banyak dan kami berterima kasih kepada bapak-bapak [DPR]," papar Perry di Gedung DPR dalam fit and proper test, Rabu (28/3/2018) kala itu.

Harapan dari banyak pihak datang. Pengusaha-pengusaha kala itu berharap Perry mampu membawa suku bunga acuan dan terus bertahan di single digit. Jika bicara petani, pasti bicara bagaimana bunga bisa semurah mungkin.

Kalau berbicara mengenai nyali dari seorang Perry seperti yang diutarakan David Sumual, pada masa awal Perry menjabat sebagai Gubernur BI yakni Mei 2018, nyali Perry kelihatan begitu tinggi.

Dengan begitu agresifnya Perry mengerek naik tingkat suku bunga acuan guna menstabilkan pergerakan rupiah. Pada Mei 2018, Perry mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps. Padahal biasanya, tingkat suku bunga acuan hanya digerakkan naik atau turun sebesar 25 bps. Sebulan berikutnya atau pada Juni 2018, tingkat suku bunga acuan kembali dikerek sebesar 50 bps.

Kala itu, Perry tentu sadar bahwa normalisasi yang begitu agresif yang diterapkannya berpotensi memperlambat laju pertumbuhan ekonomi yang sudah tak pernah mencapai target. Namun ya itu, nyalinya tinggi. Dirinya menjunjung stabilitas ketimbang pertumbuhan sehingga kebijakan tak populer yakni mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps dalam waktu sebulan berani dieksekusinya.

Terhitung dalam periode Mei 2018 hingga saat ini, Perry telah mengubah tingkat suku bunga acuan yang naik sebesar 175 bps, dari 4,25% menjadi 6%.

"Tahun lalu, Bank Indonesia sudah menaikkan suku bunga sebesar 175 bps. Asumsi Bahana yaitu penurunan sebesar 100 bps tahun ini sama sekali tidak agresif, karena hanya bersifat "unwinding" kira-kira separuh dari pengetatan sebelumnya. Ibaratnya, jika 100-bps ini dibaratkan pindah persneling, ini baru pemindahan dari tight ke neutral, belum sampai sepenuhnya ke loose," jelas Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana saat berbincang dengan CNBC Indonesia.

Apa benar nyali Perry seakan ciut? Kala The Federal Reserve selaku bank sentral AS sudah memberi sinyal kuat bahwa tingkat suku bunga acuan akan dipangkas (yang pada akhirnya membuka ruang pelonggaran bagi bank sentral negara-negara lain), Perry terlihat begitu menahan diri dari yang namanya memangkas bunga acuan.

Namun, Perry tak bisa sepenuhnya disalahkan di sini. Perry ada benarnya. Masalah Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) atau lebih tepatnya CAD (yang merupakan komponen pembentuk NPI) menjadi momok kala BI berniat memangkas tingkat suku bunga acuan.

Lantaran CAD Indonesia cukup besar, ada potensi bahwa aliran dana yang akan masuk ke pasar saham dan obligasi ketika tingkat suku acuan dipangkas akan segera dibawa kabur lantaran fundamental rupiah yang bermasalah.

Oleh karena itu, sejauh ini yang bisa dilakukan oleh BI hanyalah menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) untuk bank umum menjadi 6%, dari yang sebelumnya 6,5%. Sementara itu, GWM untuk bank syariah juga dipangkas sebesar 50 bps menjadi 4,5%, dari yang sebelumnya 5%. Namun, tambahan likuiditas ke perbankan dari kebijakan ini sangat terbatas, hanya Rp 25 triliun.

Saat ini, yang dibutuhkan Perry dan koleganya di MH Thamrin adalah kebijakan fiskal dari pemerintah yang akan membuat hot money yang masuk kala tingkat suku bunga acuan dipangkas tak mudah dibawa kabur.

Sayang, harapan ini sudah pupus. Diketahui, saat ini pemerintah tengah menggodok rencana untuk memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) korporasi yang saat ini berada di level 25%. Rencananya, tarif PPH korporasi yang baru nantinya adalah sebesar 20%.

Namun, kebijakan fiskal yang begitu ditunggu pelaku pasar dan pelaku usaha tersebut dipastikan tak akan berlaku tahun ini juga. Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menyebutkan bahwa RUU KUP masih dalam pembahasan di DPR.

"Enggak berlaku tahun ini. Ini perlu UU dan tahun ini kan tinggal beberapa bulan lagi," ucap Robert.

Dengan mencermati dinamika ini, ada kemungkinan kita tak akan melihat pemangkasan suku bunga acuan sama sekali pada tahun ini.

Kalaupun Perry ternyata bernyali begitu besar dan mengeksekusinya, mungkin hal tersebut bukan merupakan kebijakan yang bijak. Sebabnya ya itu tadi, hot money yang masuk ke tanah air bisa jadi hanya singgah sebentar saja dan kemudian dibawa kabur. Kalau ini yang terjadi, dampak pemangkasan tingkat suku bunga acuan ke sektor riil akan menjadi relatif terbatas.




(dru) Next Article Sudah 1% Turunkan Bunga Acuan, Masih Mungkin Lagi Pak Perry?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular