Rapor 5 Tahun Kabinet Jokowi
Rapor Menkeu Sri Mulyani: When The Best Isn't Good Enough?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 July 2019 07:07

Sudah perekonomian kurang bertenaga, Sri Mulyani sangat terlihat kurang bernyali dalam mengambil kebijakan. Sadar bahwa perekonomian sedang lesu, Sri Mulyani sempat menyindir Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo untuk memangkas tingkat suku bunga acuan.
Dalam wawancara dengan Bloomberg TV belum lama ini, Sri Mulyani menyebut bahwa ada banyak ruang bagi bank sentral untuk memangkas tingkat suku bunga acuan di bulan-bulan mendatang, seperti dilansir dari The Jakarta Post.
Namun, sejauh ini Perry dan kolega terlihat masih galau untuk memangkas tingkat suku bunga acuan. Pada bulan lalu, BI menggelar rapat selama dua hari yang dimulai pada hari Rabu dan berakhir pada hari Kamis (19-20 Juni).
Selepas menggelar pertemuan selama dua hari tersebut, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%.
Ke depannya, BI juga masih ragu dalam memangkas tingkat suku bunga acuan. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.
“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Memang, Perry ada benarnya. Masalah NPI atau lebih tepatnya Current Account Deficit/CAD (yang merupakan komponen pembentuk NPI) menjadi momok kala BI berniat memangkas tingkat suku bunga acuan. Lantaran CAD Indonesia cukup besar, ada potensi bahwa aliran dana yang akan masuk ke pasar saham dan obligasi ketika tingkat suku acuan dipangkas akan segera dibawa kabur lantaran fundamental rupiah yang bermasalah.
Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, CAD Indonesia terbilang sangat dalam.
Namun, apakah ruang pemangkasan menjadi tidak ada? Rasanya tidak. Guna mengakali masalah fundamental rupiah yang bermasalah, pemangkasan tingkat suku bunga acuan bisa dikombinasikan dengan kebijakan fiskal guna menjaga supaya hot money yang masuk tak mudah dibawa kabur.
Kebijakan fiskal inilah yang menjadi ranahnya Sri Mulyani. Diketahui, saat ini pemerintah tengah menggodok rencana untuk memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) korporasi yang saat ini berada di level 25%. Rencananya, tarif PPH korporasi yang baru nantinya adalah sebesar 20%.
Namun, gerak dari Sri Mulyani begitu lambat, banyak keragu-raguan dalam benaknya.
Alhasil, meski sudah sangat mendesak dan disuarakan sendiri oleh para pengusaha, pemangkasan tarif PPh korporasi tak akan bisa berlaku pada tahun ini. Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menyebutkan bahwa RUU KUP masih dalam pembahasan di DPR.
"Enggak berlaku tahun ini. Ini perlu UU dan tahun ini kan tinggal beberapa bulan lagi," ucap Robert.
Sejatinya, wacana pemangkasan tarif PPh korporasi sudah begitu lama dilontarkan sendiri oleh pemerintah, bahkan sejak awal-awal pemerintahan Jokowi. Rencananya, tarif PPh korporasi Indonesia yang berada di level 25% akan dipangkas menjadi 18% supaya kompetitif dengan Singapura. Namun ya itu tadi, kebijakan ini selama bertahun-tahun lamanya hanya menjadi sebuah wacana, tak pernah ada eksekusinya.
Bisa dipahami, memberikan insentif fiskal bak pemangkasan tarif PPh korporasi bukan tanpa risiko. Pasalnya, penerimaan negara terancam turun. Tengok saja AS. Pada akhir 2017, pemerintahan Presiden Donald Trump resmi memangkas tarif PPh korporasi dari 35% menjadi maksimal 26,5%.
Tapi, efek sampingnya defisit anggaran menjadi membengkak karena penerimaan pajak menjadi tak maksimal. Padahal, Trump berulang kali mengatakan bahwa defisit anggaran akan terjaga lantaran aktivitas ekonomi yang lebih bergeliat (dampak dari pemangkasan pajak korporasi) akan mendongkrak penerimaan pajak secara keseluruhan.
Nyatanya, defisit anggaran AS jelas membengkak. Pada tahun 2017 atau tahun pertama Trump menjabat, defisit anggaran tercatat sebesar 3,5% dari PDB. Maju ke tahun 2018, defisit melebar menjadi 3,8% PDB, menandai defisit anggaran terdalam sejak tahun 2013 (4,1% PDB).
NEXT >> 'Rasio Utang Terhadap PDB Terjaga, Waktunya Manfaatkan Ruang'
(ank/dru)
Dalam wawancara dengan Bloomberg TV belum lama ini, Sri Mulyani menyebut bahwa ada banyak ruang bagi bank sentral untuk memangkas tingkat suku bunga acuan di bulan-bulan mendatang, seperti dilansir dari The Jakarta Post.
Namun, sejauh ini Perry dan kolega terlihat masih galau untuk memangkas tingkat suku bunga acuan. Pada bulan lalu, BI menggelar rapat selama dua hari yang dimulai pada hari Rabu dan berakhir pada hari Kamis (19-20 Juni).
Ke depannya, BI juga masih ragu dalam memangkas tingkat suku bunga acuan. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.
“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).
Memang, Perry ada benarnya. Masalah NPI atau lebih tepatnya Current Account Deficit/CAD (yang merupakan komponen pembentuk NPI) menjadi momok kala BI berniat memangkas tingkat suku bunga acuan. Lantaran CAD Indonesia cukup besar, ada potensi bahwa aliran dana yang akan masuk ke pasar saham dan obligasi ketika tingkat suku acuan dipangkas akan segera dibawa kabur lantaran fundamental rupiah yang bermasalah.
Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, CAD Indonesia terbilang sangat dalam.
Namun, apakah ruang pemangkasan menjadi tidak ada? Rasanya tidak. Guna mengakali masalah fundamental rupiah yang bermasalah, pemangkasan tingkat suku bunga acuan bisa dikombinasikan dengan kebijakan fiskal guna menjaga supaya hot money yang masuk tak mudah dibawa kabur.
Kebijakan fiskal inilah yang menjadi ranahnya Sri Mulyani. Diketahui, saat ini pemerintah tengah menggodok rencana untuk memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) korporasi yang saat ini berada di level 25%. Rencananya, tarif PPH korporasi yang baru nantinya adalah sebesar 20%.
Namun, gerak dari Sri Mulyani begitu lambat, banyak keragu-raguan dalam benaknya.
Alhasil, meski sudah sangat mendesak dan disuarakan sendiri oleh para pengusaha, pemangkasan tarif PPh korporasi tak akan bisa berlaku pada tahun ini. Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menyebutkan bahwa RUU KUP masih dalam pembahasan di DPR.
"Enggak berlaku tahun ini. Ini perlu UU dan tahun ini kan tinggal beberapa bulan lagi," ucap Robert.
Sejatinya, wacana pemangkasan tarif PPh korporasi sudah begitu lama dilontarkan sendiri oleh pemerintah, bahkan sejak awal-awal pemerintahan Jokowi. Rencananya, tarif PPh korporasi Indonesia yang berada di level 25% akan dipangkas menjadi 18% supaya kompetitif dengan Singapura. Namun ya itu tadi, kebijakan ini selama bertahun-tahun lamanya hanya menjadi sebuah wacana, tak pernah ada eksekusinya.
Bisa dipahami, memberikan insentif fiskal bak pemangkasan tarif PPh korporasi bukan tanpa risiko. Pasalnya, penerimaan negara terancam turun. Tengok saja AS. Pada akhir 2017, pemerintahan Presiden Donald Trump resmi memangkas tarif PPh korporasi dari 35% menjadi maksimal 26,5%.
Tapi, efek sampingnya defisit anggaran menjadi membengkak karena penerimaan pajak menjadi tak maksimal. Padahal, Trump berulang kali mengatakan bahwa defisit anggaran akan terjaga lantaran aktivitas ekonomi yang lebih bergeliat (dampak dari pemangkasan pajak korporasi) akan mendongkrak penerimaan pajak secara keseluruhan.
Nyatanya, defisit anggaran AS jelas membengkak. Pada tahun 2017 atau tahun pertama Trump menjabat, defisit anggaran tercatat sebesar 3,5% dari PDB. Maju ke tahun 2018, defisit melebar menjadi 3,8% PDB, menandai defisit anggaran terdalam sejak tahun 2013 (4,1% PDB).
NEXT >> 'Rasio Utang Terhadap PDB Terjaga, Waktunya Manfaatkan Ruang'
(ank/dru)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular