Rapor 5 Tahun Kabinet Jokowi

Rapor Menkeu Sri Mulyani: When The Best Isn't Good Enough?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 July 2019 07:07
Rapor Menkeu Sri Mulyani: When The Best Isn't Good Enough?
Foto: Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Joko Widodo (Jokowi) dipastikan melenggang ke periode keduanya sebagai presiden setelah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam rapat pleno, pekan lalu. Jokowi bersama KH Ma'ruf Amin sukses menaklukkan pasangan capres dan cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno terkait dengan hasil pemilihan presiden (Pilpres) edisi 2019.

Nyaris lima tahun pemerintahan Jokowi berjalan, tentunya ditemani oleh Jusuf Kalla (JK) selaku wakilnya, banyak hal yang bisa dievaluasi. Salah satu hal yang bisa dievaluasi untuk perbaikan di masa depan adalah kinerja para menteri.

Rasanya semua sudah tahu kalau ada beberapa menteri di Kabinet Kerja Jokowi yang sering dikritik oleh masyarakat luas di media sosial, Sri Mulyani misalnya. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia yang kini kembali untuk mengarsiteki kas negara tersebut sering dirundung kritik terkait getolnya Kementerian Keuangan dalam menarik utang.

Sekadar mengingatkan, sebelumnya Sri Mulyani sempat menjabat juga sebagai Menteri Keuangan pada era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (periode satu).

Namun, bagaimana sih sebenarnya kinerja Sri Mulyani di periode keduanya sebagai menteri keuangan?

Kalau berbicara mengenai Kementerian Keuangan, rasanya yang paling pertama harus dibahas adalah penerimaan negara. Ya, salah satu fungsi utama Kementerian Keuangan adalah mengumpulkan penerimaan, baik yang berupa pajak maupun non-pajak, untuk kemudian disalurkan seefektif mungkin guna menyejahterakan masyarakat Indonesia.

Sri Mulyani kembali ke Indonesia sebagai menteri keuangan pada Juli 2016 sehingga tidak fair jika menilai kinerjanya berdasarkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) periode 2016, lantaran dirinya baru menjabat selepas tengah tahun. Oleh karena itu, kinerja Sri Mulyani akan dievaluasi menggunakan data realisasi APBN/APBNP tahun 2017 dan 2018.

Pada tahun 2015 dan 2016 kala posisi Menteri Keuangan ditempati oleh Bambang Brodjonegoro, realisasi penerimaan negara tercatat masing-masing sebesar 85,6% dan 87,1% dari target. Sementara itu, realisasi belanja negara adalah masing-masing sebesar 91,1% dan 89,5% dari target.

Beralih ke era Sri Mulyani, pada tahun 2017 dan 2018 realisasi penerimaan negara tercatat melonjak menjadi masing-masing sebesar 96% dan 102,6% dari target. Sementara itu, realisasi belanja negara juga melonjak menjadi masing-masing sebesar 94,1% dan 99,7% dari target.


Sekilas, terlihat bahwa Sri Mulyani begitu capable dalam mendongkrak penerimaan negara bukan? Namun kalau diamati lebih jauh, terlihat jelas bahwa ada faktor keberuntungan yang menaungi kembalinya Sri Mulyani ke Indonesia.

Di era Sri Mulyani, penerimaan negara terdongkrak naik seiring dengan derasnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebagai informasi, pos PNBP didominasi oleh bagi hasil yang didapatkan pemerintah dari pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh badan usaha. Pada tahun 2018, realisasi PNBP bahkan mencapai 148,6% dari target.


Wajar jika realisasi PNBP meningkat deras di era Sri Mulyani. Pasalnya, harga komoditas andalan Indonesia yakni minyak mentah dan batu bara melesat di periode keduanya sebagai Menteri Keuangan.


Kalau tak ada lonjakan PNBP, bisa dipastikan realisasi penerimaan dan belanja negara di era Sri Mulyani tak akan sekinclong itu.

Ini artinya, pemerintah harus tetap memutar otak untuk mendongkrak penerimaan pajak supaya kala harga komoditas jatuh, penerimaan negara secara keseluruhan tetap aman. Nah di sini, pemerintah punya pekerjaan rumah yang tak ringan yakni meningkatkan rasio penerimaan pajak terhadap PDB.

Rasio penerimaan pajak terhadap PDB atau yang biasa dikenal dengan tax ratio memang merosot sejak tahun 2015. Tax ratio pernah tembus 13,7% yakni pada tahun 2014, namun kemudian terus menurun dalam kurun waktu 3 tahun berikutnya.

Pada tahun 2015, tax ratio Indonesia anjlok ke angka 11,6% sebelum kemudian kembali turun menjadi 10,8% pada tahun 2016. Pada tahun 2017, tax ratio kembali turun ke angka 10,7%. Pada tahun 2018, tax ratio tercatat berada di level 11,5%.

Jika dibandingkan dengan capaian negara-negara lain di kawasan regional maupun global, tax ratio Indonesia terbilang rendah. Hal ini bahkan diakui sendiri oleh Sri Mulyani.

"Tax ratio kita sekitar 11,5%, meningkat signifikan dibanding sebelumnya yang mana di bawah 11%, tapi ini tetap di bawah standar regional, serta standar global," kata Sri Mulyani pada Februari lalu dalam acara IndoGAS 2019 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, dikutip dari detik finance.

Angka itu pun sejatinya merupakan tax ratio dalam arti luas. Jika dihitung dalam artian sempit (hanya memasukkan penerimaan yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak/DJP), tax ratio pada tahun 2018 hanya menyentuh level 10,3%.

Salah satu masalah utama yang menyebabkan tax ratio Indonesia relatif kecil dalam beberapa tahun terakhir adalah tingkat kepatuhan wajib pajak yang masih rendah, tercermin dari rendahnya pelaporan surat pemberitahuan tahunan (SPT).

Hal ini membuat penerimaan pajak tak pernah mencapai target, yang pada akhirnya mendorong pemerintah untuk berutang guna membiayai defisit anggaran.

HALAMAN SELANJUTNYA >>>>> 'Perekonomian Lesu, Tak Ada Gairahnya'


Berbicara mengenai Kementerian Keuangan, tak cukup rasanya bila tak membahas realisasi pertumbuhan ekonomi. Dalam APBN/APBNP yang disusun oleh Kementerian Keuangan setiap tahunnya, terdapat asumsi dasar ekonomi makro, yang salah satunya adalah asumsi pertumbuhan ekonomi.

Anggaran belanja pemerintah lantas dialokasikan seefektif mungkin untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tersebut. Kenyataannya, realisasi pertumbuhan ekonomi selalu jauh dari target pemerintah.

Pada tahun 2015, dalam APBNP ditargetkan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 5,7%. Kenyataannya, perekonomian hanya tumbuh sebesar 4,79%, dilansir dari data yang disajikan Refinitiv. Pada tahun 2016, APBNP menyebut bahwa target pertumbuhan ekonomi berada di level 5,2%. Namun, realisasinya ternyata hanya sebesar 5,02%.

Kini mari beralih ke tahun 2017 dan 2018 untuk mengukur performa Sri Mulyani. Dalam APBN 2017, target pertumbuhan dipatok di level 5,1%. Tak puas sampai di situ, pemerintah seolah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN. Kenyataannya, realisasi pertumbuhan ekonomi hanyalah 5,07%.

Untuk tahun 2018, pemerintah tidak mengajukan APBNP ke Dewan Pewakilan Rakyat (DPR). Dalam APBN 2018, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,4% dan yang terealisasi hanyalah 5,17%.

Celakanya, untuk tahun ini perekonomian justru bisa lebih merana lagi. Dalam APBN 2019, pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,3%. Namun, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing justru memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5%. Ya, di bawah 5% seperti pada tahun 2015 silam.

Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia periode kuartal-I 2019 diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.


HALAMAN SELANJUTNYA >>>> 'Kurang Nyali'

Sudah perekonomian kurang bertenaga, Sri Mulyani sangat terlihat kurang bernyali dalam mengambil kebijakan. Sadar bahwa perekonomian sedang lesu, Sri Mulyani sempat menyindir Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo untuk memangkas tingkat suku bunga acuan.

Dalam wawancara dengan Bloomberg TV belum lama ini, Sri Mulyani menyebut bahwa ada banyak ruang bagi bank sentral untuk memangkas tingkat suku bunga acuan di bulan-bulan mendatang, seperti dilansir dari The Jakarta Post.

Namun, sejauh ini Perry dan kolega terlihat masih galau untuk memangkas tingkat suku bunga acuan. Pada bulan lalu, BI menggelar rapat selama dua hari yang dimulai pada hari Rabu dan berakhir pada hari Kamis (19-20 Juni).

Selepas menggelar pertemuan selama dua hari tersebut, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%.

Ke depannya, BI juga masih ragu dalam memangkas tingkat suku bunga acuan. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.

“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).

Memang, Perry ada benarnya. Masalah NPI atau lebih tepatnya Current Account Deficit/CAD (yang merupakan komponen pembentuk NPI) menjadi momok kala BI berniat memangkas tingkat suku bunga acuan. Lantaran CAD Indonesia cukup besar, ada potensi bahwa aliran dana yang akan masuk ke pasar saham dan obligasi ketika tingkat suku acuan dipangkas akan segera dibawa kabur lantaran fundamental rupiah yang bermasalah.

Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, CAD Indonesia terbilang sangat dalam.

 
Namun, apakah ruang pemangkasan menjadi tidak ada? Rasanya tidak. Guna mengakali masalah fundamental rupiah yang bermasalah, pemangkasan tingkat suku bunga acuan bisa dikombinasikan dengan kebijakan fiskal guna menjaga supaya hot money yang masuk tak mudah dibawa kabur.

Kebijakan fiskal inilah yang menjadi ranahnya Sri Mulyani. Diketahui, saat ini pemerintah tengah menggodok rencana untuk memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) korporasi yang saat ini berada di level 25%. Rencananya, tarif PPH korporasi yang baru nantinya adalah sebesar 20%.

Namun, gerak dari Sri Mulyani begitu lambat, banyak keragu-raguan dalam benaknya.

Alhasil, meski sudah sangat mendesak dan disuarakan sendiri oleh para pengusaha, pemangkasan tarif PPh korporasi tak akan bisa berlaku pada tahun ini. Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menyebutkan bahwa RUU KUP masih dalam pembahasan di DPR.

"Enggak berlaku tahun ini. Ini perlu UU dan tahun ini kan tinggal beberapa bulan lagi," ucap Robert.

Sejatinya, wacana pemangkasan tarif PPh korporasi sudah begitu lama dilontarkan sendiri oleh pemerintah, bahkan sejak awal-awal pemerintahan Jokowi. Rencananya, tarif PPh korporasi Indonesia yang berada di level 25% akan dipangkas menjadi 18% supaya kompetitif dengan Singapura. Namun ya itu tadi, kebijakan ini selama bertahun-tahun lamanya hanya menjadi sebuah wacana, tak pernah ada eksekusinya.

Bisa dipahami, memberikan insentif fiskal bak pemangkasan tarif PPh korporasi bukan tanpa risiko. Pasalnya, penerimaan negara terancam turun. Tengok saja AS. Pada akhir 2017, pemerintahan Presiden Donald Trump resmi memangkas tarif PPh korporasi dari 35% menjadi maksimal 26,5%.

Tapi, efek sampingnya defisit anggaran menjadi membengkak karena penerimaan pajak menjadi tak maksimal. Padahal, Trump berulang kali mengatakan bahwa defisit anggaran akan terjaga lantaran aktivitas ekonomi yang lebih bergeliat (dampak dari pemangkasan pajak korporasi) akan mendongkrak penerimaan pajak secara keseluruhan.

Nyatanya, defisit anggaran AS jelas membengkak. Pada tahun 2017 atau tahun pertama Trump menjabat, defisit anggaran tercatat sebesar 3,5% dari PDB. Maju ke tahun 2018, defisit melebar menjadi 3,8% PDB, menandai defisit anggaran terdalam sejak tahun 2013 (4,1% PDB).

NEXT >> 'Rasio Utang Terhadap PDB Terjaga, Waktunya Manfaatkan Ruang'

Sebenarnya, Sri Mulyani dan koleganya di Kementerian Keuangan tak perlu takut jika hal tersebut terjadi juga di Indonesia. Pasalnya, ruang fiskal masih sangat lebar. Jika berbicara mengenai utang, suatu hal yang sering disebutkan Menteri Keuangan terbaik di dunia tersebut adalah rasio utang pemerintah terhadap PDB yang masih aman.

Hal ini memang benar. Bahkan jika dibandingkan negara-negara Asia lainnya, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB merupakan yang terendah.


Lantas, sudah waktunya pemerintah memaksimalkan ruang fiskal yang ada.

Selama ini, yang ditangkap dari kepemimpinan Sri Mulyani adalah dirinya begitu fokus untuk menjaga rasio-rasio yang diperhatikan oleh lembaga pemeringkat kenamaan dunia.

Memang hal ini ada betulnya dan hal tersebut menjadi sebuah prestasi tersendiri bagi menteri keuangan terbaik dunia tersebut. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, defisit anggaran dipatok di level 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Pada tahun 2015, defisit anggaran adalah sebesar 2,58% dari PDB, kemudian menyempit menjadi 2,46% pada tahun 2016. Pada tahun 2017 atau di bawah kepemimpinan Sri Mulyani, defisit anggaran sedikit melebar menjadi 2,51%. Maju ke tahun 2018, defisit turun tajam menjadi 1,76% saja.

Pada tahun 2019, Sri Mulyani terlihat masih menjaga ketat besaran defisit anggaran. Buktinya dalam APBN 2019, defisit dipatok di level 1,84% dari PDB.

Prinsip kehati-hatian yang diadopsi oleh Sri Mulyani kemudian diakui oleh lembaga pemeringkat kenamaan dunia dengan menaikkan peringkat (rating) surat utang Indonesia. Terhitung sejak akhir 2017 hingga saat ini, tiga lembaga pemeringkat kenamaan dunia yakni Fitch Ratings, Moody’s, dan Standard and Poor's (S&P) telah mengerek naik peringkat surat utang Indonesia.

Tapi pertanyaannya, bolehkah Sri Mulyani puas dengan pencapaiannya tersebut?

Tentu tidak. Alasannya, tak cukup pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berkisar di angka 5% saja, apalagi batas bawah. Pasalnya, Indonesia perlu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi guna memberantas pengangguran.

Tingkat pengangguran di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dari beberapa negara di kawasan Asia yang dikumpulkan datanya, tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi kedua.


Sri Mulyani memang layak disebut menteri keuangan terbaik dunia tahun 2019 versi The Banker. Di Asia, bukan dua kali, namun tiga kali secara beruntun (2017-2019) Sri Mulyani menyabet gelar sebagai menteri keuangan terbaik Asia versi FinanceAsia.

Prinsip kehati-hatian yang diterapkannya membuat Indonesia menjadi lokasi yang relatif kondusif bagi para pemilik modal untuk mengucurkan dananya, baik itu ke sektor riil maupun ke pasar keuangan.

Namun, sudah waktunya Sri Mulyani keluar dari zona aman. Toh, kritik ini didasarkan pada keinginan untuk melihat Indonesia yang jauh lebih maju dan beradab.

Kalau yang dipermasalahkan adalah peringkat surat utang, dengan rasio utang terhadap PDB yang jauh lebih tinggi dari Indonesia saja, toh peringkat surat utang Malaysia nyatanya berada dua level di atas Indonesia (S&P).



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular